Sabtu, 30 Mei 2015

Ghost Writer

Jika kau merasa sendiri dan sepi, itulah yang persis kurasakan kini, kawan. Hanya duduk di kursi ruang baca perpustakaan sebuah SMA yang senyap, tanpa karib, tanpa teman. Aku mematung, membaca satu demi satu lembar novel yang sepertinya begitu kukenal. Tanpa harus resah untuk peduli atau ingin dipedulikan. Toh, bukankah itu memang sudah menjadi garis takdir buatku. Tak usahlah perlu aku sesentimentil dan secengeng ini.

“Suka novel itu juga?”

Tanya salah seorang siswa dengan rambut berantakan dan mata yang tajam. Kelopak mata sipitnya, persis ciri genetik manusia-manusia di belahan negara tetangga. Jepang. Ya, apalagi dipadu dengan warna kulit yang putih bersih, membuat aku yakin ia memiliki riwayat darah negeri matahari terbit itu. Bukan masalah penampilan yang membuat aku begitu memperhatikannya. Hanya saja, baru perempuan inilah satu-satunya orang yang menganggapku. Bahkan menyapaku. Apa ini juga salah satu takdir itu?

“Kok malah bengong,” katanya lagi, melihatku hanya sibuk memandangnya dengan luapan keheranan.

“Kamu ngomong sama saya?”

“Bukan. Sama tembok!” jawabnya kesal. Lalu, bibir tipisnya dimanyunkan ke depan sambil tetap menatapku lekat, “ Ya iyalah, sama kamu. Hiish!”

Perpusatakaan SMA-nya memang sepi, lebih sering terlihat lorong-lorong ruangan luas ini lengang  daripada hilir mudik anak-anak yang mau membaca. Sepertinya, siswa-siswa sekarang lebih suka membaca tulisan di Whatsapp daripada tulisan di kertas-kertas usang di sini.

“Kamu mau baca ini novel?” akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Hmm... Kenapa kamu terlihat kesal? Mungkin pertanyaan itulah yang tepat, tapi membayangkan reaksinya nanti, kalimat tanya itu sudah kutelan sebelum mengudara.

“Tidak, aku sudah khatam.”

“Lalu?” tanyaku masih penasaran dengan motif apa dia mendekatiku yang tak berseragam seperti dirinya ini. Yeah, aku memang sudah menjadi pembaca langganan yang di jidat sudah seperti tercetak kata ANGGOTA PERPUS.

“Aku butuh pertolonganmu,” balasnya kini dengan penuh perhitungan.

“Untuk?”

“Lebih bijaksana jika kau tanyakan apa imbalannya, bukan?” 

Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi. Aku pikir, dia terlalu pintar untuk menjadi perempuan berseragam SMA seperti yang lainnya.

“Jadi, ini bisnis? Maaf, saya tidak berminat!” elakku cepat. Aku memang bukan salah satu penggemar ajang saling memanfaatkan seperti ini. Seburuk-buruknya diriku, kata tulus masih tetap kupergunakan dalam hal membantu orang.

“Bener? Walaupun aku bisa membantumu membuat kekasihmu mengerti?”

Sumpah, tak kusangka dengan ringan ia mengucapkannya. Ya, perempuan 17 tahun ini menawarkan hal yang sangat kubutuhkan dengan segampang itu. Sebenarnya, siapa dia? Malaikat?

“Diam lama, berarti Deal!” ucapnya tanpa menungguku mengambil keputusan. Ia benar-benar telah menyiksaku. “Kenapa masih diam?  Ikut aku!” katanya kini dengan mata tajam.

###

Oke, aku merasa tersesat. Tapi, asalkan ada sang penunjuk arah, tempat ini bukan ancaman lagi seperti yang selalu kutakutkan. Baru kali ini, aku berani berjalan-jalan sampai ke rumah orang. Tepatnya, di kamar perempuan yang meminta bantuan juga ingin menawarkan bantuan. Irish, nama perempuan itu. Komentarku hanya satu saat tahu namanya, cocok dengan wajahnya yang mengerikan penuh ancaman.

“Tak usah terlalu takjub seperti itu. Saya memang maniak buku.” 

Kali ini aku akui kesal melihat mimik mukanya yang terlihat congkak saat aku melihat semua dindingnya dipenuhi oleh buku-buku. Aku putuskan untuk duduk saja di kursi belajar dari kayu jati kokoh di samping ranjangnya. “Sekarang, apa yang bisa saya bantu? Jam segini, saya harus pulang,” kataku asal. 

Ada dua hal yang kini membuatku ingin cepat-cepat keluar dari sini. Pertama, aku malas melihat perempuan menyebalkan ini, dan kedua saya ingin cepat-cepat bertemu dengan dia, belahan jiwa. Hari ini adalah tepat pertemuan pertama kami, dan selalu ada perayaan untuk itu. Dengan langsung menanyakan kesepakatan seperti ini, kupikir itu cara yang ampuh untuk segera hengkang dari sini.

Tak kusangka respon pertanyaanku itu membuatnya berubah seperti orang tak waras. Ia terlihat sangat frustrasi dan benar-benar butuh ditolong. Kakinya menapak mondar mandir di depan kasur. Apa dia juga salah satu anggota teater sekolah?

“Bantu aku buat novel. Bantu aku untuk menuliskan semua pikiran yang mengerogoti otak sialan ini. Aku tersiksa dengan kutukan ini. Beban ini semacam kanker yang terus membelah, menumpuk dan menjejali kepalaku yang sempit. Aku harus bisa menorehkannya, mengurangi pengaruh mereka—

“Bukankah itu mudah, hanya tinggal menulis saja kan?” kataku enteng. Penderitaannya itu seperti pura-pura dan terlalu berlebihan, kupikir. Hanya menulis saja, ia anggap hal yang luar biasa susahnya. Lalu, hanya merasa punya ide banyak saja, ia merasa tersiksanya seperti pasien kanker. Anak zaman sekarang memang terlalu mendramatisir keadaan.

“Jangan bilang kau pun sama dengan mereka? Tak percaya dengan kata-kata dan deritaku ini?” tuduhnya dengan mata penuh murka. Oke aku akui, tatapanya kali ini lebih mengerikan dua kali lipat dari yang tadi. “Banyak yang menggangguku, banyak yang menginginkan kisahnya kutulis, tapi aku tak sanggup selamanya seperti itu. Dan setelah aku menemukan buku yang kau baca tadi di perpus, aku tahu, kau mampu membantuku,” lanjutnya dengan nada yang lebih bersahabat dan memohon.

“Maksudmu, saya semacam menjadi ghost writer-mu?” terkaku.

Anggukan lemah yang ia persembahkan buatku menjadi sebuah kode bahwa kami berdua telah terikat kontrak kasat mata bernama, perjanjian. 

“Tapi, jangan lupa, kau juga akan membantu saya, bukan?”

###

Aku berlari tanpa lelah menuju sebuah toko buku yang menjadi tempat kami memadu kasih. Tempat yang jauh dari rumah gadis SMA yang mempekerjakanku, yang malah merebut jatah waktu untuk sekadar berduaan dengannya. Ah, kenapa aku bisa sampai terdistrak dengan cerita-cerita perempuan muda yang menyebut dirinya Irish itu. Aku merasa kacau dalam lajuku sendiri. 

“Ini tentu sudah terlambat,” kataku marah dan panik.

Kelegaan membuncah kala sebuah bangunan kuno bergaya arsitektur Belanda yang menjulang dengan lampu remang kini telah berada di depan mata. Toko dan perpustakaan buku khusus para member devils reader itu selalu terlihat sepi. Hanya yang menjadi anggota yang boleh menggunakan fasilitas tempat itu. Tak heran jika perasaan intim dan privasi dapat mudah didapatkan dalam membaca di toko buku ini. Malah, ada karpet halus dan wangi yang biasanya menjadi tempat tidur juga bantal bantal empuk menggoda selera untuk mengistirahatkan punggung yang lelah membaca. Tapi, aku selalu tahu tempat bertemu kami. Tempat pertama dan beranak pinak menjadi kelanjutan setting cerita kami, meja bernomor 9  ranah fiksi.

Bergegas aku memasuki ruangan berbau lavender yang dari dulu menjadi aroma khas yang menenangkan dan bikin aku selalu kecanduan di tempat ini. Melihat ia duduk sendiri, dan wajah yang seperti kuduga—penuh kecewa, aku berlari kecil mendekatinya. Aku harus secepatnya mengakui kesalahan dan menceritakan semua yang terjadi hari ini. Tentang Irish, tentang pekerjaan baruku, dan tentang—

“Aku harus pergi, aku tak bisa terus seperti ini,” ucapnya getir. Tanpa menunggu aku duduk, tanpa sebentar saja tinggal untuk mendengar penjelasanku, ia memutuskan pergi. Perempuan tinggi ini, beranjak dari hadapan dan meletakkan novel yang sering kami baca di lemari dan berlalu begitu saja tanpa menengok lagi ke arahku.

Aku putuskan untuk tak mengejar. Buat apa? Sepertinya sudah berhari-hari ia tak pernah mengaggapku, bahkan hanya sebentar saja mendengarkan setiap alasanku, kini pun tidak bisa ia lakukan. Ya, dari dulu aku sadar hanya bisa menjadi orang ketiga buatnya. 

“Sudahlah, aku akan katakan padanya, besok!”

Suara yang tak asing di telinga kini terdengar lagi. Irish ternyata sudah berada di belakang kursiku, berjalan menuju kursi yang beberapa menit yang lalu diduduki perempuan yang sangat kucintai.

“Selain pemaksa, kau juga penguntit rupanya. Benar-banar mengerikan,” kataku spontan, tidak suka diikuti seperti ini.

“Jangan terlalu percaya diri kau. Aku juga salah satu member devils reader, dan pacarmu itu, aku juga kenal dan paham kok. Jadi, itu kenapa aku congkak berani menawarkan bantuan kepadamu.”

“Bantuan katamu? Ini bisnis! Murni, simbiosis,” bantahku tak setuju denngan ucapannya seolah ia dewi penolong yang ingin membantu tanpa pamrih. “Tapi, benar besok kamu akan membantu saya untuk mengatakannya, menjelaskan keterlambatan tadi?”

“Lebih dari sekadar menjelaskan,” jawabnya santai.

Ah, terkadang jika melihatnya, aku tak akan pernah percaya di balik ketenangan dan mata yang tajam itu tersimpan penderitaan yang tiada batas. Irish seperti bayangan dari cerminan diriku sendiri. Ia tak punya siapa-siapa, dikucilkan, tak dianggap, bahkan kedua orang tuanya terus menganggapnya gila. Menurutku, menulis dan membuatnya menjadi sebuah catatan bukanlah sebuah kegilaan. Yeah, cuma jika dia melakukannya sampai lupa dengan apa yang harus ia pikirkan untuk hidup, mungkin itu baru disebut gila. Apa kata-kataku barusan juga telah menganggap perempuan di depanku ini gila? Astaga...

“Kau mau nulis lagi? Bukankah tadi aku telah membantumu menulis kisah kelam di kamarmu?”

“Ini ada yang memaksa untuk aku tulis sekarang, sebelum aku disiksa dan dihantui,” jawabnya sambil mengetik dengan cekatan. “O iya, mulai sekarang kamu harus terbiasa dengan cerita-cerita kelam, karena biasanya cerita itulah yang aku tulis,” tambahnya tapa menatapku.

“Tenang saja, saya sudah terbiasa dengan cerita hitam seperti yang menjejali otakmu itu kok,” balasku mencoba sombong. Merasa tidak nyaman saja, selalu direndahkan oleh perempuan tua yang terjebak dalam tubuh mungil ini. Mengingat hipotesisku tentang umur Irish, aku sedikit terkekeh sendiri. “Tunggu, tunggu, kenapa ini aku bisa membaca pikiranmu? Iya, aku bisa tahu apa yang sedang kau tulis, Irish!” kejutku benar-benar tak dapat kusembunyikan saat ada sebuah plot masuk dalam otakku. Aneh, sangat aneh. Aku melihat sebuah putaran adegan film yang tiba-tiba dan mengerikan. Aku yakin, ini kisah yang sedang ditulis Irish. “Siapa kamu sebenarya, Irish?” tanyaku terbata dan gugup. Ini jelas hal yang tidak biasa.

“Aku hanya membuka cakra, membuka portal pikiran kita. Kau tahu, jika portal ini kubuka, maka aku dengan mudah mentransfer semua yang ada di otakku ke tengkorakmu. Dan itu cukup membantu. Ini juga, alasan kenapa aku membutuhkanmu. Tak sembarang orang yang bisa menerima tugas suci ini—

“Jadi apa sebenarnya ini?”

“Sudahlah, kalau kau menerima sinyal ini, tulis saja apa yang aku kirimkan. Itu  pekerjaanmu. Ikuti saja apa yang kuperintahkan, bukankah, besok aku juga akan membantumu?” terang Irish dengan wajah yang tak dapat sedikit pun aku terjemahkan. Tangannya mendorong sebuah laptop ke arahku. “Kini, kau  sudah resmi menjadi ghost writer-ku, dan bantulah aku untuk bisa hidup normal.”

Ya Tuhan, sepertinya aku salah bertemu dengan perempuan aneh ini...

###

Hari yang kutunggu bergulir begitu lama dan menyesakkan. Aku harus menulis apa yang dipikirkan oleh Irish, sedangkan ia dengan curang tidur di permadani halus di toko buku ini hingga fajar mulai menggenapkan hari kemarin. Anehnya, aku tidak merasa kantuk, malah apa yang terpikirkan dalam otak Irish, kini telah menjelma menjadi sebuah catatan atau entahlah apa ini. Sebuah kisah kelam dari tokoh tokoh yang Irish buat. Apa mungkin karena tak ada empati dariku, atau memang perasaanku sendir telah lama mati? 

“Mana laptopku?" tangannya menarik laptopnya dan memasukkannya dalam tas ransel yang besar, membuat tubuh mungilnya tertimbun separuh dari tinggi tas. "Aku akan bolos hari ini, karena aku sudah janji untuk menjelaskan kenapa kau telat kemarin malam kepada perempuan itu,” ucap Irish tiba-tiba di depanku. Tak cukup mengagetkan, karena kebiasaanya datang dan berbicara tiba-tiba itu kini sudah kupelajari.

“Rachel, namanya,” jawabku ketus. Berani-beraninya ia dengan santai tanpa menyebutkan nama belahan jiwaku. Ketus, tidak ada kata sopan lagi.

“Mau di sini terus? Ayo ikut,” ajaknya dengan melangkah menjahuiku.

Tak ingin tertinggal, dengan tergopoh aku mengikuti langkahnya

“Lihat saja, di kafe ini aku akan bertemu dengan Rachel dan menolongmu,” ucap Irish ketika kakinya yang kecil memasuki sebuah kedai kopi yang sudah buka di pagi-pagi Jakarta yang hibuk. 

Kafe yang ternyata hanya bersebelahan dengan toko buku kuno tempat member devils reader berkumpul itu, menguarkan aroma kopi yang pekat dan nikmat. Memanjakan syaraf kranialku yang sepertinya sudah mulai berfungsi.

“Kamu duduk sini saja, dan diam jangan berkata apa-apa, aku bosan mendengar suaramu dan teriakanmu,” ucap Irish tegas. 

Aku terkadang tak sanggup melampiaskan kekesalanku dengan sikapnya itu. Seolah-olah ia bisa mendengar rintihanku dan semua teraikan malam-malamku. Kenal saja baru kemarin, sudah terlalu percaya diri berlagak mengenalku. Belum selesai aku menggerutu, kulihat Rachel dengan semua kecantikannya itu mendekati kami. Ya, ia berjalan ke mejaku dan Irish. Wajahnya sembab dan senyum terpaksa ia hadiahkan kepadaku. Ah, aku yakin itu hanyalah senyum palsu.

“Maaf Rachel, aku tadi malam terlambat,” batinku meronta. Ya, karena hanya itu yang bisa kulakukan. Karena Irish akan mengancam membunuhku jika aku ikut berbicara.

Ia lalu duduk di hadapan kami, menatap Irish dengan tatapan penuh luka. Tentu saja, pasti Irish sudah kenal baik dengannya. Apalagi kami bertiga ternyata adalah satu member di komunitas membaca.

“Hari ini, Chel. Hari ini aku akan berterus terang,” kata Irish memulai. “Tentang rahasiamu dan semua yang kau simpan sendiri hingga bau busuknya sudah serasa membunuhku pelan-pelan.”

“Tak apa, lagian aku juga sudah baca novel itu, dan kupikir pertemuan ini tepat,” balas Rachel dengan suara yang serak. Aku bisa pastikan ia terlalu banyak menangis sehingga suara jernihnya menjadi terdengar menyanyat dan getir. Ah, aku menjadi merasa semakin bersalah.

“Novel?” tanya Irish dengan tawa kecut. “Itu fakta, bukan fiksi!” ada penekanan yang kuat dari nada bicara Irish. Kadang aku tak habis pikir, jika anak ini benar-benar masih SMA.

“Ya, cukup menghibur. Meski semuanya kini telah kukubur. O ya, aku lupa jika kau masih selalu mencoba berbuat baik kepada mereka bukan? Dengan menjadi penyampai apa yang tak tersampaikan. Meskipun kadang hanya lewat novel atau catatan seperti ini,” Rachel berucap antipati dengan meletakkan novel yang selalu aku baca di perpustakaan sekolah Irish. Novel yang menjadi benda kenapa aku dipertemukan dengan bocah aneh ini.

“Aku hanya merasa terbebas saja, dengan menuliskan teriakan-teriakan pilu mereka. Setidaknya, dengan kau membaca novel itu, kini kau tahu kan, bagaimana perasaan Renata? Ia menderita. Ia menjerit meraung tiap hari hanya untuk mengatakan perasaannya yang sesungguhnya. Ia mencintaimu, Chel. Tapi, apa daya?” ada jeda napas yang cepat dari ucapan Irish. “Sayang, usahanya untuk menyampaikannya dengan buku, harus kandas saat suamimu meletakkan racun itu. Ya, Anton cemburu.”

Mendengar kalimat-kalimat tajam Irish menyebutkan namaku membuat aku limbung. Kata-kata tajam yang langsung menghunus tanpa tading dan aling-aling merobek semua rasa yang masih tertinggal dalam jiwa kotorku. Aku kelimpungan. Merasa sakit namun juga tak kesakitan. Merasa sedih, namun tak mampu berair mata. Ya Tuhan, mahluk apa aku sebenarnya? Benarkah aku telah mati? Benarkah, aku dibunuh oleh lelaki bangsat itu? Lelaki yang membuat Rachel menderita dan tersiksa? Jadi, novel itu sebenarnya—

“Dan asal kamu tahu, Renata kini duduk di sampungku, Chel,” penutup Irish yang membuat mimik Rachel memburam. 











Jumat, 08 Mei 2015

MIRROR

Konon, jika dia benar-benar jodohmu, dia layaknya sebuah cermin besar untukmu. Pun dirimu, adalah cerminan maya bayangannya. Lantas, bagaimana mungkin akan ada satir dalam hati kalian, jika sesungguhnya kalian diciptakan satu. 

Satu per satu pelayat mulai melangkah menjauh dari gundukan tanah basah di pemakaman umum kecamatan kecil Sumurboto, di kota Tembalang ini. Desau angin seperti sengaja berputar-putar dalam ruang tempat berakhirnya syahwat, galian bumi yang memendam dosa nan sunyi. Dosa yang kata orang hanya Tuhan dan sang malaikat pencatat amal yang tahu. Ah, tentu saja termasuk sang pelaku.

Berdiri mematung seorang diri, aku mencoba mengulang masa-masa indah itu. Memori kebersamaanku dengan gadis periang yang sekarang telah hilang ini memohon untuk kukenang. Ghyna, begitulah aku menyebutkan namanya. Aku tak menyangka harus secepat ini berbesar hati dan rela, jika jantungnya telah berhenti berdetak tiba-tiba.

“Karena kadar potasium dalam darahnya melampui batas,” itulah yang dikatakan orang-orang di pemakaman tadi.

“Ingat, setelah kita terpisah dan punya orang tua angkat masing-masing, kita akan masih tetap sahabat?” tanya Ghyna kala itu ketika akan diadopsi dan keluar dari panti asuhan Kasih Welas di daerah Semarang atas.

Ya, Ghyna Amanda adalah satu-satunya orang yang dekat denganku. Setelah pelarianku sepuluh tahun malam itu, dengan keberaniannya, aku berhasil juga menemukan alamat yang Ghyna berikan. Panti asuhan di dekat kampus Undip itu akhirnya menerima anak-anak sepertiku. Tentu, Ghyna juga ikut dan selalu bersamaku. Gadis berbibir tipis dan bermata menyala itu seperti mengerti jiwaku, paham akan keinginan hatiku. Dia layaknya sebuah cermin besar yang jika aku menatap legam matanya, akan ada diriku di dalamnya. Dan jika keinginanku untuk memandanganya tak lagi terbendung, aku hanya cukup memandang wajahku sendiri di cermin. Maka secara ajaib, bayangannyalah yang memantul jelas. Ghyna juga seperti selalu tahu apa yang hatiku mau. Mungkin juga sebaliknya. Percaya atau tidak, kami berdua adalah bayangan dari sebuah Cermin!

Tak terasa bulir mata yang sejak tadi kutahan, jatuh sudah. Gravitasi seolah menariknya untuk menetes perlahan di bumi tempat peristirahatannya kini. Terkadang, bagiku sangat sulit menerima kepergiannya yang terlalu cepat. Otakku terus saja menyangkal, jika ternyata kemarin adalah pertemuanku terakhir dengannya. Padahal, pagi itu, dia masih sangat ceria bersamaku, menghabiskan waktunya demi menemaniku dan menerima tantanganku.

“Lagi?” tanyaku saat Ghyna mulai mengeluarkan handphone-nya di tas punggung Westpark hijau andalan pagi itu.

Dia tak sedikit pun menggubrisku. Dengan percaya diri, dia mulai melakukan aksinya. Dengan semua makanan yang kupesan, gadis imut di depanku ini bergaya di lensa kamera smartphone-nya. Dia selalu saja mengabadikan hari-harinya. Saat makan, jalan, belanja, atau hal-hal menyenangkan lainnya. Tapi, ada satu syarat; aku tidak mau ikut berfoto. Yeah, begitulah diriku seperti mempunyai penyakit alergi kamera. Sedang, bagi Ghyna foto layaknya sebuah buku diary, yang setiap hari selau dia ambil dan simpan sekadar hanya untuk dikenang atau menjadi bahan inspirasi kisah-kisah novelnya.

 “Hei, tidak ada yang salah dengan selfie kali. Like a diary! Mereka juga akan memberi catatan untuk hidup kita. A moment!” pasalnya masih pasang wajah manis ala model-model remaja gagal casting.

“Tapi, itu semua palsu—“

“Maksud kamu?” potongnya segera. Seperti protes tidak setuju dengan  pendapatku. Tangannya lalu menghentikan kegiatan memencet layar samsung note-nya, dan kini wajah manis di depanku ini fokus menatap wajahku. Berusaha, menggali keterangan atau pertanggungjawaban atas ucapanku.
Sial! Dengan tatapan seperti itu, kenapa jantungku ikut berjoget tidak jelas. Ini pasti sebuah konspirasi. Dan jika konsep mirror yang dari dulu kuyakini itu benar, mungkin jantungnya kini juga berdetak tak keruan sepertiku, kalau aku nekat membalas tatapan intimnya.

“Yeah, hasil foto-foto yang kamu ambil kan sepertinya saat sedang bahagia saja. Padahal, yang namanya hidup itu tidak hanya soal bahagia. Adakalanya, pasti kita menangis, kesakitan, dan yeah, pertanyaanku adalah... Memang pernah kamu mengabadikan protetmu saat keadaan seperti itu? Dan aku berani bertaruh, pasti jawabanmu—

“IYA,” jawabnya tegas. “Aku juga selfie kok, saat proses cuci darahku dimulai. Bahkan dari hari pertama aku divonis gagal ginjal, drop berulang-ulang, sesak napas karena potasium dalam darahku membuncah, atau harus memakai bantuan nasal oksigen karena paru-paruku terendam cairan, hingga kini pun, aku masih mempunyai rekaman foto-foto itu. Aku paham, dengan apa yang kamu maksud. Dan aku mengerti apa yang ingin kau sampaikan,” Ghyna menjelaskan dengan penuh emosi alasan kenapa dia begitu menyukai selfie.

Ah, aku tak menyangka, ternyata kami berdua memiliki satu pikiran, bahwa bukan hanya bahagia yang perlu diabadikan, namun juga luka-luka masa lalu yang menyesaki memori hati. Kenangan pahit hanya perlu diabadikan, lalu disimpan dalam potret diri, untuk melegakan dan pelajaran di masa depan. Dan di hari terakhir itu, aku semkain percaya diri untuk mengimani bahwa Ghyna adalah cerminan diriku.

###

Kamar kos yang terasa gelap kini seakan ikut sekarat. Ruh kehidupan yang selalu Ghyna bawa seolah memudar. Raib tersedot takdir yang menurutku kejam. Namun, senyumnya, ucapannya, perangainya, seolah selalu abadi dalm hati. Dan memutar kembali kenangan bersamanya lewat foto-foto pribadinya mungkin mujarab untuk rindu yang terlewat kejam ini.

Baru kali pertama ini kucoba memberanikan diri untuk membuka akun kumpulan foto online pribadi Ghyna. Seperti ada dorongan jiwa yang sangat kuat untukku melihat wajahnya kembali. Kulit putihnya begitu mirip dengan kulit Ibu, Mata yang menyala garang tak lepas dari iris dan kornea Ayah, dan bibir tipis kombinasi keduanya, semua membayang membuncah, luber, dalam kotak bernama kerinduan.

Ada sesak yang menjalar dalam dada, ketika mengingat foto terakhir yang dia abadikan. Foto ketika kami berdua makan bersama di salah satu restoran kampusnya. Hari itulah, aku yang mentraktirnya. Menantangnya akan memakan semua yang kupesan. Dan benar, dia berhasil. Seperti keyakinanku, dia selau saja bisa menjawab tantanganku, perintah hatiku.

Namun, esok paginya, kabar bahwa di telah meregang nyawa membuatku kejut. Aku gontai. Menanyakan takdir, kenapa aku masih bisa menghirup udara, jika nyawa dan napasnya tak lagi bersisa? Jika kami adalah sepasang insan. Ini sudah bukan teori refleksi lagi. Ini teori yang salah. Dia harusnya masih hidup! Karena aku adalah cerminnya. Aku adalah dirinya!
Atas nama rindu yang gebu, kusentuh dengan perlahan dan hati-hati akun bernama Ghyna. Detik tiap detik terasa berjalan sangat lambat, aku seolah menghitung mundur bom waktu rindu. Kutahan napas. Tubuhku mulai menegang, rasanya ingin cepat-cepat rindu ini hengkang.

Dan saat kumpulan foto itu berhasil terbuka, aku mematung. Tubuhku seperti terlempar dalam jurang lubang hitam. Kepalaku seperti tertusuk-tusuk jarum siksaan.

“Tidak! Ini tidak mungkin!”

Seluruh tubuhku kini bergetar hebat. Kejang. Aku limbung dalam gelombang kenyataan. Dengan tergesa kuraba seluruh tubuhku, tanganku, wajahku—
“Ya Tuhan! Jika semua foto Ghyna ternyata adalah diriku sendiri, itu berarti—“

Suaraku getir. Tak sanggup lagi untuk meneruskannya. Karena aku sadar, aku kini telah lenyap, hilang dari peradaban bernama kehidupan...