Selasa, 28 April 2015

Catatan Usang Sang Pemerhati




Setiap dalam keramaian selalu ada yang berperang dalam diri saya, dalam hati saya. Semacam ada dua sisi jiwa saya yang saling berebut mencari pengaruhnya. Petama, saya yang begitu ingin higar, bingar, dalam sebuah perkumpulan. Namun, saya juga tak menampik jika jiwa lain saya ikut berontak. Dia yang pemalu, yang inferior, yang selalu ingin kesunyian, juga  kesendirian, ingin mendapat tempatnya.

Kala di titik itulah, diri saya yang terlalu peka masuk ke dalam keadaan yang sulit, antara ingin bertemu dengan orang-orang yang selalu terlihat tenang, atau ikut berhura-hura dengan kumpulan para penggembira. Terdengar sepele memang, tapi itu tidak berlaku untuk saya yang selalu bermimpi ingin bisa merangkul semua. Tapi apa daya. Mereka bagai dua kutub. Dan tubuh saya pun hanya satu saja. Toh, saya harus memilih. Bukankah hidup adalah pilihan?

Hal yang selalu saya rasakan itu terjadi lagi. Kekhawatiran sejenis yang terkadang hilang gaungnya kala keramaian menguasai saya. Ya, di Kampus Fiksi emas inilah yang menjadi mediator jiwa saya untuk belajar dan berkelana dengan orang-orang dan karakter baru yang beragam rupa. Tentu juga sangat  menyenangkan. Tapi ya seperti yang saya bilang, seperti halnya sebuah koloni, selalu ada dominasi, perbedaan keinginan, juga berbeda tujuan. 

Dan pilihan hati saya, kf ini, saya hanyut berhore-hore dengan anak-anak yang "showing me" dengan percaya diri yang mungkin telah diambang batas maksimal... hehehe

Saya merunut kembali mereka, bayangkan betapa hebohnya sebuah kumpulan dengan karakter yang--
Ada sosok mahasiswa teknik mesin akhir yang pinter main kartu juga jago menyanyi yang masih berjuang mengelarkan tugas akhirnya, ada juga aktor wanna be, yang begitu hafal dengan dialog film-film Indonesia yang begitu terlalu lebay dan kurang alami, namun berani mencoba dan selalu mendengarkan saran dari siapa saja. Ada duo tante, yang matang dan penuh diksi menggairahkan karena begitu kreatifnya. Pun, dua bidadari cantik dan febeles yang selalu menguarkan aura kecantikan mereka masing-masing. Kecantikan memimpin dan berpengaruh, juga kecantikan yang lemah lembut dan rela menerima keputusan. Tak ada yang kurang atau lebih dari mereka, semua terasa pas. O iya, ada juga satu mahluk adam yang begitu terlihat oh-so-elegantly (akunya si) lulusan FISIP UGM yang pemikirannya cukup mengguncang dan melampaui batas kenormalan. Unik! ya, mereka semua unik dan saya belajar banyak dengan mereka.

Tambahan, dua mahluk yang sungguh berbeda. Pertama, dia seorang penyair sejati. Hanya minta air minum saja, ia rela membuat sajak puisi. Atau saat minta kopi, ia membuat syair. Tentu hal itu ditertawakan oleh sosok yang selalu menyebut dirinya klonigan Le Min Ho, yang terkenal innocent dan nggak peka oleh pacarnya. #eh

Meski sebenarnya sisi jiwa entrovert saya terus menarik saya untuk tetap tinggal di asrama ketika saya lelah, tapi sayang, dia tak juga mampu melakukannya. Ya, dan itu terasa ketika saya pulang. Saat dalam satu mobil saya bersama rombongan lain, sosok-sosok lain. Rombongan dari asal saya, yang baru saja bercengkerama irit dan baru bisa bercanda meski sebentar saja, menyadarkan sisi lain dari saya. Sesal! Kenapa saya tidak ikut mereka (juga)? Kenapa keseruan mereka menyisakan sebongkah sesal (juga)? Ah, saya masih ingat ketika salah satu peserta anak SMA yang menanyakan sejarah wedang ronde kepada mereka. Saya sempat mengulum senyum, dan pasti anak itu! (Pembaca Imaji Dua Sisi) Deh #promo

Lalu saya kembali merenung. Ternyata saya belajar sebuah hukum alam. Seperti sebuah koloni semut, laron, dan kini saya pikir manusia juga. Kita, seolah diarahkan  menuju kutub yang membuat nyaman. Kutub yang selalu menenangkan, menerima, dan membuat senang. Kutub yang secara alami menarik kita seperti gravitasi, yang dengannya saya terkadang ingin rakus menarik  semua kutub itu. Entahlah, mungkin terdengar saya semacam haus akan perhatian, tapi tidak! Saya hanya ingin bisa mendengar, menolong apa yang bisa saya lakukan, mendoakan, membuat bahagia sebatas yang saya bisa. Ya, karena hanya itu yang bisa saya lakukan sekarang ini. Hanya itu yang bisa usahakan di sisa-sisa kesempatan setelah banyak kesombongan yang saya lakukan.

Terima kasih buat Kampus Fiksi. Setiap ke sana, selalu saja ada hal menarik yang terekam dalam memori saya. Tentang sahabat, guru, keluarga besar, diperhatikan, (merasa) dikucilkan, kepercayaan diri, minder, dan banyak rasa yang tumpah ruah dalam setiap pertemuan dalam kekinian. Satu hal yang akan selalu saya ingat, berikanlah jejak yang baik saat pertama jumpa, dan jagalah jejak itu hingga nanti berjumpa lagi kelak.

Bersambung...

Salam hangat,
Sayfullan

Jumat, 10 April 2015

Vonis itu...


Vonis itu...

By Sayfullan

Masih terngiang di telingaku suara Dokter di Karawang tempatku bekerja. Begitu mengejutkanku. Aku dapat merasakan kecemasan dalam perkataannya, tapi aku tidak memeperhatikannya. Toh, aku memang merasa cukup kuat dan sehat waktu itu. Paling banter sakit tipus, batinku.

“Maaf, kami perlu memeriksa darah mas,” katanya yang bukan orang Sunda asli itu setelah merekam jantungku dan memasangkanku selang oksigen.

“Memang perlu makai ini ya, Dok?” tanyaku pada Dokter jaga UGD sambil menunjukkan selang Oksigen.

“Saturasi Oksigen dalam tubuh mas rendah, jadi perlu oksigen.”

“Oh gitu.” Jawabku santai, “Mang kira-kira aku sakit apa sih Dok, kayaknya ribet amat,” tanyaku lagi penasaran.

“Masih belum tahu mas, analisis sementara Mas Saiful mengalami hipertensi dan anemia akut,” jelas dokter tinggi ini dengan sabar.

Aku tidak membalas, hanya mulutku yang membentuk huruf “O” sebagai tanda aku mengerti dengan penjelasannya.

“Oke, kami bawa sample darah ini ke laborat, dan hasilnya sekitar setelah Magrib, mas.”
“Siap Pak Dokter,” candaku sambil posisi tangan hormat.

Setelah pemeriksaan awal selesai, aku dipindahkan di ruang inap untuk menunggu hasil laboratorium.
Di rumah sakit yang agak kecil ini aku berdua dengan teman sekantor yang juga perantauan dari Semarang. Dialah yang mengurus semua administrasiku, bisa dibilang agak susah prosedur yang diberikan rumah sakit untuk karyawan yang mendapatkan asuransi dari perusahaan. Tetapi, aku tetap bersyukur, masih bisa berobat gratis. Yeah, mengingat banyak orang yang harus merelakan nyawa keluarganya karena tidak ada biaya untuk ke rumah sakit.

Kumadang Azan Magrib pertanda waktu menghadap Sang Khalik. Aku mendirikan sholat dengan duduk di kasur. Temanku yang tadi mengantarkanku sudah pulang setelah masalah administrasi selesai. Setelah melaksanakan rukun islam ini, dokter  tadi memasauki ruanganku dengan kertas ditangannya. Rona wajahnya meredup tertutup oleh kecemasan.

“Ini hasil Lab. Mas Saiful sudah ada,” kata dokter itu memulai.

“Gimana hasilnya, Dok?” tanyaku menyembunyikan kecemasan.

“Mas, harus telepon keluarga sekarang.”
“Mang ada apa denganku, Dok?”

Dokter tidak menjawab, “Tolong sambungkan dengan keluarga Mas Saiful di Semarang, sekarang juga!”

Tanganku langsung memencet keypad samsung corby-ku. Aku Telepon Kakak keduaku, karena Emak tidak pernah punya handphone dan Bapakku sudah lama meninggal. Jadi, tinggal kakakku itu yang menggantikan posisi Bapak sekarang.

Setelah tersambung, telepon langsung aku berikan kepada Dokter.
Aku mendengar kata-kata Dokter itu kepada Kakak. Aku terpukul, tidak percaya dengan apa yang dokter di sampingku katakan.

###

 “Gagal ginjal atau mengalami kerusakan ginjal mengharuskan penderitanya untuk melakukan hemodialisa secara rutin,” penjelasan dokter kepadaku, setelah mengakhiri percakapannya dengan kakakku.

“Apa itu hemodialisa, dok?” tanyaku dengan sedikit lemah.

“Hemodialisa itu sama dengan Cuci darah, mas.”

“Jadi darahku dicuci?” tanyaku lagi dengan lugu.

Dokter tersenyum simpul, kemudian ia melanjutkan penjelasannya, “Cuci darah merupakan proses penyaringan darah.”

“Disaring? Dari apa?”

“Ya dari air dan zat-zat sampah, karena ginjal Mas Saiful kini tidak lagi mampu menyaring darah lagi.”

“Jadi seumur hidup aku harus melakukan ini?”

“Iya, sebelum ginjal mas belum benar-benar berfungsi.”

Itulah percakapan terakhirku dengan Dokter. Aku tak sanggup lagi membayangkan keadaanku kelak. Harus tergantung dengan mesin pengganti ginjal itu. Aku ingin protes! Ingin marah!!

“Kenapa harus aku Ya Allah, Kenapa??” jerit hatiku membayangkan masa depanku yang kini semakin terlihat gelap dan suram.

Sejak percakapan itu aku terus memikirkan perkataan-perkataan dokter. Pikiranku tak henti-henti mencerna sederet pertanyaan hati yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Ya, karena aku yakin, suatu saat Allah akan menjawabnya.

###

Subuh, aku terbangun. Tanganku sibuk mencari handphone yang sempat aku tiduri semalaman. Keingin menelpon keluargalah yang membuatku belangsatan mencari handphone-ku satu-satunya itu.
Usahaku sia-sia. Hp-ku lenyap. Aku kalang kabut.
“Pasti ada orang yang mengambilnya!!!” bisik hatiku.
Dugaanku menguat karena memang semalaman aku sendirian di Rumah Sakit ini. Tak ada yang menungguiku tadi malam. Yeah, karena memang semua temanku pulang dan tak menginap.
“Ya Tuhan, aku tidak hafal nomor keluargaku. Bagaimana aku menghubungi mereka tentang dimana keberadaanku?” kataku sangat cemas.
Ikhlas dan sabar memang ingin diajarkan Tuhan waktu itu. Aku hanya bisa pasrah.
Rencana akan dipindahkannya aku ke rumah sakit yang memiliki mesin HD akan segera dilakukan pagi itu juga. Suara microphone dari ruang perawat rumah sakit memanggil-manggil keluargaku.

“Keluarga pasien Saiful harap ke ruang perawat sekarang. Saya ulangi, Keluarga pasien Saiful harap ke ruang perawat sekarang.”

Suara perawat itu terus meraung-raung. Berkali-kali dan tidak juga ada respon. Putus asa, perawat itu akhirnya datang ke ruanganku.

“Aa, keluarganya mana?”

“Maaf, Mereka baru datang dua hari lagi.”

“Trus ini yang ngurus administrasinya siapa, sebagai perawat kami tidak bisa bantu.”

Wanita berjilbab ini juga menambahkan, “Harus ada tanda tangan dari keluarga Aa.”

“Hpku hilang semalam, jadi tidak bisa telepon teman buat kemari,” jawabku lesu.

“Nomornya gak hafal? Biar saya telponkan.”

“Enggak,” kataku sambil menggeleng pasrah.

“Kalau memang belum ada keluarga atau teman, jadi Aa dirawat di sini dulu. Tetapi jika keadaan Aa memburuk, karena racun dalam darah naik maka perlu segera di hemodialisa secepatnya”

“Ok, makasih.”

Pasrah, ya, hanya itulah yang bisa kulakukan. Tanpa handphone, teman, bahkan keluargaku. Aku sendiri, mendekap dalam ruang perawatann. Menangung penyakit yang menimpaku dengan tiba-tiba. Tanpa aba-aba!!!

Aku terus berdoa, berharap ada teman yang tidak diduga-duga datang menjenguk. Agar maslah persyaratan dan segala hal administrasi yang membuatku stress ini dapat diselesaikan.

Dan benar, Allah mengabulkan doaku. Sahabatku datang ke ruangan dengan muka yang kusut dan menahan kantuk karena pulang dari kerja. Aku tidak peduli, dengan tergesa-gesa aku minta tolong agar dia sudi mengurus administrasi pemindahanku. Dan Alhamdulillah, dia bersedia. Namun, otakku masih berpikir bagaimana cara keluargaku menemukanku? Sedangkan tidak ada contact yang kuingat dan kucatat.

###

Aku masih lugu dan belum mengetahui betul penyakitku ini. Anggapan bahwa mungkin hanya perlu cuci darah sebulan untuk menyembuhkan penyakit ini membuat semangatku menghitung hari semakin tinggi. Ternyata fakta menyebutkan lain. Setelah satu bulan aku mengukur waktu ternyata kadar racun dalam tubuhku terlalu tinggi, yaitu 15,3 mg/dl. Padahal untuk orang dikatakan normal kadar racun dalam tubuh sekitar 0,6 sampai 1,2 mg/dl. Dan aku baru tahu, angka itu menunjukkan bahwa aku termasuk penderita gagal ginjal terminal, dan harus melakukan cuci darah seumur hidup agar bisa bertahan hidup.

Vonis dokter itu terlalu berat buatku, aku tidak sanggup menerima penyakit ini. Aku belum bisa ikhlas membayangkan harus tergantung pada alat pengganti ginjal selama sisa hidupku. Terlebih, aku juga harus meninggalkan profesiku sebagai Engineer di salah satu perusahaan swasta dan total menghentikan aktivitas keseharianku yang kata Dokter hanya akan menguras banyak energiku.
“Apakah ini berarti aku harus kehilangan masa depanku, Ya Allah???”

###

Setelah beberapa bulan menjadi pasien gagl ginjal, aku merasa bukan aku yang dulu, aku bukan lagi orang yang ceria dan aktif. Bukan pula orang yang banyak kesibukan baik di organisasi maupun club-club olahraga dan seni.
Aku selalu menyendiri, mengutuk penyakitku yang membuat aku terbelenggu. Dan hal yang paling menyiksaku, yeah selain lemah, mual dan muntah adalah dilarang minum dalam kuantitas banyak.

“Ya Allah, hanya ingin minum aku pun dilarang???”

Padahal, biasanya bergelas-gelas air sanggup kuhabiskan dalam sehari. Kini hanya 1,5 gelas air perhari!!! Tidak heran kulitku kini terasa kering dan dehidrasi akut melanda.

###

Itulah kira-kira mindset-ku dulu. Selalu mengeluh dan mengeluh. Aku juga merasa menjadi orang paling menderita sedunia dengan penyakitku ini. Tidak terbesit dibenakku waktu itu, bagaimana nasib orang-orang yang dicoba dengan penyakit Stroke, yang tidak sanggup berjalan. Jangankan untuk berjalan, menggerakkan tangan dan kakinya saja mereka tidak mampu. Mereka juga harus menerima dirinya yang tidak bisa makan, minum, dan buang air sendiri,  dan harus menahan kebosanan hanya tergeletak di kasur tanpa bisa melakukan lebih banyak hal lagi.

Membayangkan itu, kini rasa syukurku memenuhi kalbu. Berterima kasih dan bisa menerima akan ujian ini yang sekarang mulai aku pelajari.

Kini aku belajar untuk ikhlas. Nerimo! Aku percaya bahwa semua yang terjadi adalah kehendak-Nya dan aku harus menerimanya. Bukankah Tuhan, selalu memberikan yang terbaik buat kita? Dan segala skenario-Nya adalah jalan terindah untuk semua mahluk di muka bumi ini.

###

Catatan :
Itu tulisanku tiga bulan setelah aku divonis gagal ginjal terminal. Dan setelah tiga tahun ini, Allah seperti membukakan jawabannya. Yeah, not Engineer, but Writer is my destiny....

Dalam tulisan ini, Thanks for :  
@coliz - yg ngurus administrasi di awal masuk RS
@Syafei - yg tiba-tiba datang saat aku membutuhkan seseorang. Kamu sahabat yang diutus Allah untuk mengurus pemindahan rumah sakit dan HD pertama kali.
@Pencuri Hp - Janji Allah benar, karenamu kini Allah telah mengganti HP yang lebih bagus dan canggih :)
@Edi akhiles - yang membuka kesempatanku menjadi penulis :)
Semua support dari keluarga, teman, dan saudara yang tidak bisa kusebut satu per satu. I love u All :)

Selasa, 07 April 2015

Liebster Award


Saya ucapkan sembah nuwun ingkang Diajeng Mumuf, perempuan yang menasbihkan dirinya sebagai soulmate saya. Belahan jiwa saya. Yang dengan sama-sama gilanya selalu berucap dengan lirih, "Soulmate forever, sehidup-semati!"

Tidak selamanya sebuah fakta dapat berwujud kebenaran, kali ini mungkin hanya kenisbian yang saya rasa sendiri dalam ungkapan terima kasih di atas. Tapi, saya tak mau tahu. Toh, saya hanya menuliskan apa yang saya rasakan. Jadi, kumohon khusyuklah, baca dengan saksama. Barangkali, kita punya kesamaan.

Syarat pertama telah saya tuntaskan. Dan sebelum saya mengkhatamkan semua syaratnya, alangkah bijaknya jika saya menuliskan syarat-syarat dari Diajeng Mumuf.

1. Penerima award wajib berterima kasih kepada pemberi award.
2. Penerima award wajib mendeskripsikan 11 fakta mengenai dirinya.
3. Penerima award wajib menjawab 11 pertanyaan yang diberikan oleh si pemberi award.
4. Penerima award wajib memilih 11 blogger lain sebagai nominator award berikutnya, dan berikan 11 pertanyaan untuk mereka.

Syarat kedua akan coba saya penuhi, 11 fakta pada diri saya. Ah, saya sebenarnya bingung dengan permintaan ini. Yeah, karena setua ini ternyata saya masih saja latah mengenal diri saya sendiri. Benar-benar memalukan bukan? Tapi, demi Diajeng, saya akan mencoba menuliskannya.

11 Fakta dari saya; Sayfullan
1. Bergolongan darah 0.
2. Anak kedelapan dari 8 bersaudara.
3. Alumni tekkim undip.
4. Sanguinis-korelis-melankolis.
5. Mantan MC.
6. Suka renang.
7. Pasien hemodialysis.
8. Pecinta pedas.
9. Sedikit manja.
10. Suka air.
11. Berat kering 61 kg.

Syarat ketiga dari Diajeng Mumuf adalah menjawab satu paket pertanyaannya. Dengan senang hati akan saya jawab. Dan semoga Diajeng puas dengan saya. Eh, maksudnya jawaban saya.

1. Yang paling saya benci dalam hidup adalah 'pengkhianatan'
2. Kado yang paling saya suka dan inginin adalah, kesempatan. Ya, kesempatan dalam hal apa saja.
3. Perempuan yang menarik saya adalah perempuan yang bukan hanya enak dipandang, tapi juga enak diajak ngobrol, menghargai sebuah keputusan, dan galak. Perempuan yang selalu berhasil membuat saya kesal karena omelannya. Gemes dengan larangan-larangan yang pada khirnya saya langgar, hanya sekadar untuk bersenang-senang. (Masochistic banget)
4. Antara jatuh cinta-kehilangan-kemiskinan.. Mana yang harus saya pilih? Jatuh cinta, sepertinya. Meskipun, tak menutup kemungkinan, jatuh cintalah yang akan membuat saya kehilangan dan jatuh miskin. Ya, itu hanya hanya sebuah risiko sebuah pilihan.
5. Dicintai apa mencintai? Jika boleh memilih keduanya, saya akan bersyukur. Tapi, karena harus satu pilihan, saya lebih memilih untuk MENCINTAI!
6. Keinginan terbesar, khusnul khatimmah.
7. Hal terkonyol yang pernah saya lakukan adalah ikut audisi kontes suara pelajar, dan mendapat juara suara terfals. Tapi, malah ditunjuk sebagai MC utama dalam acara konser grand grand final-nya.
8. Mumuf itu : Cantik, kalem, baik, langsing, suaranya lembut, suka senyum, pinter nulis, care, setia, dan asyik.
9. Kalau saya bete, saya memilih berlari, berenang, shalat, berdoa dan mendengar musik. Tapi percayalah, shalat dan berdoa adalah yang terampuh.
10. Jika waktu bisa diputar, saya ingin menjadi malaikat.
11. Tempat bulan madu yang saya elu-elukan adalah di kamar. Alasan? Sepertinya, saya tak perlu jabarkan detailnya. Sekian!

Oke syarat terakhir sepertinya belum bisa saya penuhi. Maaf, karena saya belum bisa memilih 11 orang dan pertanyaan yang saya ajukan. Saya masih butuh waktu untuk itu. (halah)

Dan setelah semedi semalam, saya akhirnya memilih 11 nama yang menjadi nominee Liebster Award dan itu juga berarti harus memenuhi 4 syaratnya. Dan siapakah dia?
1. Avifah Ve
2. Nisrina Lubis
3. Fah Coco
4. Zachira
5. Elisa S

6. Reza Nufa
7. Adi Nugroho
8. Ricky Douglas
9. Ita Nov
10. Roffi Khalifa
11. Rara Aywara

Ini ada 11 pertanyaan yang cukup sederhana untuk kalian. Dan kisah ini juga membuat kalian bermain dengan imajinasi. Cap cus, ayo dimulai!!!

Surya telah hampir tenggelam, rona kemerahan menyemburat dalam bingkai langit yang mulai perlahan gelap. Malam telah hampir datang, namun kau belum juga menemukan jalan. Ya, kau telah tersesat dalam rimbun hutan yang kelam dan tanpa jalan keluar. Kau terus mencoba mencari jalan. "Astaga! Aku tersesat!" pekikmu panik.
Setapak demi setapak tanah lembab hutan hujan kini mulai meresahkan. Namun, senyum lamat-lamat tersungging di wajahmu kala di depan matamu kau temukan sebuah gubuk. Ya, itu pertanda kau bisa menginap sebentar atau sekadar beristirahat. Matamu pun tertuju pada pintu gubug itu, memastikan keadaan pintu itu dari jauh.
1. Apakah pintu itu terbuka? Atau rapat tertutup?
Lalu, kau memasukinya. Dan dalam gubug itu, kau melihat sebuah pot bunga berisi air. Kau terus mengamati, dan--
2. Berapa jumlah air yang mengisi pot itu (penuh, setengah, atau hampir kosong)
3. Terbuat dari apa pot yang sedang kau pandang itu? (Kayu, lempung, keramik, besi, aluminium)
Kau menyusuri ruang mungil dan berbau apak. Dan sial, kau merasa sesak karena tak tahan dengan udara yang penuh debu. Keluar. Ya, akhirnya kau putuskan untuk keluar saja, mengikuti suara dendum tumbukan air dari atas yang menggetarkan gendang telingamu.
"Ternyata air terjun!" katamu takjub.
Lalu kau mengamatinya, mendekati dan mencoba merasakan gemercik air yang turun dari atas bukit itu.
4. Seberapa cepat air terjun itu turun ke bawah (berilah angka dari 0-10 sesuai laju air terjun yang kau lihat itu)
Kemudian kau mengedarkan pandanganmu, dan melihat sebuah kastil nan jauh. Tanpa ragu kau berjalan mendekati kastil itu. Kastil yang terlihat 5. Keadaan kastil yang kau lihat, apakah baru? Apakah tua?
Namun, di samping kastil itu terhampar taman yang luas. Kau tampak takjub entah kali keberapa. Dan perhatianmu pun teralih kepada taman itu. Kau menjauh dari kastil, berlarian menuju taman yang seolah membiusmu. Namun, rasa itu tak lama karena matamu kini telah menumbuk sebuah kotak di atas tanah. Kau penasaran. Mendekat perlahan.
6. Terbuat dari apakah kotak itu (Karton, kayu, besi)? dan 7. Bagaimana dengan ukurannya (Kecil, besar, sedang)?
Sebelum kau memungutnya, kau tersadar. Ada jembatan di dekat taman. Kau dapat melihat jelas dari koordinatmu sekarang. 8. Terbuat dari apakah jembatan itu (besi, kayu, rotan)?
Matamu kini beralih dengan seekor kuda yang berdiri di seberang jembatan itu. Kau mengawasinya dengan saksama. 9. Kuda yang kau lihat berwarna (putih, abu-abu, cokelat, hitam)?
10. Dan apa yang dilakukan kuda itu (diam, memakan rumput, lari ke sana- ke mari)?
Sebelum kau berjalan, tiba-tiba tornado datang, mengamuk di hutan itu. Kau panik. Pikiranmu kacau. Napasmu tak terkendali. Suara angin mulai menyeramkan. Tentu, kau tak ingin menyerah dan mati saat itu juga. Lalu, hanya ada tiga pilihan yang paling dekat denganmu saat itu. Dan apa yang akan kau pilih?
11. (a) Lari dan berlindung di dalam kotak
      (b) Berlindung di bawah jembatan
      (c) Menunggang kuda dan lari bersamanya


Dan selamat bersenang-senang, bermain dengan imajinasimu :)

Salam hangat,
Sayfullan