Sabtu, 06 Desember 2014

Kesempurnaan


Aku membayangkan, betapa sempurnanya panggung kehidupan ini. Meski kau cari-cari kekurangannya, tak akan pernah bisa kau jumpai. Semua tak ada cacat, pun kekeliruan hitungan yang mencuat. 

Teman, pernahkah kau sadari jika bumi ini tak berevolusi? Manusia, binatang, tumbuhan, dan semua mahluk hayati akan mati, lebur dalam panas matahari. Tersedot dalam gaya tarik bintang raksasa itu tanpa ampun, tanpa welas sedikit pun? 

Teman, pernahkah pula kau pikirkan, jika bumi tak bergasing di porosnya? Tidak akan pernah kau lihat lagi senja, tak akan kau nikmati lagi malam, dan waktu terasa tak bergerak. Diam. Satu sisi manusia akan membeku, dan satu sisi lainnya habis terbakar. Semua lenyap, hancur tanpa menunggu lama, hanya satu hari, bumi menuju ajal.  

Lihatlah, betapa sempurnanya Semesta telah dirancang, sebagaimana kita yang juga diciptakan sempurna. Bukan! Bukan kapasitas otak kita yang harus 100 persen, karena itu pasti akan sangat mengerikan. Tuhan telah dengan rinci menghitungnya. Jika 20 persen saja kapasitas otak yang dianugerahkanNya dapat digunakan, maka tentram tak akan lagi ada dalam hidup manusia. Bagaimana tidak, bayangkan teman, jika matamu sanggup dengan jelas menyaksikan aliran darah dalam tubuhmu sendiri, pohon yang seperti transparan,  pembuluh xylem dan floem terlihat jelas membawa hara, gelombang elektromagnetik saling berseliweran menjadi pandangan mata? Kau tak akan sanggup hidup.

Tidak hanya itu,  rasa sakit saat tulang kali pertama tumbuh dalam janinmu pun dapat terasa, degup pertama jantungmu masih teringat jelas. Bukankah semua itu menyiksa, taman? Ya, terutama kenangan, luka-luka akan tak mampu dihapuskan. Semua terkungkung, melilit dalam memori kita. Ingatkah kau, Einstein, sang jenius di semesta saja,  hanya menggunakan kapasitas otaknya kurang dari 5 persen. Apalagi kita? 

Dan itulah kesempurnaan sejati manusia, yang terletak di  dalam ketidaksempurnaannya. Jadi, nikmat Tuhan mana yang kita dustakan, teman? 

Jumat, 05 Desember 2014

Kasta



Mereka menyebutku dengan nama Elnino. Keluarga satu kerajaan koloni rayap dalam bumi pertiwi. Saudaraku di kerajaanku sudah tak terhitung lagi, terlalu banyak, dan terlalu bising. Tapi, aku tak sanggup mengeluh, karena pasti sang ratu bisa mendengarkanku. Dia bukannya kejam atau jahat, tapi dia terlihat mengerikan. Tubuhnya besar seperti raksasa, tubuhku saja hanya sepersepuluh darinya. Dan dia punya kekuatan khusus, seperti memiliki penangkap frekuensi dari kami, semua anggota koloni kerajaan miliknya ini. Jadi, apa yang kupikirkan pastilah dapat dia dengar dengan jelas. 

"Elnino, kamu repro," ucap ratu tegas saat aku masih berbentuk nimfa. 

Hari itu adalah hari ketika keputusan sang ratu kami dengar. Perintah sakral dalam menggolongkan para nimfa baru sesuai keahlian atau takdir yang sudah dia tentukan. Yeah, termasuk takdirku yang menjadi salah satu kawanan nimfa reproduksi ini. Padahal, aku begitu ingin menjadi kelompok prajurit, yang terlihat gagah dengan kepala keras dan besar, dan tentu dengan tugas yang terlihat mulia. Menjaga para pekerja dan keamanan kerajaan dari bahaya.

"Sekarang kamu pikirkan lagi, El. Lebih mulia mana, prajurit atau kawanan laron yang akan menurunkan cikal bakal kerajaan selanjutnya? Kamu itu calon raja, El! Yang akan memiliki kerajaan dan beribu-ribu koloni!" kata Al-zayyid, satu-satunya sahabat dari kelompok prajurit kerajaan. 

"Katamu benar, jika aku berhasil menemukan belahan jiwa, atau ratuku kelak. Tapi, kalau tidak? Hukuman mati yang kuterima," sangkalku lesu. 

"Jadi, sebenarnya masalahmu adalah takut mati, El."

"Ya karena hanya posisikulah yang begitu mengerikan!" jawabku masih tak mau kalah. 

"Mengerikan katamu?" sindirnya dengan wajah menghina, "Hanya mencari betina saja kau bilang mengerikan? Ingat, nyawaku setiap detik dipertaruhkan untuk mencari makan semua koloni, dan kamu masih bisa bilang posisimu mengerikan?"

"Itu sudut pandangmu saja, Al. Coba, jika kamu berada di posisiku. Ketika di udara lembab, hujan pertama di semesta, aku harus keluar dari kerajaan, terbang dengan sayap sayap ringkih dan mencari setitik cahaya di sarang monster bernama manusia hanya demi wanita—

"Bukan demi wanita, tapi demi kelangsungan hidup kita selanjutnya, " potong Alyazzid cepat. "Keturunan koloni kita lebih penting. Harusnya kamu bisa lebih bersikap dewasa," tambahnya dengan muka menyebalkan. Sok bijak dan sok dewasa. 

"Al, jujur, aku sebenarnya hanya takut. Aku takut tidak bisa menemukan gadis itu, belahan jiwaku, dan itu lebih menyakitkan dari kematian itu sendiri," ujarku rapuh. 

"Tidak ada yang sia-sia, El. Ketika fajar menyingsing, saat sayapmu telah tumbang dan kau tak menemukan calon ratumu, detik itu juga kau sudah menjadi pejuang. Ya, prajurit yang syahid, yang selalu kau idam-idamkan itu," terang sahabatku ini dengan mata berkaca.

Ah, berbicara dengan prajurit kadang membuat hati sedih. Karena, bisa saja ini terakhir kami berbincang. Ya, sebagai kasta prajurit, kata mati bisa saja datang kapan saja tanpa memandang waktu, doa, apalagi sebuah ikatan bernama pertemanan. 

"Terima kasih Al," ucapku tulus, setelah tersadar dan membenarkan teori Al, bahwa semua yang hidup pasti juga akan mati, dan yang mati akan ada pengganti, selalu seperti itu. Lalu kenapa aku masih takut lagi? 

Braaak… Braaakkk…. 

Tiba-tiba, suara dari langit memekakan telinga terdengar. Ini sebuah serangan. Aku panik, deru jantungku berpacu kacau. 

"Lari! Lari El!" teriak Alyazzid keras. Kepalanya yang besar dan kuat difokuskan ke arah sumber suara. Dia siaga pasang kuda-kuda."Cepat masuk ke tempat aman!" perintahnya lagi. 

"Gila kamu, mana mungkin aku meninggalkanmu sendiri dengan kaki monster manusia raksasa kemari."

"Itulah tugasku sebagai prajurit El! Untuk mengamankanmu..!"

"Lalu tugasku hanya kawin, dan membiarkan sahabatku mati demu aku. Tak waras kamu Al! " protesku kesal. 

"Kasta kita berbeda. Lagian, sudah kukirimkan sinyal bahaya ke prajurit lain. Cepat! Lekaslah kau pergi! Cari tempat aman," teriaknya kencang, karena suara bising itu kian mendekat. 

Aku bergeming, tetap berdiri di samping Al. Tak peduli seberapa keras dia mengusirku, tak peduli seberapa menyakitkannya suara larangan yang terngiang di gendang telingaku. Aku akan tetap di sampingnya untuk berjuang bersama-sama. 

Brakkk…

Suara derap kaki raksasa itu pun mendekat, memporandakan semua yang ada di sekitar. Ah, sial. Kakiku terjerembab dalam lumpur yang terlempar dari kaki raksasa itu. Membuat aku terkunci dan tak bisa lari. Aku semakin panik. Napasku terus memburu. Dan ketika mataku melihat ke atas, telapak raksasa itu mangayun ke arah tubuhku. 

Ya Tuhan, aku akan terinjak! Tolonglah aku, aku belum ingin mati...

Namun, tiba-tiba sebuah dorongan kuat menyudrukku, melemparkanku terpelanting jauh ke sisi. Membuat kepalaku rasanya seperti terbentur batu yang keras. Aku limbung, tersungkur dalam semak yang lebat. Aku tak mengira aku bisa selamat, lalu kuucapkan hamdallah berkali kali. 

Dengan susah payah kucoba bangkit lagi setelah suara kaki raksasa itu menjauh pergi.

"Al?! Al!" teriakku cemas mencari satu satunya sahabat tempatku berbagi itu. "Al! Tolong, jawab aku."

Tapi teriakkan parau suaraku tak didengarnya juga. Aku semakin kacau. Berlari kesana kemari mencari Al yang belum juga kutemui. Dan dari arah lain sayup-sayup terdengar langkah berderap rapi mendekat. Aku pastikan itu para prajurit kerajaan. Aku berlari mengikuti suara. Berharap Al berada satu barisan bersama mereka.

Dugaanku tak meleset, prajurit telah rapi berbaris. Sang komandan menemuiku, mengucapkan hormat dan mengamankanku. Mungkin dia akan mendapat hukuman sang ratu jika tahu aku terancam bahaya. Karena bahaya bagiku berarti juga bahaya baginya, sebuah hukuman dari raja. 

Dia mengawalku pulang. Aku hanya bisa pasrah, ikut langkah mereka. Namun, saat bebrapa langkah akan pulang, kutemukan sosok mayat yang telah kukenal. 

Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Mataku menangkap Al dengan tubuh telah hancur. Hanya kepala kerasnya yang masih utuh. Senyumnya terukir, matanya teduh. Ya Tuhan, dia sahabatku yang menyelamatkanku...

"Kenapa mayatnya tidak kalian angkut. Dia yang menyelamatkan nyawaku!" teriakku keras dengan air mata tak tertahan lagi. Kenapa kalian diam saja. Ayo! Angkat mayatnya! Kalian tak dengar apa?" bentakku penuh emosi. 

"Itu sudah menjadi tugasnya. Lebih banyak prajurit yang mati tragis dari dia. Sudahlah, tak penting air matamu itu. Prajurit! Paksa dia pulang ke kerajaan!!" perintah mutlak sang komandan, yang langsung dijawab YA serentak oleh pasukannya. 

Lalu dengan paksa mereka mendorongku ke arah kerajaan, meninggalkan Al yang telah tak bernyawa. Aku hanya bisa menangis pilu, menatap mata damai Al untuk terakhir kalinya. 

"Semoga kamu bahagia di syurga, Al," doaku penuh air mata. 

Bersambung...


KUPU-KUPU DIAM


Ulat menggeliat tak tenang, dibelenggu daun-daun kering yang meringkuk melingkar. Buatnya itu pertanda, bahwa masa menahan diri hampir tiba. 

Dengan mata nanar, dia mencoba pasrah. Ikhlas menunaikan peran dari semesta. Dia tidak berontak, pun  melawan. Diam. Ya, hanya diam yang bisa dia lakukan. Diam bukan berarti lemah, diam bukan berarti tanpa daya. Dalam diam, kekuatan besar itu tersimpan. Ya, berjuta energi agung yang jika telah tiba saatnya akan menampakkan keindahannya pada dunia. Mensyukuri diri barunya. Sayapnya, warnanya. Dialah kupu-kupu sang keindahan mahluk alam.  

Begitu pula dengan kita. Mungkin aku selalu diam. Atau tidak pernah mengutarakan. Tapi, di tiap rapalan doa, namamulah yang selalu terbasuh diantara asma-asma agungNya. Aku diam bukan berarti tidak bergerak. Aku diam bukan berarti tidak memihak. Karena dalam diam, aku menyanyangimu diam-diam. Hingga waktu tepat kelak, yang telah terjalin dalam tautan takdir kita, keindahan itu akan menjelma. 

Seperti lahirnya sang kupu-kupu, begitulah aku ingin belajar mencintaimu…