Sabtu, 06 Desember 2014

Kesempurnaan


Aku membayangkan, betapa sempurnanya panggung kehidupan ini. Meski kau cari-cari kekurangannya, tak akan pernah bisa kau jumpai. Semua tak ada cacat, pun kekeliruan hitungan yang mencuat. 

Teman, pernahkah kau sadari jika bumi ini tak berevolusi? Manusia, binatang, tumbuhan, dan semua mahluk hayati akan mati, lebur dalam panas matahari. Tersedot dalam gaya tarik bintang raksasa itu tanpa ampun, tanpa welas sedikit pun? 

Teman, pernahkah pula kau pikirkan, jika bumi tak bergasing di porosnya? Tidak akan pernah kau lihat lagi senja, tak akan kau nikmati lagi malam, dan waktu terasa tak bergerak. Diam. Satu sisi manusia akan membeku, dan satu sisi lainnya habis terbakar. Semua lenyap, hancur tanpa menunggu lama, hanya satu hari, bumi menuju ajal.  

Lihatlah, betapa sempurnanya Semesta telah dirancang, sebagaimana kita yang juga diciptakan sempurna. Bukan! Bukan kapasitas otak kita yang harus 100 persen, karena itu pasti akan sangat mengerikan. Tuhan telah dengan rinci menghitungnya. Jika 20 persen saja kapasitas otak yang dianugerahkanNya dapat digunakan, maka tentram tak akan lagi ada dalam hidup manusia. Bagaimana tidak, bayangkan teman, jika matamu sanggup dengan jelas menyaksikan aliran darah dalam tubuhmu sendiri, pohon yang seperti transparan,  pembuluh xylem dan floem terlihat jelas membawa hara, gelombang elektromagnetik saling berseliweran menjadi pandangan mata? Kau tak akan sanggup hidup.

Tidak hanya itu,  rasa sakit saat tulang kali pertama tumbuh dalam janinmu pun dapat terasa, degup pertama jantungmu masih teringat jelas. Bukankah semua itu menyiksa, taman? Ya, terutama kenangan, luka-luka akan tak mampu dihapuskan. Semua terkungkung, melilit dalam memori kita. Ingatkah kau, Einstein, sang jenius di semesta saja,  hanya menggunakan kapasitas otaknya kurang dari 5 persen. Apalagi kita? 

Dan itulah kesempurnaan sejati manusia, yang terletak di  dalam ketidaksempurnaannya. Jadi, nikmat Tuhan mana yang kita dustakan, teman? 

Jumat, 05 Desember 2014

Kasta



Mereka menyebutku dengan nama Elnino. Keluarga satu kerajaan koloni rayap dalam bumi pertiwi. Saudaraku di kerajaanku sudah tak terhitung lagi, terlalu banyak, dan terlalu bising. Tapi, aku tak sanggup mengeluh, karena pasti sang ratu bisa mendengarkanku. Dia bukannya kejam atau jahat, tapi dia terlihat mengerikan. Tubuhnya besar seperti raksasa, tubuhku saja hanya sepersepuluh darinya. Dan dia punya kekuatan khusus, seperti memiliki penangkap frekuensi dari kami, semua anggota koloni kerajaan miliknya ini. Jadi, apa yang kupikirkan pastilah dapat dia dengar dengan jelas. 

"Elnino, kamu repro," ucap ratu tegas saat aku masih berbentuk nimfa. 

Hari itu adalah hari ketika keputusan sang ratu kami dengar. Perintah sakral dalam menggolongkan para nimfa baru sesuai keahlian atau takdir yang sudah dia tentukan. Yeah, termasuk takdirku yang menjadi salah satu kawanan nimfa reproduksi ini. Padahal, aku begitu ingin menjadi kelompok prajurit, yang terlihat gagah dengan kepala keras dan besar, dan tentu dengan tugas yang terlihat mulia. Menjaga para pekerja dan keamanan kerajaan dari bahaya.

"Sekarang kamu pikirkan lagi, El. Lebih mulia mana, prajurit atau kawanan laron yang akan menurunkan cikal bakal kerajaan selanjutnya? Kamu itu calon raja, El! Yang akan memiliki kerajaan dan beribu-ribu koloni!" kata Al-zayyid, satu-satunya sahabat dari kelompok prajurit kerajaan. 

"Katamu benar, jika aku berhasil menemukan belahan jiwa, atau ratuku kelak. Tapi, kalau tidak? Hukuman mati yang kuterima," sangkalku lesu. 

"Jadi, sebenarnya masalahmu adalah takut mati, El."

"Ya karena hanya posisikulah yang begitu mengerikan!" jawabku masih tak mau kalah. 

"Mengerikan katamu?" sindirnya dengan wajah menghina, "Hanya mencari betina saja kau bilang mengerikan? Ingat, nyawaku setiap detik dipertaruhkan untuk mencari makan semua koloni, dan kamu masih bisa bilang posisimu mengerikan?"

"Itu sudut pandangmu saja, Al. Coba, jika kamu berada di posisiku. Ketika di udara lembab, hujan pertama di semesta, aku harus keluar dari kerajaan, terbang dengan sayap sayap ringkih dan mencari setitik cahaya di sarang monster bernama manusia hanya demi wanita—

"Bukan demi wanita, tapi demi kelangsungan hidup kita selanjutnya, " potong Alyazzid cepat. "Keturunan koloni kita lebih penting. Harusnya kamu bisa lebih bersikap dewasa," tambahnya dengan muka menyebalkan. Sok bijak dan sok dewasa. 

"Al, jujur, aku sebenarnya hanya takut. Aku takut tidak bisa menemukan gadis itu, belahan jiwaku, dan itu lebih menyakitkan dari kematian itu sendiri," ujarku rapuh. 

"Tidak ada yang sia-sia, El. Ketika fajar menyingsing, saat sayapmu telah tumbang dan kau tak menemukan calon ratumu, detik itu juga kau sudah menjadi pejuang. Ya, prajurit yang syahid, yang selalu kau idam-idamkan itu," terang sahabatku ini dengan mata berkaca.

Ah, berbicara dengan prajurit kadang membuat hati sedih. Karena, bisa saja ini terakhir kami berbincang. Ya, sebagai kasta prajurit, kata mati bisa saja datang kapan saja tanpa memandang waktu, doa, apalagi sebuah ikatan bernama pertemanan. 

"Terima kasih Al," ucapku tulus, setelah tersadar dan membenarkan teori Al, bahwa semua yang hidup pasti juga akan mati, dan yang mati akan ada pengganti, selalu seperti itu. Lalu kenapa aku masih takut lagi? 

Braaak… Braaakkk…. 

Tiba-tiba, suara dari langit memekakan telinga terdengar. Ini sebuah serangan. Aku panik, deru jantungku berpacu kacau. 

"Lari! Lari El!" teriak Alyazzid keras. Kepalanya yang besar dan kuat difokuskan ke arah sumber suara. Dia siaga pasang kuda-kuda."Cepat masuk ke tempat aman!" perintahnya lagi. 

"Gila kamu, mana mungkin aku meninggalkanmu sendiri dengan kaki monster manusia raksasa kemari."

"Itulah tugasku sebagai prajurit El! Untuk mengamankanmu..!"

"Lalu tugasku hanya kawin, dan membiarkan sahabatku mati demu aku. Tak waras kamu Al! " protesku kesal. 

"Kasta kita berbeda. Lagian, sudah kukirimkan sinyal bahaya ke prajurit lain. Cepat! Lekaslah kau pergi! Cari tempat aman," teriaknya kencang, karena suara bising itu kian mendekat. 

Aku bergeming, tetap berdiri di samping Al. Tak peduli seberapa keras dia mengusirku, tak peduli seberapa menyakitkannya suara larangan yang terngiang di gendang telingaku. Aku akan tetap di sampingnya untuk berjuang bersama-sama. 

Brakkk…

Suara derap kaki raksasa itu pun mendekat, memporandakan semua yang ada di sekitar. Ah, sial. Kakiku terjerembab dalam lumpur yang terlempar dari kaki raksasa itu. Membuat aku terkunci dan tak bisa lari. Aku semakin panik. Napasku terus memburu. Dan ketika mataku melihat ke atas, telapak raksasa itu mangayun ke arah tubuhku. 

Ya Tuhan, aku akan terinjak! Tolonglah aku, aku belum ingin mati...

Namun, tiba-tiba sebuah dorongan kuat menyudrukku, melemparkanku terpelanting jauh ke sisi. Membuat kepalaku rasanya seperti terbentur batu yang keras. Aku limbung, tersungkur dalam semak yang lebat. Aku tak mengira aku bisa selamat, lalu kuucapkan hamdallah berkali kali. 

Dengan susah payah kucoba bangkit lagi setelah suara kaki raksasa itu menjauh pergi.

"Al?! Al!" teriakku cemas mencari satu satunya sahabat tempatku berbagi itu. "Al! Tolong, jawab aku."

Tapi teriakkan parau suaraku tak didengarnya juga. Aku semakin kacau. Berlari kesana kemari mencari Al yang belum juga kutemui. Dan dari arah lain sayup-sayup terdengar langkah berderap rapi mendekat. Aku pastikan itu para prajurit kerajaan. Aku berlari mengikuti suara. Berharap Al berada satu barisan bersama mereka.

Dugaanku tak meleset, prajurit telah rapi berbaris. Sang komandan menemuiku, mengucapkan hormat dan mengamankanku. Mungkin dia akan mendapat hukuman sang ratu jika tahu aku terancam bahaya. Karena bahaya bagiku berarti juga bahaya baginya, sebuah hukuman dari raja. 

Dia mengawalku pulang. Aku hanya bisa pasrah, ikut langkah mereka. Namun, saat bebrapa langkah akan pulang, kutemukan sosok mayat yang telah kukenal. 

Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Mataku menangkap Al dengan tubuh telah hancur. Hanya kepala kerasnya yang masih utuh. Senyumnya terukir, matanya teduh. Ya Tuhan, dia sahabatku yang menyelamatkanku...

"Kenapa mayatnya tidak kalian angkut. Dia yang menyelamatkan nyawaku!" teriakku keras dengan air mata tak tertahan lagi. Kenapa kalian diam saja. Ayo! Angkat mayatnya! Kalian tak dengar apa?" bentakku penuh emosi. 

"Itu sudah menjadi tugasnya. Lebih banyak prajurit yang mati tragis dari dia. Sudahlah, tak penting air matamu itu. Prajurit! Paksa dia pulang ke kerajaan!!" perintah mutlak sang komandan, yang langsung dijawab YA serentak oleh pasukannya. 

Lalu dengan paksa mereka mendorongku ke arah kerajaan, meninggalkan Al yang telah tak bernyawa. Aku hanya bisa menangis pilu, menatap mata damai Al untuk terakhir kalinya. 

"Semoga kamu bahagia di syurga, Al," doaku penuh air mata. 

Bersambung...


KUPU-KUPU DIAM


Ulat menggeliat tak tenang, dibelenggu daun-daun kering yang meringkuk melingkar. Buatnya itu pertanda, bahwa masa menahan diri hampir tiba. 

Dengan mata nanar, dia mencoba pasrah. Ikhlas menunaikan peran dari semesta. Dia tidak berontak, pun  melawan. Diam. Ya, hanya diam yang bisa dia lakukan. Diam bukan berarti lemah, diam bukan berarti tanpa daya. Dalam diam, kekuatan besar itu tersimpan. Ya, berjuta energi agung yang jika telah tiba saatnya akan menampakkan keindahannya pada dunia. Mensyukuri diri barunya. Sayapnya, warnanya. Dialah kupu-kupu sang keindahan mahluk alam.  

Begitu pula dengan kita. Mungkin aku selalu diam. Atau tidak pernah mengutarakan. Tapi, di tiap rapalan doa, namamulah yang selalu terbasuh diantara asma-asma agungNya. Aku diam bukan berarti tidak bergerak. Aku diam bukan berarti tidak memihak. Karena dalam diam, aku menyanyangimu diam-diam. Hingga waktu tepat kelak, yang telah terjalin dalam tautan takdir kita, keindahan itu akan menjelma. 

Seperti lahirnya sang kupu-kupu, begitulah aku ingin belajar mencintaimu… 

Senin, 23 Juni 2014

Imaji Dua Sisi - Kenangan yang Terabadikan

Alhamdulillah banget, akhirnya lahiran juga novel ketiga saya. Setelah, beberapa kali revisi judul dan kaver — tentu sedikit isi juga, Imaji Dua Sisi sudah akan bisa dinikmati oleh semua pembaca.

Tidak ada kendala sedikit pun dalam menuliskan plot atau cerita novel ini. Bukan karena saya mahir, tapi semua cerita yang ada di novel ini hampir 80% saya alami. Tidak lantas juga lho, ini semua kisah nyata dari hidup saya. Karena saya juga mengambil kisah-kisah teman di lingkungan kampus teknik kimia tercintah.

Untuk itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman teknik kimia Undip yang menjadi inspirasi sekaligus jalan cerita di novel ini. Antara lain :
- Senior angkatan 2003 yang sudah memplonco dan mengospek saya, memberikan tugas absurd yang kadang 'nggak banget' juga hukuman yang saya tanggung karena saya memakai topi saat ospek.
- Panitia LDO yang sudah memberikan seabrek 'tugas mengerikan' hingga saya nggak sempat tidur untuk mengerjakan semuanya.
- MAKRAB (juga Ratih &Lilik) Dua sahabat saya yang akhirnya jadian di malam keakraban, pengungkapan cinta yang romantis.
- Geng A4 dan Gemes, yang sudah mengajak ke lawang sewu trip malam-malam jam 11, dan akhirnya dikejar-kejar anjing penunggu lawang sewu.
-Dan semua pihak yang tidak bisa saya sebut satu-satu atas lahirnya cerita Imaji Dua sisi ini.
Hwaaaa... Jadi kangen kan sama kalian semua, skip! (Abaikan yang ini yah)

O,ya, pasti sudah penasaran kan, bagaimana cerita Imaji Dua Sisi? Oke, akan sedikit saya beberkan isi novel ketiga saya ini.

Cerita Imaji Dua Sisi diawali oleh pertemuan tiga tokoh mahasiswa baru teknik kimia—Bumi, Lintang, dan Bara—di ospek kampus. Kekejaman senior dan insiden saling bentak membuat mereka saling mengingat satu sama lain, meski belum sempat resmi berkenalan.

Bara yang cuek, Lintang yang bawel, dan Bumi yang introvert akhirnya menjadi satu kelompok LDO—Latihan Dasar Organisasi—program wajib untuk para maba tekkim. Dan kebersaamaan mereka ternyata membuat kedekatan antara Bara, Lintang, juga Bumi. Hingga mereka pun berani menguak 'rahasia' dari diri mereka masing-masing yang kelam. Ternyata tak hanya rasa kedekatan saja yang tumbuh, namun ada benih cinta antara mereka.

Cinta segitiga ini begitu menyiksa mereka. Hingga, tiga sahabat itu pun rela saling menyakiti demi tujuan dan rencana masing-masing.

Bara— dengan rencana rahasianya— akhirnya mau membantu Bumi untuk menaklukkan hati Lintang. Bumi— yang pendiam dan tidak punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya— dengan modal kecerdasannya ingin mengekstrak feromon dari Bara, karena dia yakin lelaki yang dicintai Lintang adalah Bara. Dan dengan feromon Bara, dia yakin secara tidak sadar cinta Lintang akan berpindah darinya.

Dan apakah Bumi berhasil? Lalu, Lintang harus memilih siapa, Bumi atau Bara? Dan bagaimana rencana besar Bara di ending cerita?!

"Dan apakah benar cinta bisa disintetis? Atau direkayasa dengan bahan kimia?"

Temukan semua jawabannya di novel IMAJI DUA SISI...

Ps : Nantikan GA-nya yah
Untuk pesan online hubungi Nita DivaPress 081804374879 diskon 25 % lho...

Salam hangat,
Sayfullan

Minggu, 08 Juni 2014

Telur Dadar

Diikutkan dalam tantangan menulis #KampusFiksi

Aku teringat apa katamu saat menjelang kematianmu dulu, tentang sebuah filosofi telur. Masih jelas diingatanku suara serakmu berkata, jika telur pecah dari luar itu pertanda kematian, jika telur itu pecah dari dalam, itulah awal kehidupan. Aku mengerti, paham betul apa maksudmu. Bahwa motivasi terbesar ada dari dalam diri, bukan sebaliknya. Dan kamu ingin aku memiliki motivasi besar untuk bertahan hidup, bisa membesarkan benihmu dari rahimku, meskipun rintangan zaman dan penindasan kemiskinan tiada henti menindas hidup.

 Ah, filosofi itu mungkin tidak ada hubungannya dengan kematianmu, juga kematianku kini. Nyatanya aku tetap kalah dengan pertempuran dengan nasib, meski kamu tahu betapa besarnya motivasi dalam diriku untuk hidup, untuk bertahan demi membesarkan darah dagingmu?

Kini, aku dan kamu sama-sama tahu bahwa kematianku, pun tumbang nyawamu itu adalah salah satu dari miliaran potret penderitaan karena diperbudak bernama kemiskinan.

###

Dingin angin malam berhasil menembus dagingku yang tipis, menusuk-nusuk seperti jarum hingga ke sumsum tulang-tulangku. Musim kemarau memang membuat udara di malam hari menjadi sangat dingin. Keadaan semacam ini sudah biasa kualami, tapi tidak untuk malaikat kecil disampingku ini. Melihatnya meringkuk di sampingku, aku menangis getir, sambil merapikan kardus yang menutup tubuh kecilnya yang terus menggigil. Di belahan dunia ini, mungkin akulah Ibu yang paling berdosa, yang tak sanggup melindungi darah dagingnya sendiri dari hujan, terik, dan angin malam. Jangankan rumah, selimut tebal yang hangat  saja tak mampu kuberikan kepada anak semata wayang. Hanya  kardus-kardus usang inilah yang sanggup kuberikan.

Dengan lembut aku pun mulai membangunkan malaikat kecilku, sebelum teriakan pemilik toko emas yang menjadi tempat tidur kami ini terdengar menyanyat hati. Kami memang tidak tidur berpindah-pindah, emperan tokok emas Koh Acan di Pasar Senin inilah yang menjadi tempat tidur kami selama ini.

“Emak, aku lapar,” erang anakku sambil mengerjapkan matanya setelah bangun dari tidurnya yang tak pernah pulas.
“Iya sayang. Nanti kita makan pakai lauk telur dadar, tapi kita harus kerja dulu, mengumpulkan botol plastik dan kardus yang banyak,” jawabku dengan hati yang seperti teriris sembilu.
“Ah, itu kan kata Emak tiap pagi! Nyatanya, makannya sama tempe terus,” protesnya tidak percaya dengan mantra tiap pagi yang selalu kurapalkan untuk membakar semangatnya bekerja, memungut sampah plastik.
“Hari ini beda, spesial, sayang. Kita nanti benar-benar akan makan telur dadar,”
“Bener Mak? Asyiiiik! Ayo mak kita harus bekerja sekarang, biar bisa dapat botol banyak!” teriaknya penuh semangat.

Sebelum matahari terbit, kami telah meninggalkan emperan Toko Koh Acan untuk mengais sampah untuk mencari botol bekas. Satu botol bekas buat kami layaknya emas. Beribu-ribu Hamdallah akan terucap ketika kami berhasil mendapatkannya. Semua kami lakukan untuk dapat bertahan hidup, demi  sesuap nasi.

###

Matahari sudah semakin terik, namun belum mampu juga memenuhi karung kami berdua dengan harta, sampah plastik. Keringat mengucur deras tak bisa lagi kami hindari. Ditambah rasa lapar yang meraung-raung dari lambungku, membuatku lemas dan ingin tumbang. Tapi, jika itu terjadi, bagaimana dengaan nasib anakku? Tentu, aku tidak ingin mengecewakan  dia. Aku harus bisa bertahan, karena telah berjanji membelikannya lauk telur dadar yang belum pernah sekali pun di sentuh lidahnya.

“Mak, aku sudah nggak kuat,” rintihnya dengan dahi berlelehan keringat.
“Iya Nak, kamu sudahi saja. Memang sudah waktunya makan. Emak jual dulu ya hasil kita ini,” jawabku penuh senyum dengan sisa-sisa tenaga yang masih kupunya. Ah, aku tahu kini, bahwa untuk tersenyum saja ternyata butuh tenaga yang cukup besar.
“Aku tunggu di depan warung ya Mak,” jawabnya riang, seakan lupa dengan peluh yang menjalar di seluruh tubuhnya.
“Iya, Nak. Tunggu Emak di warung itu ya,” kataku sambil menunjuk sebuah warung tak jauh dari kaki kami yang ringkih berpijak.
“Siap Mak. Oh telur dadar, tunggu... Aku akan segera datang!!!” teriaknya sambil melompat-lompat kegirangan.

Menyaksikan kegembiraannya, aku hanya bisa diam tak bergerak. Dengan khusyuk kupandangi langkahnya yang menjauh, mendekati warung tegal itu dengan bahagia yang membuncah. Sepertinya dia begitu bahagia bisa melihat tumpukan telur dadar di depan warung yang hanya  dibatasi kaca transparan itu.
“Tunggu Emak ya, Nak,” bisikku pelan sambil bertolak menuju tempat pengumpulan dan penjualan sampah.

###

Aku berjalan dengan sekarung hasil keringat kami pagi ini, dengan langkah gontai aku menuju tempat penjualan sampah bekas. Jaraknya memang lumayan jauh. Rasa lapar yang mendera, membuat langkahku terasa berat. Apalagi terik matahari seperti membakar tubuhku tanpa ampun. Aku terseok. Sudah tiga hari  ini, memang tidak ada asupan hidrat arang dalam lambungku, karena hasil memulung kami hanya pas untuk sebungkus nasi. Kini aku benar-benar merasa lemah. Ya, Tuhan, ingin rasanya aku merebahkan tubuhku sebentar saja, tapi bayangan malaikat kecilku, seolah menamparku untuk bangun. Untuk tetap bertahan.

Setapak demi setapak kulangkahkan kakiku yang semakin berat. Peluhku berjatuhan. Jantungku pun memompa darah semakin cepat. Bibirku kering oleh sengatan udara panas. Hamdalah berdesir dalam hati saat tempat penjualan sampah sudah terlihat mata. Aku tersenyum, melihat bayangan anakku menari-nari melihat telur dadarnya. Tapi, tiba-tiba bayangan itu menghilang secepat kilat. Berganti gelap yang semakin mendekat. Aku berteriak tanpa suara. Kurasakan tubuhku tumbang, terjembab dalam. Aku merasa tak mampu lagi memopong tubuhku yang terasa lima kali lebih berat.

“Tidak. Aku harus bangun! Aku tak boleh berbaring! Ada yang menungguku! Tolong! Jangan biarkan aku tertidur! Jangan biarkan aku mati! Tuhan, ada anak kecil tak berdosa yang menanti kedatanganku! ini hari spesialnya!!! teriakku panik.

Tapi, tetap tak ada yang menjawab. Hening. Hanya gelap yang menebas habis bayangan malaikat kecilku. Menghapus senyumnya dari pandanganku. Kini, tidak ada jejaknya sedikitpun, hitam yang pekat.
Dan aku tersadar, ternyata tidak ada yang mendengar teriakanku, kecuali Tuhan dan diriku sendiri!
###

Minggu, 27 April 2014

Hingga Ujung Waktu

Diikutkan dalam tantangan membuat cerpen #kampusfiksi spesial Jogja
Mentor : Mbak Nisrina Lubis

Aku percaya kamu tak pernah pergi. Hanya berubah bentuk, atau bertransformasi menjadi bentuk lain. Ya, itulah yang selalu kuimani.

(1)
Aku lebih bahagia kita seperti ini. Tanpa tatapan menuduh orang lain, atau cacian tajam menghujam mahluk-mahluk sok suci itu.

Di tempat ini, yang hanya ada aku dan kamu, semua terasa lebih ringan, meski tentu saja cintaku kepadamu tak bisa dikatakan ringan.

Hari ini kamu ingin mengunjungi sebuah pantai. Dengan air berwarna ungu, dan kupadukan dengan langit bersemburat hijau. Semua tak masalah bagiku, di tempat ini aku bisa mewujudkan semua keinginanmu. Pun, pasir yang kita tapaki sekarang, berwarna kesayanganmu, merah muda.

Kupandang bibirmu yang merekah dalam buncah, karena inilah kali pertama kita bercumbu tanpa harus berhati was-was karena malu, tabu, atau apalah namanya itu. Di sini aku dan kamu bebas, lepas mengekspresikan rasa kita tanpa takut dosa.

(2)
Senja berwarna keperakan telah merampas waktu kita berdua di sini, memberi aba-aba dalam dimensi waktu kita yang nyaris tak terasa. Kulihat matamu pun mulai sayu, lelah dalam detik-detik akhir bersamaku.

"Apa ini pertanda kamu akan pergi?" tanyaku cemas. Namun, keyakinanku merebut kendali atas keraguanku sendiri.

"Bukan! Di tempat ini aku percaya kamu tak akan pergi. Mungkin hanya tertidur."

"Mana sanggup aku pergi dari otakmu? Aku mencintaimu hingga esok," pamitmu kepadaku dengan lembut.

Tapi, yang aku mau kamu hidup selamanya!" teriakku melihat tubuhmu bergeming di pangkuanku, tertidur pulas dalam gelap yang menyergap.

Cahaya mata belokmu pun mulai meredup, menyalami benam mentari dengan katupan kelopak inderamu. Di sini, temaram surya telah menutup matamu untuk sementara, bukan selamanya.

"Jika memang engkau tak mungkin hidup abadi, biarkanlah aku yang menutup mata selamanya,"janji diriku sendiri pada sayatan jiwaku.

(3)
Aku terjaga. Dalam kamarku yang telah tersusup cahaya mentari mataku terbuka. Pagi yang membuatku murka. Karena pengantar perpisahan yang tak pernah kuinginkan.

Dengan tubuh yang bergetar kuambil satu botol lagi obat di laci meja belajarku. Jika efek empat butirnya hanya mampu membawamu 12 jam saja ke hidupku, aku rela meneguk semua pil dalam botol yang sudah menjadi pengganti makananku itu. Yeah, tentu setelah tuduhan mereka atasmu, akan kematianmu!

Aku pun bisa tersenyum puas. Dengan semua obat dalam botol ini, aku akan bisa bersamamu kembali. Aku dengan kebahagiaan membayangkan tidur selamanya dan akan hidup bersamamu. Di tempat kita berdua...

"Dan matamu akan membuka, sayang. Kita bisa hidup bersama selamanya. Persetan kata mereka tentang nisanmu, karena aku telah menemukanmu di dunia lain. Surga untuk kita berdua. Selamanya..."

Lalu kutelan semua isi dalam botol yang kugenggam. Rakus. Jantungku memprotes dengan berdetak kencang, pil-pil itu seperti tertahan. Dengan cepat kudorong semua pil itu dengan telunjukku. Kupaksa masuk ke dalam lambungku. Dengan napas tersengal kuteguk sisa-sisa air putih di meja. Lorong kerongkongan yang tadi tersedat kini akhirnya terlarung. Mengendap dalam lambung.

"Dan kini aku menemukanmu lagi. Ya, karena aku sanggup menerima kepergianmu. Juga nyawaku sendiri," ucapku bangga di hadapanmu yang telah berdiri menyambutku.

Dibuat via hp :) sorry kalau banyak typo...

Sabtu, 19 April 2014

Anjingmu, kudamu, tapi bukan monstermu!

Diikutkan dalam tantangan #fiksilaguku Kampus Fiksi

From song : Selimut Hati By Dewa 19

Oke. Kini aku menyerah. Aku angkat tangan menghadapimu. Yeah, aku pikir bayangan monster di masa lalumu itu sudah lenyap karena kehadiranku di hidupmu. Namun, sepertinya aku salah total. Eranganmu tadi malam telah menjelaskan semuanya.

Awalnya aku tak yakin dengan apa yang kudengar, tapi semakin menuju puncak nikmat, nama monster itulah yang kamu elu-elukan. Sial! Ini keterlaluan dan benar-benar tak masuk akal. Dalam cumbuanku beraninya kamu sebut nama monster itu.

Jujur, sebenarnya aku tidak keberatan saat kamu jadikan aku anjing yang harus selalu menjilatimu dengan lidahku, pun ketika kamu jadikan aku kuda yang bisa kamu tunggangi dengan sepuas hati, tapi tolong! Jika kamu ingin aku menjadi monster di masa lalumu itu, maaf aku tidak bisa. Meskipun aku tahu, hanya dia yang sebenarnya kamu cinta.

@sayfullan

Sabtu, 05 April 2014

Tumpah Ruah Ruang Rasa



 WARNING!!! 
Tulisan ini adalah seri curcol yang diikutkan #TantanganDeskripsiSetting oleh @KampusFiksi @divapress01 semoga lolos :)



 Ibu sang cleaning service

"Ritual lagi! Ritual lagi!"

Pekerjaanku ini sudah seperti ritual saja. Bosan juga sebenarnya kalau setiap lima jam harus membersihkan sampah menjijikkan di ruangan ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku belum sudi dikatakan Ibu tak bertanggung jawab, yang luput dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan bayiku. Belum lagi kebutuhan pendidikannya kelak. Ah, mau tak mau pekerjaan sebagai cleaning service ini akhirnya kubabat juga.

Kalau saja, aku tidak alergi atau mual dengan darah, mungkin pekerjaan ini tak begitu menyiksa. Cukup hanya mengepel, membersihkan ruangan berbau obat ini, dan mengambil sampah di tempat sampah bertuliskan SAMPAH MEDIS besar di tutupnya. Gampang kan? Tapi, semua menjadi sulit, setelah aku tahu isi dalam enam tempat sampah di setiap samping kasur ruangan ini. Selang dengan bekas darah!!! 

Awalnya aku langsung mual, pengin muntah, saat mengambil selang-selang panjang berisi bekas darah yang begitu merah. Tautan-tautan selang itu, memaksa cairan darah tetap di dalamnya, tak mengucur. Terlihat begitu menjijikkan dan amis. Tapi, sekali lagi, demi bayiku yang butuh hidup, aku tahan rasa mualku saat mengorek enam tempat sampah serupa di ruangan ini.

Sebenarnya ruangan ini cukup bersih. Dindingnya yang bercat putih dengan keramik warna senada dan samar-samar wangi lemon yang kalah dengan aroma obat ini tak begitu seram buatku. Ya, jika darah-darah dari pasien yang bergelantungan dalam selang tak menjadi pemandangan utama ini. Ada enam tempat tidur pasien yang tersusun berhadapan. Tiga di seberang kanan dan sisanya di seberang kiri. Tiap satu tempat tidur berdiri kokoh alat seperti dispenser tanpa galon (tapi, lebih tinggi sedikit) dengan selang-selang bergantungan berisi darah pasien. Kata para perawat yang menjaga ruangan ini, mereka—para pasien yang tidur tak bergerak di tempat tidur ini— sedang melakukan cuci darah. Ah, aku tidak begitu mengerti kalimat itu. 

"Lha masak darah kok dicuci? Apa juga perlu deterjen?"

Pertanyaan bodoh itu tentu tak sampai ke telinga perawat, biar aku simpan saja di benak perempuan tolol cleaning service sepertiku. Yang perlu kupikir kan hanya, bagaimana mengerjakan tugasku dengan sebaik-baiknya? Cukup, dengan menunggu proses yang bernama “cuci darah” ini selesai, lalu memunguti selang-selang bekas pasien yang masih ada sisa darahnya dari tempat sampah ruangan ini ke tempat pembuangan sampah pusat. Ya, itu saja! Tapi, buatku hal ini juga mengerikan dan menjijikkan! 

"Ah, demi bayiku...."

Sang perawat cantik

"Ruangan sama dan rutinitas sama..."

Dua hal yang terkadang membuat saya jengah mengabdikan diri sebagai perawat di sini. Tidak usah muluk-muluk membahas tentang pengabdian segala, semua juga saya lakukan karena uang. Gaji, tepatnya!
Tapi, kok semua seperti lenyap ya, jika saya melihat pasien-pasien gagal ginjal yang tergolek lemah di enam bed ruangan ini. Entah kenapa, keberadaan mereka selalu saja berhasil memecut rasa syukur saya. Yeah, saya seperti ditegur Allah, betapa nikmat kesehatan adalah segalanya. Dan kalau sudah seperti ini, teori kerja demi gaji pun langsung buru-buru menguap dari pikiran saya, terganti rasa tulus hati yang ingin menolong para pasien lemah ini.

Dan seperti biasa, ruangan berbau antiseptik ini masih sepi saat setelah saya membukanya. Lampu neon panjang berjumlah sesuai bed ruangan juga belum berpendar. Lain lagi dengan dua AC ruangan yang tetap menyala meski ruangan baru saja dibuka. Hal ini dilakukan karena suhu minimum memang dibutuhkan untuk enam alat hemodialisa ini. Tentu, sebagai perawat saya tidak mau ada masalah dengan alat ini. Bisa kacau proses hemodialisa jika ada satu saja alat yang error atau tidak berjalan dengan semestinya karena suhu yang terlalu panas. Dan jika itu terjadi, saya tak akan memaafkan diri saya sendiri. Ya, saya akan merasa bersalah dengan pasien, sudah jauh-jauh datang ke ruangan ini untuk membersihkan darahnya, untuk memakai alat pengganti ginjalnya yang rusak, eh malah harus menunda lantaran alatnya tidak berjalan semestinya. Lalu pertanyaan bagaimana darah mereka bisa bersih? Bagaimana mereka menyambung sedikit hari hidupnya? Akan tanpa henti meraung-raung meneror benak saya sebagai perawat yang bertanggung jawab di ruang ini.

“Saya, tidak mau itu terjadi ya Allah...”

Tanpa menunda waktu lagi, saya pun memulai rutinitas di ruangan berdinding dan berkeramik putih ini dengan menekan saklar lampu. Kemudian menekan power pada layar enam alat HD yang berbentuk kubus tinggi sekitar satu setengah meter dengan layar di bagian atasnya. Alat hemodialisa di ruangan ini memang telah menggunakan metode touch screen, jadi operasi manualnya hanya dengan menyentuh papan layar. Setelah mesin yang berada di tiap sisi kanan bed, menyala atau dalam posisi ON, selang-selang dan penyaring membran, atau bisa disebut dializer saya siapkan dan akan segera saya pasang di mesin. Saya selalu berusaha, sebisa mungkin sebelum pasien datang, selang dan dializer—penyaring darah (pengganti ginjal)— ini harus sudah terpasang dalam mesin. Agar, proses cuci darah dapat segera dilakukan.

Dan setelah setengah jam berjalan, selang-selang penampung darah sementara, dializer yang telah sebelumnya disesuaikan dengan nama pasien, juga TV—di atas dinding kanan dan kiri yang berjumlah dua, telah siap dan menyala. Tinggal waktunya bagi saya untuk menunggu pasien dan bersiap menusukkan jarum berselang untuk disalurkan ke dalam selang mesin HD yang baru saja terpasang.

Inilah rutinitas harian saya di ruangan bernama ruang HEMODIALISA. Ruangan steril yang tidak begitu luas namun pas ini, telah menjadi lahan rizki dan juga pahala buat saya. Tentunya saya juga tak sendiri, karena ada dua perawat lain dan satu orang bagian cleaning service yang membuat saya jengkel tiap dia pasang wajah mau muntah saat melihat darah! 

"Cleaning service yang manja!" batin saya merutuk tiap dia mengaku mual-mual karena jijik.

Sang Pasien keren

Jika gue harus memilih antara cuci darah dan penyembuhan alternatif tanpa cuci darah, saya akan tetap memilih tetap melakukan cuci darah. Bukan karena gue nggak percaya pengobatan alternatif, tapi lebih karena teman-teman gue yang meninggalkan cuci darah— dan akhirnya kini balik lagi— berubah keadaan menjadi lebih terlihat memilukan dan mengenaskan. Bayangin, sudah lama nggak melihat mereka, tiba-tiba dikejutkan dengan perubahan fisik yang mengerikan, perut buncit karena asites, kulit menghitam, juga badan yang sangat kurus. Dan setelah gue tanya, ternyata semua diakibatkan ketidakrutinan mereka melakukan proses  lima jam ini. Bulu kuduk gue langung berdiri mendengarnya. Kemudian timbul pertanyaan lagi.

Apa gue nggak bosan? Jika setiap dua minggu sekali harus selalu datang di ruangan HD yang berbau alkohol dan dinginnya minta ampun seperti di kutub utara ini? Apa gue betah, jika harus rela lima jam plus 30 menit tiduran nggak bergerak di salah satu bed dengan alat cuci darah berdiri gagah di sampingnya? Apalagi gue juga kudu rela ditusuk dengan jarum berselang yang nantinya akan disambungkan dengan selang mesin HD dan dilewatkan di dializer untuk disaring darahnya? 

Jawaban gue TIDAK?

Sekarang gue balas semua pertanyaan itu juga dengan pertanyaan balik. Apa ada manusia yang bosan untuk sebuah kebaikan hidupnya? Untuk sebuah kesempatan hidup walau entah sampai kapan? Untuk mengais-ngais hari agar tetap bisa bernapas di dunia? Dan menurut gue, hanya orang bodoh-lah yang selalu bilang bosan dan mengeluh dengan rutinitas pembersihan oleh alat pengganti ginjal ini.

Jujur, gue nggak pernah bosan berada di ruangan ini. Ruangan HD yang berada di gedung utama di lantai tiga ini sudah seperti rumah sementara buat gue, yang tiap dua seminggu sekali gue kunjungi untuk hanya menginap setengah hari demi kelangsungan hidup gue.

Jika teman-teman gue biasanya memakai kursi roda untuk menjangkau ruangan nggak luas ini, gue malah selalu ingin tetap bisa berjalan dengan gagah dan tegak, yeah, meski kadang gue juga harus menyembunyikan sesak napas dan perut yang sedikit membuncit karena kebanyakan cairan dalam tubuh. 

Setelah membuka pintu kaca buram yang berat dan tebal ini, gue selalu disambut dengan rasa udara yang kontras, suhu yang anjlok parah seperti di antartika. Yeah, selain aroma antiseptik tentunya. Kemudian dengan pelan gue akan menyusuri keramik putih bersih mengkilat, menuju timbangan berat badan yang terletak di pojok ruangan sebelah kanan setelah pintu  masuk. Jika sudah menimbang berat badan sebelum HD, gue pun langsung menuju salah satu bed yang seluruhnya berjumlah enam ini— tiga di sebelah kanan, dan juga tiga di sebleh kiri. Tiap samping kanan bed terdapat mesin HD dan tempat sampah di bawahnya. Sedang di depan bed ada meja pasien, yang bisa digeser karena di bawahnya terpasang dua roda bulat seperti roda di tiap kaki bed.

Gue pun langsung menempatkan diri, tidur di bed nomor dua sebelah kanan berseprai hijau dengan logo rumah sakit dan tulisan nama ruangan ini tercetak di seprai juga karung bantalnya. Jarum berbuntut selang— seperti bentuk kecebong, dengan kepala adalah jarum dan ekornya adalah selang— telah siap menusuk pembuluh darah gue. Selang itulah yang nantinya disambung ke selang-selang yang bergelantungan di mesin HD untuk transfer aliran darah menuju dializer (penyaring darah/ pengganti ginjal) dan akan kembali ke dalam tubuh—darah yang telah bersih/ setelah melewati dializer.

O, ya. Gue juga biasanya menonton TV yang terpasang di masing-masing dinding atas kanan dan kiri untuk menggerus waktu HD yang lima jam ini. Yeah, semua proses di ruangan bernama ruang HD ini gue lakukan setiap hari Senin dan Kamis. Dua kali seminggu. Dan aku selalu bersyukur, ada ruangan ini, ruangan yang memberikan semangat, menumbuhkan rasa syukur, memberi arti bagaimana kehilangan, dan tentu juga memberi sebuah keluarga baru. Para perawat dan ibu-ibu cleaning service yang setia membuat ruangan ini tetap bersih. Terima kasih semuanya.....

Gue nggak  bisa bayangkan jika tidak ada ruangan Hemodialisa ini???


 @sayfullan