Diikutkan dalam tantangan membuat cerpen #kampusfiksi spesial Jogja
Mentor : Mbak Nisrina Lubis
Aku percaya kamu tak pernah pergi. Hanya berubah bentuk, atau bertransformasi menjadi bentuk lain. Ya, itulah yang selalu kuimani.
(1)
Aku lebih bahagia kita seperti ini. Tanpa tatapan menuduh orang lain, atau cacian tajam menghujam mahluk-mahluk sok suci itu.
Di tempat ini, yang hanya ada aku dan kamu, semua terasa lebih ringan, meski tentu saja cintaku kepadamu tak bisa dikatakan ringan.
Hari ini kamu ingin mengunjungi sebuah pantai. Dengan air berwarna ungu, dan kupadukan dengan langit bersemburat hijau. Semua tak masalah bagiku, di tempat ini aku bisa mewujudkan semua keinginanmu. Pun, pasir yang kita tapaki sekarang, berwarna kesayanganmu, merah muda.
Kupandang bibirmu yang merekah dalam buncah, karena inilah kali pertama kita bercumbu tanpa harus berhati was-was karena malu, tabu, atau apalah namanya itu. Di sini aku dan kamu bebas, lepas mengekspresikan rasa kita tanpa takut dosa.
(2)
Senja berwarna keperakan telah merampas waktu kita berdua di sini, memberi aba-aba dalam dimensi waktu kita yang nyaris tak terasa. Kulihat matamu pun mulai sayu, lelah dalam detik-detik akhir bersamaku.
"Apa ini pertanda kamu akan pergi?" tanyaku cemas. Namun, keyakinanku merebut kendali atas keraguanku sendiri.
"Bukan! Di tempat ini aku percaya kamu tak akan pergi. Mungkin hanya tertidur."
"Mana sanggup aku pergi dari otakmu? Aku mencintaimu hingga esok," pamitmu kepadaku dengan lembut.
Tapi, yang aku mau kamu hidup selamanya!" teriakku melihat tubuhmu bergeming di pangkuanku, tertidur pulas dalam gelap yang menyergap.
Cahaya mata belokmu pun mulai meredup, menyalami benam mentari dengan katupan kelopak inderamu. Di sini, temaram surya telah menutup matamu untuk sementara, bukan selamanya.
"Jika memang engkau tak mungkin hidup abadi, biarkanlah aku yang menutup mata selamanya,"janji diriku sendiri pada sayatan jiwaku.
(3)
Aku terjaga. Dalam kamarku yang telah tersusup cahaya mentari mataku terbuka. Pagi yang membuatku murka. Karena pengantar perpisahan yang tak pernah kuinginkan.
Dengan tubuh yang bergetar kuambil satu botol lagi obat di laci meja belajarku. Jika efek empat butirnya hanya mampu membawamu 12 jam saja ke hidupku, aku rela meneguk semua pil dalam botol yang sudah menjadi pengganti makananku itu. Yeah, tentu setelah tuduhan mereka atasmu, akan kematianmu!
Aku pun bisa tersenyum puas. Dengan semua obat dalam botol ini, aku akan bisa bersamamu kembali. Aku dengan kebahagiaan membayangkan tidur selamanya dan akan hidup bersamamu. Di tempat kita berdua...
"Dan matamu akan membuka, sayang. Kita bisa hidup bersama selamanya. Persetan kata mereka tentang nisanmu, karena aku telah menemukanmu di dunia lain. Surga untuk kita berdua. Selamanya..."
Lalu kutelan semua isi dalam botol yang kugenggam. Rakus. Jantungku memprotes dengan berdetak kencang, pil-pil itu seperti tertahan. Dengan cepat kudorong semua pil itu dengan telunjukku. Kupaksa masuk ke dalam lambungku. Dengan napas tersengal kuteguk sisa-sisa air putih di meja. Lorong kerongkongan yang tadi tersedat kini akhirnya terlarung. Mengendap dalam lambung.
"Dan kini aku menemukanmu lagi. Ya, karena aku sanggup menerima kepergianmu. Juga nyawaku sendiri," ucapku bangga di hadapanmu yang telah berdiri menyambutku.
Dibuat via hp :) sorry kalau banyak typo...
Minggu, 27 April 2014
Sabtu, 19 April 2014
Anjingmu, kudamu, tapi bukan monstermu!
Diikutkan dalam tantangan #fiksilaguku Kampus Fiksi
From song : Selimut Hati By Dewa 19
Oke. Kini aku menyerah. Aku angkat tangan menghadapimu. Yeah, aku pikir bayangan monster di masa lalumu itu sudah lenyap karena kehadiranku di hidupmu. Namun, sepertinya aku salah total. Eranganmu tadi malam telah menjelaskan semuanya.
Awalnya aku tak yakin dengan apa yang kudengar, tapi semakin menuju puncak nikmat, nama monster itulah yang kamu elu-elukan. Sial! Ini keterlaluan dan benar-benar tak masuk akal. Dalam cumbuanku beraninya kamu sebut nama monster itu.
Jujur, sebenarnya aku tidak keberatan saat kamu jadikan aku anjing yang harus selalu menjilatimu dengan lidahku, pun ketika kamu jadikan aku kuda yang bisa kamu tunggangi dengan sepuas hati, tapi tolong! Jika kamu ingin aku menjadi monster di masa lalumu itu, maaf aku tidak bisa. Meskipun aku tahu, hanya dia yang sebenarnya kamu cinta.
@sayfullan
From song : Selimut Hati By Dewa 19
Oke. Kini aku menyerah. Aku angkat tangan menghadapimu. Yeah, aku pikir bayangan monster di masa lalumu itu sudah lenyap karena kehadiranku di hidupmu. Namun, sepertinya aku salah total. Eranganmu tadi malam telah menjelaskan semuanya.
Awalnya aku tak yakin dengan apa yang kudengar, tapi semakin menuju puncak nikmat, nama monster itulah yang kamu elu-elukan. Sial! Ini keterlaluan dan benar-benar tak masuk akal. Dalam cumbuanku beraninya kamu sebut nama monster itu.
Jujur, sebenarnya aku tidak keberatan saat kamu jadikan aku anjing yang harus selalu menjilatimu dengan lidahku, pun ketika kamu jadikan aku kuda yang bisa kamu tunggangi dengan sepuas hati, tapi tolong! Jika kamu ingin aku menjadi monster di masa lalumu itu, maaf aku tidak bisa. Meskipun aku tahu, hanya dia yang sebenarnya kamu cinta.
@sayfullan
Sabtu, 05 April 2014
Tumpah Ruah Ruang Rasa
WARNING!!!
Tulisan ini adalah seri curcol yang diikutkan #TantanganDeskripsiSetting oleh @KampusFiksi @divapress01 semoga lolos :)
Tulisan ini adalah seri curcol yang diikutkan #TantanganDeskripsiSetting oleh @KampusFiksi @divapress01 semoga lolos :)
Ibu sang cleaning
service
"Ritual lagi!
Ritual lagi!"
Pekerjaanku
ini sudah seperti ritual saja. Bosan juga sebenarnya kalau setiap lima jam harus
membersihkan sampah menjijikkan di ruangan ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku
belum sudi dikatakan Ibu tak bertanggung jawab, yang luput dari kebutuhan
sandang, pangan, dan papan bayiku. Belum lagi kebutuhan pendidikannya kelak.
Ah, mau tak mau pekerjaan sebagai cleaning
service ini akhirnya kubabat juga.
Kalau saja,
aku tidak alergi atau mual dengan darah, mungkin pekerjaan ini tak begitu
menyiksa. Cukup hanya mengepel, membersihkan ruangan berbau obat ini, dan
mengambil sampah di tempat sampah bertuliskan SAMPAH MEDIS besar di tutupnya.
Gampang kan? Tapi, semua menjadi sulit, setelah aku tahu isi dalam enam tempat sampah
di setiap samping kasur ruangan ini. Selang dengan bekas darah!!!
Awalnya aku
langsung mual, pengin muntah, saat mengambil selang-selang panjang berisi bekas
darah yang begitu merah. Tautan-tautan selang itu, memaksa cairan darah tetap
di dalamnya, tak mengucur. Terlihat begitu menjijikkan dan amis. Tapi, sekali
lagi, demi bayiku yang butuh hidup, aku tahan rasa mualku saat mengorek enam
tempat sampah serupa di ruangan ini.
Sebenarnya
ruangan ini cukup bersih. Dindingnya yang bercat putih dengan keramik warna
senada dan samar-samar wangi lemon yang kalah dengan aroma obat ini tak begitu
seram buatku. Ya, jika darah-darah dari pasien yang bergelantungan dalam selang
tak menjadi pemandangan utama ini. Ada enam tempat tidur pasien yang tersusun berhadapan.
Tiga di seberang kanan dan sisanya di seberang kiri. Tiap satu tempat tidur
berdiri kokoh alat seperti dispenser tanpa galon (tapi, lebih tinggi sedikit)
dengan selang-selang bergantungan berisi darah pasien. Kata para perawat yang
menjaga ruangan ini, mereka—para pasien yang tidur tak bergerak di tempat tidur ini—
sedang melakukan cuci darah. Ah, aku tidak begitu mengerti kalimat itu.
"Lha masak
darah kok dicuci? Apa juga perlu deterjen?"
Pertanyaan
bodoh itu tentu tak sampai ke telinga perawat, biar aku simpan saja di benak perempuan
tolol cleaning service sepertiku. Yang
perlu kupikir kan hanya, bagaimana mengerjakan tugasku dengan sebaik-baiknya? Cukup, dengan menunggu proses yang bernama “cuci darah” ini selesai, lalu memunguti
selang-selang bekas pasien yang masih ada sisa darahnya dari tempat sampah ruangan ini ke tempat
pembuangan sampah pusat. Ya, itu saja! Tapi, buatku hal ini juga mengerikan dan menjijikkan!
"Ah, demi bayiku...."
"Ah, demi bayiku...."
Sang perawat cantik
"Ruangan sama dan rutinitas sama..."
Dua hal yang terkadang membuat saya jengah
mengabdikan diri sebagai perawat di sini. Tidak usah muluk-muluk membahas
tentang pengabdian segala, semua juga saya lakukan karena uang. Gaji, tepatnya!
Tapi, kok semua seperti lenyap ya, jika saya melihat
pasien-pasien gagal ginjal yang tergolek lemah di enam bed ruangan ini. Entah kenapa, keberadaan mereka selalu saja
berhasil memecut rasa syukur saya. Yeah, saya seperti ditegur Allah, betapa
nikmat kesehatan adalah segalanya. Dan kalau sudah seperti ini, teori kerja
demi gaji pun langsung buru-buru menguap dari pikiran saya, terganti rasa tulus
hati yang ingin menolong para pasien lemah ini.
Dan seperti biasa, ruangan berbau antiseptik
ini masih sepi saat setelah saya membukanya. Lampu neon panjang berjumlah sesuai
bed ruangan juga belum berpendar.
Lain lagi dengan dua AC ruangan yang tetap menyala meski ruangan baru saja
dibuka. Hal ini dilakukan karena suhu minimum memang dibutuhkan untuk enam alat
hemodialisa ini. Tentu, sebagai perawat saya tidak mau ada masalah dengan alat
ini. Bisa kacau proses hemodialisa jika ada satu saja alat yang error atau tidak berjalan dengan
semestinya karena suhu yang terlalu panas. Dan jika itu terjadi, saya tak akan
memaafkan diri saya sendiri. Ya, saya akan merasa bersalah dengan pasien, sudah
jauh-jauh datang ke ruangan ini untuk membersihkan darahnya, untuk memakai alat
pengganti ginjalnya yang rusak, eh malah harus menunda lantaran alatnya tidak
berjalan semestinya. Lalu pertanyaan bagaimana darah mereka bisa bersih? Bagaimana
mereka menyambung sedikit hari hidupnya? Akan tanpa henti meraung-raung meneror
benak saya sebagai perawat yang bertanggung jawab di ruang ini.
“Saya, tidak mau itu terjadi ya Allah...”
Tanpa menunda waktu lagi, saya pun memulai rutinitas
di ruangan berdinding dan berkeramik putih ini dengan menekan saklar lampu.
Kemudian menekan power pada layar enam
alat HD yang berbentuk kubus tinggi sekitar satu setengah meter dengan layar di
bagian atasnya. Alat hemodialisa di ruangan ini memang telah menggunakan metode
touch screen, jadi operasi manualnya
hanya dengan menyentuh papan layar. Setelah mesin yang berada di tiap sisi
kanan bed, menyala atau dalam posisi
ON, selang-selang dan penyaring membran, atau bisa disebut dializer saya siapkan dan akan segera saya pasang di mesin. Saya
selalu berusaha, sebisa mungkin sebelum pasien datang, selang dan dializer—penyaring darah (pengganti
ginjal)— ini harus sudah terpasang dalam mesin. Agar, proses cuci darah dapat
segera dilakukan.
Dan setelah setengah jam berjalan,
selang-selang penampung darah sementara, dializer
yang telah sebelumnya disesuaikan dengan nama pasien, juga TV—di atas
dinding kanan dan kiri yang berjumlah dua, telah siap dan menyala. Tinggal waktunya
bagi saya untuk menunggu pasien dan bersiap menusukkan jarum berselang untuk
disalurkan ke dalam selang mesin HD yang baru saja terpasang.
Inilah rutinitas harian saya di ruangan
bernama ruang HEMODIALISA. Ruangan steril yang tidak begitu luas namun pas ini,
telah menjadi lahan rizki dan juga pahala buat saya. Tentunya saya juga tak
sendiri, karena ada dua perawat lain dan satu orang bagian cleaning service yang membuat saya jengkel tiap dia pasang wajah
mau muntah saat melihat darah!
"Cleaning
service yang manja!" batin saya merutuk tiap
dia mengaku mual-mual karena jijik.
Sang Pasien keren
Jika
gue harus memilih antara cuci darah dan penyembuhan alternatif tanpa cuci darah,
saya akan tetap memilih tetap melakukan cuci darah. Bukan karena gue nggak
percaya pengobatan alternatif, tapi lebih karena teman-teman gue yang
meninggalkan cuci darah— dan akhirnya kini balik lagi— berubah keadaan menjadi lebih
terlihat memilukan dan mengenaskan. Bayangin, sudah lama nggak melihat mereka,
tiba-tiba dikejutkan dengan perubahan fisik yang mengerikan, perut buncit
karena asites, kulit menghitam, juga
badan yang sangat kurus. Dan setelah gue tanya, ternyata semua diakibatkan
ketidakrutinan mereka melakukan proses
lima jam ini. Bulu kuduk gue langung berdiri mendengarnya. Kemudian timbul
pertanyaan lagi.
Apa
gue nggak bosan? Jika setiap dua minggu sekali harus selalu datang di ruangan
HD yang berbau alkohol dan dinginnya minta ampun seperti di kutub utara ini? Apa
gue betah, jika harus rela lima jam plus 30 menit tiduran nggak bergerak di
salah satu bed dengan alat cuci darah
berdiri gagah di sampingnya? Apalagi gue juga kudu rela ditusuk dengan jarum
berselang yang nantinya akan disambungkan dengan selang mesin HD dan dilewatkan
di dializer untuk disaring darahnya?
Jawaban
gue TIDAK?
Sekarang
gue balas semua pertanyaan itu juga dengan pertanyaan balik. Apa ada manusia
yang bosan untuk sebuah kebaikan hidupnya? Untuk sebuah kesempatan hidup walau
entah sampai kapan? Untuk mengais-ngais hari agar tetap bisa bernapas di dunia?
Dan menurut gue, hanya orang bodoh-lah yang selalu bilang bosan dan mengeluh
dengan rutinitas pembersihan oleh alat pengganti ginjal ini.
Jujur,
gue nggak pernah bosan berada di ruangan ini. Ruangan HD yang berada di gedung
utama di lantai tiga ini sudah seperti rumah sementara buat gue, yang tiap dua
seminggu sekali gue kunjungi untuk hanya menginap setengah hari demi
kelangsungan hidup gue.
Jika
teman-teman gue biasanya memakai kursi roda untuk menjangkau ruangan nggak luas
ini, gue malah selalu ingin tetap bisa berjalan dengan gagah dan tegak, yeah, meski
kadang gue juga harus menyembunyikan sesak napas dan perut yang sedikit
membuncit karena kebanyakan cairan dalam tubuh.
Setelah
membuka pintu kaca buram yang berat dan tebal ini, gue selalu disambut dengan rasa
udara yang kontras, suhu yang anjlok parah seperti di antartika. Yeah, selain
aroma antiseptik tentunya. Kemudian dengan pelan gue akan menyusuri keramik
putih bersih mengkilat, menuju timbangan berat badan yang terletak di pojok
ruangan sebelah kanan setelah pintu
masuk. Jika sudah menimbang berat badan sebelum HD, gue pun langsung
menuju salah satu bed yang seluruhnya
berjumlah enam ini— tiga di sebelah kanan, dan juga tiga di sebleh kiri. Tiap
samping kanan bed terdapat mesin HD
dan tempat sampah di bawahnya. Sedang di depan bed ada meja pasien, yang bisa digeser karena di bawahnya terpasang
dua roda bulat seperti roda di tiap kaki bed.
Gue
pun langsung menempatkan diri, tidur di bed
nomor dua sebelah kanan berseprai hijau dengan logo rumah sakit dan tulisan
nama ruangan ini tercetak di seprai juga karung bantalnya. Jarum berbuntut
selang— seperti bentuk kecebong, dengan kepala adalah jarum dan ekornya adalah
selang— telah siap menusuk pembuluh darah gue. Selang itulah yang nantinya
disambung ke selang-selang yang bergelantungan di mesin HD untuk transfer
aliran darah menuju dializer
(penyaring darah/ pengganti ginjal) dan akan kembali ke dalam tubuh—darah yang
telah bersih/ setelah melewati dializer.
O,
ya. Gue juga biasanya menonton TV yang terpasang di masing-masing dinding atas
kanan dan kiri untuk menggerus waktu HD yang lima jam ini. Yeah, semua proses
di ruangan bernama ruang HD ini gue lakukan setiap hari Senin dan Kamis. Dua
kali seminggu. Dan aku selalu bersyukur, ada ruangan ini, ruangan yang
memberikan semangat, menumbuhkan rasa syukur, memberi arti bagaimana
kehilangan, dan tentu juga memberi sebuah keluarga baru. Para perawat dan
ibu-ibu cleaning service yang setia
membuat ruangan ini tetap bersih. Terima kasih semuanya.....
Gue
nggak bisa bayangkan jika tidak ada
ruangan Hemodialisa ini???
@sayfullan
Langganan:
Postingan (Atom)