Minggu, 27 April 2014

Hingga Ujung Waktu

Diikutkan dalam tantangan membuat cerpen #kampusfiksi spesial Jogja
Mentor : Mbak Nisrina Lubis

Aku percaya kamu tak pernah pergi. Hanya berubah bentuk, atau bertransformasi menjadi bentuk lain. Ya, itulah yang selalu kuimani.

(1)
Aku lebih bahagia kita seperti ini. Tanpa tatapan menuduh orang lain, atau cacian tajam menghujam mahluk-mahluk sok suci itu.

Di tempat ini, yang hanya ada aku dan kamu, semua terasa lebih ringan, meski tentu saja cintaku kepadamu tak bisa dikatakan ringan.

Hari ini kamu ingin mengunjungi sebuah pantai. Dengan air berwarna ungu, dan kupadukan dengan langit bersemburat hijau. Semua tak masalah bagiku, di tempat ini aku bisa mewujudkan semua keinginanmu. Pun, pasir yang kita tapaki sekarang, berwarna kesayanganmu, merah muda.

Kupandang bibirmu yang merekah dalam buncah, karena inilah kali pertama kita bercumbu tanpa harus berhati was-was karena malu, tabu, atau apalah namanya itu. Di sini aku dan kamu bebas, lepas mengekspresikan rasa kita tanpa takut dosa.

(2)
Senja berwarna keperakan telah merampas waktu kita berdua di sini, memberi aba-aba dalam dimensi waktu kita yang nyaris tak terasa. Kulihat matamu pun mulai sayu, lelah dalam detik-detik akhir bersamaku.

"Apa ini pertanda kamu akan pergi?" tanyaku cemas. Namun, keyakinanku merebut kendali atas keraguanku sendiri.

"Bukan! Di tempat ini aku percaya kamu tak akan pergi. Mungkin hanya tertidur."

"Mana sanggup aku pergi dari otakmu? Aku mencintaimu hingga esok," pamitmu kepadaku dengan lembut.

Tapi, yang aku mau kamu hidup selamanya!" teriakku melihat tubuhmu bergeming di pangkuanku, tertidur pulas dalam gelap yang menyergap.

Cahaya mata belokmu pun mulai meredup, menyalami benam mentari dengan katupan kelopak inderamu. Di sini, temaram surya telah menutup matamu untuk sementara, bukan selamanya.

"Jika memang engkau tak mungkin hidup abadi, biarkanlah aku yang menutup mata selamanya,"janji diriku sendiri pada sayatan jiwaku.

(3)
Aku terjaga. Dalam kamarku yang telah tersusup cahaya mentari mataku terbuka. Pagi yang membuatku murka. Karena pengantar perpisahan yang tak pernah kuinginkan.

Dengan tubuh yang bergetar kuambil satu botol lagi obat di laci meja belajarku. Jika efek empat butirnya hanya mampu membawamu 12 jam saja ke hidupku, aku rela meneguk semua pil dalam botol yang sudah menjadi pengganti makananku itu. Yeah, tentu setelah tuduhan mereka atasmu, akan kematianmu!

Aku pun bisa tersenyum puas. Dengan semua obat dalam botol ini, aku akan bisa bersamamu kembali. Aku dengan kebahagiaan membayangkan tidur selamanya dan akan hidup bersamamu. Di tempat kita berdua...

"Dan matamu akan membuka, sayang. Kita bisa hidup bersama selamanya. Persetan kata mereka tentang nisanmu, karena aku telah menemukanmu di dunia lain. Surga untuk kita berdua. Selamanya..."

Lalu kutelan semua isi dalam botol yang kugenggam. Rakus. Jantungku memprotes dengan berdetak kencang, pil-pil itu seperti tertahan. Dengan cepat kudorong semua pil itu dengan telunjukku. Kupaksa masuk ke dalam lambungku. Dengan napas tersengal kuteguk sisa-sisa air putih di meja. Lorong kerongkongan yang tadi tersedat kini akhirnya terlarung. Mengendap dalam lambung.

"Dan kini aku menemukanmu lagi. Ya, karena aku sanggup menerima kepergianmu. Juga nyawaku sendiri," ucapku bangga di hadapanmu yang telah berdiri menyambutku.

Dibuat via hp :) sorry kalau banyak typo...

Sabtu, 19 April 2014

Anjingmu, kudamu, tapi bukan monstermu!

Diikutkan dalam tantangan #fiksilaguku Kampus Fiksi

From song : Selimut Hati By Dewa 19

Oke. Kini aku menyerah. Aku angkat tangan menghadapimu. Yeah, aku pikir bayangan monster di masa lalumu itu sudah lenyap karena kehadiranku di hidupmu. Namun, sepertinya aku salah total. Eranganmu tadi malam telah menjelaskan semuanya.

Awalnya aku tak yakin dengan apa yang kudengar, tapi semakin menuju puncak nikmat, nama monster itulah yang kamu elu-elukan. Sial! Ini keterlaluan dan benar-benar tak masuk akal. Dalam cumbuanku beraninya kamu sebut nama monster itu.

Jujur, sebenarnya aku tidak keberatan saat kamu jadikan aku anjing yang harus selalu menjilatimu dengan lidahku, pun ketika kamu jadikan aku kuda yang bisa kamu tunggangi dengan sepuas hati, tapi tolong! Jika kamu ingin aku menjadi monster di masa lalumu itu, maaf aku tidak bisa. Meskipun aku tahu, hanya dia yang sebenarnya kamu cinta.

@sayfullan

Sabtu, 05 April 2014

Tumpah Ruah Ruang Rasa



 WARNING!!! 
Tulisan ini adalah seri curcol yang diikutkan #TantanganDeskripsiSetting oleh @KampusFiksi @divapress01 semoga lolos :)



 Ibu sang cleaning service

"Ritual lagi! Ritual lagi!"

Pekerjaanku ini sudah seperti ritual saja. Bosan juga sebenarnya kalau setiap lima jam harus membersihkan sampah menjijikkan di ruangan ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku belum sudi dikatakan Ibu tak bertanggung jawab, yang luput dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan bayiku. Belum lagi kebutuhan pendidikannya kelak. Ah, mau tak mau pekerjaan sebagai cleaning service ini akhirnya kubabat juga.

Kalau saja, aku tidak alergi atau mual dengan darah, mungkin pekerjaan ini tak begitu menyiksa. Cukup hanya mengepel, membersihkan ruangan berbau obat ini, dan mengambil sampah di tempat sampah bertuliskan SAMPAH MEDIS besar di tutupnya. Gampang kan? Tapi, semua menjadi sulit, setelah aku tahu isi dalam enam tempat sampah di setiap samping kasur ruangan ini. Selang dengan bekas darah!!! 

Awalnya aku langsung mual, pengin muntah, saat mengambil selang-selang panjang berisi bekas darah yang begitu merah. Tautan-tautan selang itu, memaksa cairan darah tetap di dalamnya, tak mengucur. Terlihat begitu menjijikkan dan amis. Tapi, sekali lagi, demi bayiku yang butuh hidup, aku tahan rasa mualku saat mengorek enam tempat sampah serupa di ruangan ini.

Sebenarnya ruangan ini cukup bersih. Dindingnya yang bercat putih dengan keramik warna senada dan samar-samar wangi lemon yang kalah dengan aroma obat ini tak begitu seram buatku. Ya, jika darah-darah dari pasien yang bergelantungan dalam selang tak menjadi pemandangan utama ini. Ada enam tempat tidur pasien yang tersusun berhadapan. Tiga di seberang kanan dan sisanya di seberang kiri. Tiap satu tempat tidur berdiri kokoh alat seperti dispenser tanpa galon (tapi, lebih tinggi sedikit) dengan selang-selang bergantungan berisi darah pasien. Kata para perawat yang menjaga ruangan ini, mereka—para pasien yang tidur tak bergerak di tempat tidur ini— sedang melakukan cuci darah. Ah, aku tidak begitu mengerti kalimat itu. 

"Lha masak darah kok dicuci? Apa juga perlu deterjen?"

Pertanyaan bodoh itu tentu tak sampai ke telinga perawat, biar aku simpan saja di benak perempuan tolol cleaning service sepertiku. Yang perlu kupikir kan hanya, bagaimana mengerjakan tugasku dengan sebaik-baiknya? Cukup, dengan menunggu proses yang bernama “cuci darah” ini selesai, lalu memunguti selang-selang bekas pasien yang masih ada sisa darahnya dari tempat sampah ruangan ini ke tempat pembuangan sampah pusat. Ya, itu saja! Tapi, buatku hal ini juga mengerikan dan menjijikkan! 

"Ah, demi bayiku...."

Sang perawat cantik

"Ruangan sama dan rutinitas sama..."

Dua hal yang terkadang membuat saya jengah mengabdikan diri sebagai perawat di sini. Tidak usah muluk-muluk membahas tentang pengabdian segala, semua juga saya lakukan karena uang. Gaji, tepatnya!
Tapi, kok semua seperti lenyap ya, jika saya melihat pasien-pasien gagal ginjal yang tergolek lemah di enam bed ruangan ini. Entah kenapa, keberadaan mereka selalu saja berhasil memecut rasa syukur saya. Yeah, saya seperti ditegur Allah, betapa nikmat kesehatan adalah segalanya. Dan kalau sudah seperti ini, teori kerja demi gaji pun langsung buru-buru menguap dari pikiran saya, terganti rasa tulus hati yang ingin menolong para pasien lemah ini.

Dan seperti biasa, ruangan berbau antiseptik ini masih sepi saat setelah saya membukanya. Lampu neon panjang berjumlah sesuai bed ruangan juga belum berpendar. Lain lagi dengan dua AC ruangan yang tetap menyala meski ruangan baru saja dibuka. Hal ini dilakukan karena suhu minimum memang dibutuhkan untuk enam alat hemodialisa ini. Tentu, sebagai perawat saya tidak mau ada masalah dengan alat ini. Bisa kacau proses hemodialisa jika ada satu saja alat yang error atau tidak berjalan dengan semestinya karena suhu yang terlalu panas. Dan jika itu terjadi, saya tak akan memaafkan diri saya sendiri. Ya, saya akan merasa bersalah dengan pasien, sudah jauh-jauh datang ke ruangan ini untuk membersihkan darahnya, untuk memakai alat pengganti ginjalnya yang rusak, eh malah harus menunda lantaran alatnya tidak berjalan semestinya. Lalu pertanyaan bagaimana darah mereka bisa bersih? Bagaimana mereka menyambung sedikit hari hidupnya? Akan tanpa henti meraung-raung meneror benak saya sebagai perawat yang bertanggung jawab di ruang ini.

“Saya, tidak mau itu terjadi ya Allah...”

Tanpa menunda waktu lagi, saya pun memulai rutinitas di ruangan berdinding dan berkeramik putih ini dengan menekan saklar lampu. Kemudian menekan power pada layar enam alat HD yang berbentuk kubus tinggi sekitar satu setengah meter dengan layar di bagian atasnya. Alat hemodialisa di ruangan ini memang telah menggunakan metode touch screen, jadi operasi manualnya hanya dengan menyentuh papan layar. Setelah mesin yang berada di tiap sisi kanan bed, menyala atau dalam posisi ON, selang-selang dan penyaring membran, atau bisa disebut dializer saya siapkan dan akan segera saya pasang di mesin. Saya selalu berusaha, sebisa mungkin sebelum pasien datang, selang dan dializer—penyaring darah (pengganti ginjal)— ini harus sudah terpasang dalam mesin. Agar, proses cuci darah dapat segera dilakukan.

Dan setelah setengah jam berjalan, selang-selang penampung darah sementara, dializer yang telah sebelumnya disesuaikan dengan nama pasien, juga TV—di atas dinding kanan dan kiri yang berjumlah dua, telah siap dan menyala. Tinggal waktunya bagi saya untuk menunggu pasien dan bersiap menusukkan jarum berselang untuk disalurkan ke dalam selang mesin HD yang baru saja terpasang.

Inilah rutinitas harian saya di ruangan bernama ruang HEMODIALISA. Ruangan steril yang tidak begitu luas namun pas ini, telah menjadi lahan rizki dan juga pahala buat saya. Tentunya saya juga tak sendiri, karena ada dua perawat lain dan satu orang bagian cleaning service yang membuat saya jengkel tiap dia pasang wajah mau muntah saat melihat darah! 

"Cleaning service yang manja!" batin saya merutuk tiap dia mengaku mual-mual karena jijik.

Sang Pasien keren

Jika gue harus memilih antara cuci darah dan penyembuhan alternatif tanpa cuci darah, saya akan tetap memilih tetap melakukan cuci darah. Bukan karena gue nggak percaya pengobatan alternatif, tapi lebih karena teman-teman gue yang meninggalkan cuci darah— dan akhirnya kini balik lagi— berubah keadaan menjadi lebih terlihat memilukan dan mengenaskan. Bayangin, sudah lama nggak melihat mereka, tiba-tiba dikejutkan dengan perubahan fisik yang mengerikan, perut buncit karena asites, kulit menghitam, juga badan yang sangat kurus. Dan setelah gue tanya, ternyata semua diakibatkan ketidakrutinan mereka melakukan proses  lima jam ini. Bulu kuduk gue langung berdiri mendengarnya. Kemudian timbul pertanyaan lagi.

Apa gue nggak bosan? Jika setiap dua minggu sekali harus selalu datang di ruangan HD yang berbau alkohol dan dinginnya minta ampun seperti di kutub utara ini? Apa gue betah, jika harus rela lima jam plus 30 menit tiduran nggak bergerak di salah satu bed dengan alat cuci darah berdiri gagah di sampingnya? Apalagi gue juga kudu rela ditusuk dengan jarum berselang yang nantinya akan disambungkan dengan selang mesin HD dan dilewatkan di dializer untuk disaring darahnya? 

Jawaban gue TIDAK?

Sekarang gue balas semua pertanyaan itu juga dengan pertanyaan balik. Apa ada manusia yang bosan untuk sebuah kebaikan hidupnya? Untuk sebuah kesempatan hidup walau entah sampai kapan? Untuk mengais-ngais hari agar tetap bisa bernapas di dunia? Dan menurut gue, hanya orang bodoh-lah yang selalu bilang bosan dan mengeluh dengan rutinitas pembersihan oleh alat pengganti ginjal ini.

Jujur, gue nggak pernah bosan berada di ruangan ini. Ruangan HD yang berada di gedung utama di lantai tiga ini sudah seperti rumah sementara buat gue, yang tiap dua seminggu sekali gue kunjungi untuk hanya menginap setengah hari demi kelangsungan hidup gue.

Jika teman-teman gue biasanya memakai kursi roda untuk menjangkau ruangan nggak luas ini, gue malah selalu ingin tetap bisa berjalan dengan gagah dan tegak, yeah, meski kadang gue juga harus menyembunyikan sesak napas dan perut yang sedikit membuncit karena kebanyakan cairan dalam tubuh. 

Setelah membuka pintu kaca buram yang berat dan tebal ini, gue selalu disambut dengan rasa udara yang kontras, suhu yang anjlok parah seperti di antartika. Yeah, selain aroma antiseptik tentunya. Kemudian dengan pelan gue akan menyusuri keramik putih bersih mengkilat, menuju timbangan berat badan yang terletak di pojok ruangan sebelah kanan setelah pintu  masuk. Jika sudah menimbang berat badan sebelum HD, gue pun langsung menuju salah satu bed yang seluruhnya berjumlah enam ini— tiga di sebelah kanan, dan juga tiga di sebleh kiri. Tiap samping kanan bed terdapat mesin HD dan tempat sampah di bawahnya. Sedang di depan bed ada meja pasien, yang bisa digeser karena di bawahnya terpasang dua roda bulat seperti roda di tiap kaki bed.

Gue pun langsung menempatkan diri, tidur di bed nomor dua sebelah kanan berseprai hijau dengan logo rumah sakit dan tulisan nama ruangan ini tercetak di seprai juga karung bantalnya. Jarum berbuntut selang— seperti bentuk kecebong, dengan kepala adalah jarum dan ekornya adalah selang— telah siap menusuk pembuluh darah gue. Selang itulah yang nantinya disambung ke selang-selang yang bergelantungan di mesin HD untuk transfer aliran darah menuju dializer (penyaring darah/ pengganti ginjal) dan akan kembali ke dalam tubuh—darah yang telah bersih/ setelah melewati dializer.

O, ya. Gue juga biasanya menonton TV yang terpasang di masing-masing dinding atas kanan dan kiri untuk menggerus waktu HD yang lima jam ini. Yeah, semua proses di ruangan bernama ruang HD ini gue lakukan setiap hari Senin dan Kamis. Dua kali seminggu. Dan aku selalu bersyukur, ada ruangan ini, ruangan yang memberikan semangat, menumbuhkan rasa syukur, memberi arti bagaimana kehilangan, dan tentu juga memberi sebuah keluarga baru. Para perawat dan ibu-ibu cleaning service yang setia membuat ruangan ini tetap bersih. Terima kasih semuanya.....

Gue nggak  bisa bayangkan jika tidak ada ruangan Hemodialisa ini???


 @sayfullan