Jika kau merasa sendiri dan sepi, itulah yang persis
kurasakan kini, kawan. Hanya duduk di kursi ruang baca perpustakaan sebuah SMA
yang senyap, tanpa karib, tanpa teman. Aku mematung, membaca satu demi satu lembar
novel yang sepertinya begitu kukenal. Tanpa harus resah untuk peduli atau ingin dipedulikan. Toh, bukankah itu
memang sudah menjadi garis takdir buatku. Tak usahlah perlu aku sesentimentil dan
secengeng ini.
“Suka novel itu juga?”
Tanya salah seorang siswa dengan rambut berantakan dan mata
yang tajam. Kelopak mata sipitnya, persis ciri genetik manusia-manusia di belahan
negara tetangga. Jepang. Ya, apalagi dipadu dengan warna kulit yang putih
bersih, membuat aku yakin ia memiliki riwayat darah negeri matahari terbit itu. Bukan masalah penampilan yang membuat aku begitu
memperhatikannya. Hanya saja, baru perempuan inilah satu-satunya orang yang menganggapku.
Bahkan menyapaku. Apa ini juga salah satu takdir itu?
“Kok malah bengong,” katanya lagi, melihatku hanya sibuk
memandangnya dengan luapan keheranan.
“Kamu ngomong sama saya?”
“Bukan. Sama tembok!” jawabnya kesal. Lalu, bibir tipisnya dimanyunkan ke depan sambil tetap menatapku lekat, “ Ya iyalah, sama kamu.
Hiish!”
Perpusatakaan SMA-nya memang sepi, lebih sering terlihat
lorong-lorong ruangan luas ini lengang daripada hilir mudik anak-anak yang mau
membaca. Sepertinya, siswa-siswa sekarang lebih suka membaca tulisan di
Whatsapp daripada tulisan di kertas-kertas usang di sini.
“Kamu mau baca ini novel?” akhirnya aku memberanikan diri untuk
bertanya. Hmm... Kenapa kamu terlihat kesal?
Mungkin pertanyaan itulah yang tepat, tapi membayangkan reaksinya nanti,
kalimat tanya itu sudah kutelan sebelum mengudara.
“Tidak, aku sudah khatam.”
“Lalu?” tanyaku masih penasaran dengan motif apa dia
mendekatiku yang tak berseragam seperti dirinya ini. Yeah, aku memang sudah menjadi pembaca
langganan yang di jidat sudah seperti tercetak kata ANGGOTA PERPUS.
“Aku butuh pertolonganmu,” balasnya kini dengan penuh
perhitungan.
“Untuk?”
“Lebih bijaksana jika kau tanyakan apa imbalannya, bukan?”
Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi. Aku pikir, dia terlalu pintar untuk
menjadi perempuan berseragam SMA seperti yang lainnya.
“Jadi, ini bisnis? Maaf, saya tidak berminat!” elakku cepat. Aku memang bukan salah satu penggemar ajang saling memanfaatkan seperti ini. Seburuk-buruknya diriku, kata tulus masih tetap kupergunakan dalam hal membantu orang.
“Bener? Walaupun aku bisa membantumu membuat kekasihmu mengerti?”
Sumpah, tak kusangka dengan ringan ia mengucapkannya. Ya, perempuan 17
tahun ini menawarkan hal yang sangat kubutuhkan dengan segampang itu.
Sebenarnya, siapa dia? Malaikat?
“Diam lama, berarti Deal!” ucapnya tanpa menungguku
mengambil keputusan. Ia benar-benar telah menyiksaku. “Kenapa masih diam? Ikut aku!” katanya kini dengan mata tajam.
###
Oke, aku merasa tersesat. Tapi,
asalkan ada sang penunjuk arah, tempat ini bukan ancaman lagi seperti yang selalu kutakutkan. Baru kali ini,
aku berani berjalan-jalan sampai ke rumah orang. Tepatnya, di kamar perempuan yang meminta bantuan juga ingin menawarkan bantuan. Irish, nama perempuan itu. Komentarku
hanya satu saat tahu namanya, cocok dengan wajahnya yang mengerikan penuh ancaman.
“Tak usah terlalu takjub seperti
itu. Saya memang maniak buku.”
Kali ini aku akui kesal melihat mimik mukanya
yang terlihat congkak saat aku melihat semua dindingnya dipenuhi oleh buku-buku. Aku putuskan untuk duduk saja di kursi belajar dari kayu jati kokoh di samping ranjangnya. “Sekarang, apa yang bisa saya
bantu? Jam segini, saya harus pulang,” kataku asal.
Ada dua hal yang kini
membuatku ingin cepat-cepat keluar dari sini. Pertama, aku malas melihat
perempuan menyebalkan ini, dan kedua saya ingin cepat-cepat bertemu dengan dia,
belahan jiwa. Hari ini adalah tepat pertemuan pertama kami, dan selalu ada perayaan untuk itu. Dengan langsung menanyakan kesepakatan seperti ini, kupikir itu cara yang
ampuh untuk segera hengkang dari sini.
Tak kusangka respon pertanyaanku itu membuatnya berubah seperti orang tak waras. Ia terlihat sangat frustrasi dan benar-benar butuh ditolong. Kakinya menapak mondar mandir di depan kasur. Apa dia juga salah satu anggota teater sekolah?
“Bantu aku buat novel. Bantu aku
untuk menuliskan semua pikiran yang mengerogoti otak sialan ini. Aku tersiksa dengan
kutukan ini. Beban ini semacam kanker yang terus membelah, menumpuk dan
menjejali kepalaku yang sempit. Aku harus bisa menorehkannya, mengurangi
pengaruh mereka—
“Bukankah itu mudah, hanya tinggal
menulis saja kan?” kataku enteng. Penderitaannya itu seperti pura-pura dan terlalu
berlebihan, kupikir. Hanya menulis saja, ia anggap hal yang luar biasa susahnya. Lalu, hanya merasa punya
ide banyak saja, ia merasa tersiksanya seperti pasien kanker. Anak zaman
sekarang memang terlalu mendramatisir keadaan.
“Jangan bilang kau pun sama
dengan mereka? Tak percaya dengan kata-kata dan deritaku ini?” tuduhnya dengan mata
penuh murka. Oke aku akui, tatapanya kali ini lebih mengerikan dua kali lipat
dari yang tadi. “Banyak yang menggangguku, banyak yang menginginkan kisahnya
kutulis, tapi aku tak sanggup selamanya seperti itu. Dan setelah aku menemukan
buku yang kau baca tadi di perpus, aku tahu, kau mampu membantuku,” lanjutnya
dengan nada yang lebih bersahabat dan memohon.
“Maksudmu, saya semacam menjadi
ghost writer-mu?” terkaku.
Anggukan lemah yang ia
persembahkan buatku menjadi sebuah kode bahwa kami berdua telah terikat kontrak kasat
mata bernama, perjanjian.
“Tapi, jangan lupa, kau juga akan
membantu saya, bukan?”
###
Aku berlari tanpa lelah menuju
sebuah toko buku yang menjadi tempat kami memadu kasih. Tempat yang jauh dari
rumah gadis SMA yang mempekerjakanku, yang malah merebut jatah waktu untuk
sekadar berduaan dengannya. Ah, kenapa aku bisa sampai terdistrak dengan
cerita-cerita perempuan muda yang menyebut dirinya Irish itu. Aku merasa kacau
dalam lajuku sendiri.
“Ini tentu sudah terlambat,” kataku
marah dan panik.
Kelegaan membuncah kala sebuah
bangunan kuno bergaya arsitektur Belanda yang menjulang dengan lampu remang
kini telah berada di depan mata. Toko dan perpustakaan buku khusus para member devils
reader itu selalu terlihat sepi. Hanya yang menjadi anggota yang boleh
menggunakan fasilitas tempat itu. Tak heran jika perasaan intim dan privasi
dapat mudah didapatkan dalam membaca di toko buku ini. Malah, ada karpet halus
dan wangi yang biasanya menjadi tempat tidur juga bantal bantal empuk menggoda
selera untuk mengistirahatkan punggung yang lelah membaca. Tapi, aku selalu tahu tempat bertemu kami. Tempat pertama dan beranak pinak menjadi kelanjutan setting cerita kami, meja bernomor 9 ranah
fiksi.
Bergegas aku memasuki ruangan
berbau lavender yang dari dulu menjadi aroma khas yang menenangkan dan bikin aku
selalu kecanduan di tempat ini. Melihat ia duduk sendiri, dan wajah yang seperti kuduga—penuh
kecewa, aku berlari kecil mendekatinya. Aku harus secepatnya mengakui kesalahan
dan menceritakan semua yang terjadi hari ini. Tentang Irish, tentang pekerjaan
baruku, dan tentang—
“Aku harus pergi, aku tak bisa terus
seperti ini,” ucapnya getir. Tanpa menunggu aku duduk, tanpa sebentar saja tinggal untuk mendengar penjelasanku, ia memutuskan pergi. Perempuan tinggi ini, beranjak
dari hadapan dan meletakkan novel yang sering kami baca di lemari dan
berlalu begitu saja tanpa menengok lagi ke arahku.
Aku putuskan untuk tak mengejar.
Buat apa? Sepertinya sudah berhari-hari ia tak pernah mengaggapku, bahkan hanya sebentar saja
mendengarkan setiap alasanku, kini pun tidak bisa ia lakukan. Ya, dari dulu aku sadar hanya bisa menjadi orang ketiga buatnya.
“Sudahlah, aku akan katakan padanya,
besok!”
Suara yang tak asing di telinga
kini terdengar lagi. Irish ternyata sudah berada di belakang kursiku, berjalan
menuju kursi yang beberapa menit yang lalu diduduki perempuan yang sangat kucintai.
“Selain pemaksa, kau juga
penguntit rupanya. Benar-banar mengerikan,” kataku spontan, tidak suka diikuti
seperti ini.
“Jangan terlalu percaya diri kau.
Aku juga salah satu member devils reader, dan pacarmu itu, aku juga kenal dan paham kok. Jadi,
itu kenapa aku congkak berani menawarkan bantuan kepadamu.”
“Bantuan katamu? Ini bisnis! Murni,
simbiosis,” bantahku tak setuju denngan ucapannya seolah ia dewi penolong yang
ingin membantu tanpa pamrih. “Tapi, benar besok kamu akan membantu saya untuk
mengatakannya, menjelaskan keterlambatan tadi?”
“Lebih dari sekadar menjelaskan,”
jawabnya santai.
Ah, terkadang jika melihatnya, aku tak akan pernah percaya
di balik ketenangan dan mata yang tajam itu tersimpan penderitaan yang tiada
batas. Irish seperti bayangan dari cerminan diriku sendiri. Ia tak punya
siapa-siapa, dikucilkan, tak dianggap, bahkan kedua orang tuanya terus
menganggapnya gila. Menurutku, menulis dan membuatnya menjadi sebuah catatan
bukanlah sebuah kegilaan. Yeah, cuma jika dia melakukannya sampai lupa dengan
apa yang harus ia pikirkan untuk hidup, mungkin itu baru disebut gila. Apa kata-kataku barusan juga telah menganggap
perempuan di depanku ini gila? Astaga...
“Kau mau nulis lagi? Bukankah tadi
aku telah membantumu menulis kisah kelam di kamarmu?”
“Ini ada yang memaksa untuk aku
tulis sekarang, sebelum aku disiksa dan dihantui,” jawabnya sambil mengetik
dengan cekatan. “O iya, mulai sekarang kamu harus terbiasa dengan
cerita-cerita kelam, karena biasanya cerita itulah yang aku tulis,” tambahnya
tapa menatapku.
“Tenang saja, saya sudah terbiasa
dengan cerita hitam seperti yang menjejali otakmu itu kok,” balasku mencoba
sombong. Merasa tidak nyaman saja, selalu direndahkan oleh perempuan tua yang
terjebak dalam tubuh mungil ini. Mengingat hipotesisku tentang umur Irish,
aku sedikit terkekeh sendiri. “Tunggu, tunggu, kenapa ini aku bisa membaca
pikiranmu? Iya, aku bisa tahu apa yang sedang kau tulis, Irish!” kejutku
benar-benar tak dapat kusembunyikan saat ada sebuah plot masuk dalam otakku. Aneh,
sangat aneh. Aku melihat sebuah putaran adegan film yang tiba-tiba dan
mengerikan. Aku yakin, ini kisah yang sedang ditulis Irish. “Siapa kamu
sebenarya, Irish?” tanyaku terbata dan gugup. Ini jelas hal yang tidak biasa.
“Aku hanya membuka cakra, membuka
portal pikiran kita. Kau tahu, jika portal ini kubuka, maka aku dengan mudah
mentransfer semua yang ada di otakku ke tengkorakmu. Dan itu cukup membantu.
Ini juga, alasan kenapa aku membutuhkanmu.
Tak sembarang orang yang bisa menerima tugas suci ini—
“Jadi apa sebenarnya ini?”
“Sudahlah, kalau kau menerima sinyal ini, tulis saja apa yang aku
kirimkan. Itu pekerjaanmu. Ikuti saja apa yang kuperintahkan, bukankah, besok aku juga akan
membantumu?” terang Irish dengan wajah yang tak dapat sedikit pun aku
terjemahkan. Tangannya mendorong sebuah laptop ke arahku. “Kini, kau sudah resmi menjadi ghost
writer-ku, dan bantulah aku untuk bisa hidup normal.”
Ya Tuhan, sepertinya aku salah bertemu dengan perempuan aneh ini...
###
Hari yang kutunggu bergulir
begitu lama dan menyesakkan. Aku harus menulis apa yang dipikirkan oleh Irish,
sedangkan ia dengan curang tidur di permadani halus di toko buku ini hingga
fajar mulai menggenapkan hari kemarin. Anehnya, aku tidak merasa kantuk, malah
apa yang terpikirkan dalam otak Irish, kini telah menjelma menjadi sebuah catatan
atau entahlah apa ini. Sebuah kisah kelam dari tokoh tokoh yang Irish buat. Apa
mungkin karena tak ada empati dariku, atau memang perasaanku sendir telah lama
mati?
“Mana laptopku?" tangannya menarik laptopnya dan memasukkannya dalam tas ransel yang besar, membuat tubuh mungilnya tertimbun separuh dari tinggi tas. "Aku akan bolos hari ini, karena
aku sudah janji untuk menjelaskan kenapa kau telat kemarin malam kepada
perempuan itu,” ucap Irish tiba-tiba di depanku. Tak cukup mengagetkan, karena
kebiasaanya datang dan berbicara tiba-tiba itu kini sudah kupelajari.
“Rachel, namanya,” jawabku ketus.
Berani-beraninya ia dengan santai tanpa menyebutkan nama belahan jiwaku. Ketus, tidak
ada kata sopan lagi.
“Mau di sini terus? Ayo
ikut,” ajaknya dengan melangkah menjahuiku.
Tak ingin tertinggal, dengan
tergopoh aku mengikuti langkahnya
“Lihat saja, di kafe ini aku akan
bertemu dengan Rachel dan menolongmu,” ucap Irish ketika kakinya yang kecil
memasuki sebuah kedai kopi yang sudah buka di pagi-pagi Jakarta yang hibuk.
Kafe yang ternyata hanya
bersebelahan dengan toko buku kuno tempat member devils reader berkumpul itu, menguarkan aroma kopi yang pekat dan
nikmat. Memanjakan syaraf kranialku yang sepertinya sudah mulai berfungsi.
“Kamu duduk sini saja, dan diam
jangan berkata apa-apa, aku bosan mendengar suaramu dan teriakanmu,” ucap Irish
tegas.
Aku terkadang tak sanggup melampiaskan kekesalanku dengan sikapnya itu.
Seolah-olah ia bisa mendengar rintihanku dan semua teraikan malam-malamku.
Kenal saja baru kemarin, sudah terlalu percaya diri berlagak mengenalku. Belum selesai aku menggerutu,
kulihat Rachel dengan semua kecantikannya itu mendekati kami. Ya, ia berjalan
ke mejaku dan Irish. Wajahnya sembab dan senyum terpaksa ia hadiahkan kepadaku.
Ah, aku yakin itu hanyalah senyum palsu.
“Maaf Rachel, aku tadi malam terlambat,” batinku meronta. Ya,
karena hanya itu yang bisa kulakukan. Karena Irish akan mengancam membunuhku
jika aku ikut berbicara.
Ia lalu duduk di hadapan kami,
menatap Irish dengan tatapan penuh luka. Tentu saja, pasti Irish sudah kenal
baik dengannya. Apalagi kami bertiga ternyata adalah satu member di komunitas
membaca.
“Hari ini, Chel. Hari ini aku
akan berterus terang,” kata Irish memulai. “Tentang rahasiamu dan semua yang
kau simpan sendiri hingga bau busuknya sudah serasa membunuhku pelan-pelan.”
“Tak apa, lagian aku juga sudah
baca novel itu, dan kupikir pertemuan ini tepat,” balas Rachel dengan suara
yang serak. Aku bisa pastikan ia terlalu banyak menangis sehingga suara
jernihnya menjadi terdengar menyanyat dan getir. Ah, aku menjadi merasa semakin
bersalah.
“Novel?” tanya Irish dengan tawa
kecut. “Itu fakta, bukan fiksi!” ada penekanan yang kuat dari nada
bicara Irish. Kadang aku tak habis pikir, jika anak ini benar-benar masih SMA.
“Ya, cukup menghibur. Meski
semuanya kini telah kukubur. O ya, aku lupa jika kau masih selalu mencoba
berbuat baik kepada mereka bukan? Dengan menjadi penyampai apa yang tak
tersampaikan. Meskipun kadang hanya lewat novel atau catatan seperti ini,”
Rachel berucap antipati dengan meletakkan novel yang selalu aku baca di
perpustakaan sekolah Irish. Novel yang menjadi benda kenapa aku dipertemukan
dengan bocah aneh ini.
“Aku hanya merasa terbebas saja,
dengan menuliskan teriakan-teriakan pilu mereka. Setidaknya, dengan kau membaca
novel itu, kini kau tahu kan, bagaimana perasaan Renata? Ia menderita. Ia
menjerit meraung tiap hari hanya untuk mengatakan perasaannya yang
sesungguhnya. Ia mencintaimu, Chel. Tapi, apa daya?” ada jeda napas yang cepat
dari ucapan Irish. “Sayang, usahanya untuk menyampaikannya dengan buku,
harus kandas saat suamimu meletakkan racun itu. Ya, Anton cemburu.”
Mendengar kalimat-kalimat tajam
Irish menyebutkan namaku membuat aku limbung. Kata-kata tajam yang langsung
menghunus tanpa tading dan aling-aling merobek semua rasa yang masih
tertinggal dalam jiwa kotorku. Aku kelimpungan. Merasa sakit namun juga tak kesakitan. Merasa
sedih, namun tak mampu berair mata. Ya Tuhan, mahluk apa aku sebenarnya?
Benarkah aku telah mati? Benarkah, aku dibunuh oleh lelaki bangsat itu? Lelaki
yang membuat Rachel menderita dan tersiksa? Jadi, novel itu sebenarnya—
“Dan asal kamu tahu, Renata kini
duduk di sampungku, Chel,” penutup Irish yang membuat mimik Rachel memburam.