Selasa, 30 Juni 2015

Premature Love

 “What??” teriak Cindy sok kaget. Mimik ala Fitri tropika membuatnya bergelar miss. L kini disandangnya.

“Nggak mungkin lah, Jere is straight! Gue yakin 100% persen!” bantah Cindy nggak terima dengan kecurigaan sahabatnya tentang pacar seharinya itu. Mana mungkin, Jere termasuk golongan cowok yang orientation confused?? Nggak!! Nggak mungkin, its impposible!
 
“Gue lihat pake kepala gue sendiri, Cin!” balas Kelly nggak mau kalah.

“Gue malah sudah buktiin sendiri!!”  jawab Cindy cepat. Eh, sial keceplosan gue. Grrrr!!

“What??” kini si desiner berbakat yang masih maniak adegan ranjang itu kini yang melongo mendengar ucapan Cindy Tan.

“Jadi, lo dah....M..”

“Enough! Out of topic!! Jangan ngalihin pembicaraan deh!” potong Cindy cepat sebelum Kelly berhasil menyebut kata ML.

“Oke, kalau emang lo masih keukeuh dengan Jere yang so-jantan-bangettttt-itu. Lupakan info gue! And Now, cus ke  studioo, karena lo ada pemotretan!!” kini Kelly benar-benar kesal. Baru kali ini sahabatnya itu nggak mempercayai info yang ia berikan, padahal menurutnya kabar darinya itu lebih tajam dari silet, atau insert.

“Huufttt!! Keras kepala,” gerutu hatinya.

“Lo nggak ikut?” kata Cindy melunak, nggak ingin soulmate gossipnya itu marah, yeah hidupnya sepertinya galau akut tanpa bergossip dengan Kelly walaupun cuman sehari. Bagi dua fashionista itu, Gossip sudah seperti narkotik buat mereka. Bisa sakaw kalau sehari nggak cuap-cuap berdua.

“Ya, ikut lah.  Baju yang lo pakai nanti, kan desain gue yang bakal nongkrong di Maskara Bulan depan, Darling!!” kata Kelly gemas. 

“Oh.... sorry lupa! Gue bangga ma lo,” sesal Cindy.

“Nggak ngaruh! Cepetan, mau honor lo di-cut karena telat?”

###

Dengan stiletto merah menyala yang dipadukan dengan liptick senada, menjadi tema pemotretan kali ini. Yupz, the red of glamourous. Gaun berbahan siffon menjuntai dengan payet batuan kristal bening dan paduan mutiara di leher Cindy, membuat ia bak Cinderlella di malam pesta. Matanya yang terlihat tajam dengan polesan maskara dan eye liner maksimal-namun tak berlebihan, menyulap wajahnya bak manenkin yang sempurna.

“Yups, enough!!” teriak photografer dan penata gaya majalah Maskara memberi kode.

Dengan semangat, si Kelly membantu Cindy melepas gaun rancangannya itu ke kamar ganti. Bukannya nggak percaya sama model sekeliber sahabatnya itu, Kelly emang sengaja mau membisikkan something! Yang pasti berita Penting!!

“Tuh, gebetannya si Jere. Gue lihat pas mereka ada sesi pemotretan di kolam renang kemarin. Yeah, you know-lah, apa yang dipakai Jere kalau sesi basah-basahan,” bisik Kelly bak devil yang menunaikan kewajibannya, Provokator manusia.

“Plis deh Kel, gue bosen dengernya!” Cindy sok nggak terpengaruh.

“Lihat aja, ntar kalau Jer, jemput lo!”

“Oke kita lihat bareng aja, biar lo puass!”

“A Gree!! Lo kudu ngumpet sini dulu, intip si potografer itu ngapain aja ma Jere! Gue berani taruhan deh. Cowok 2 hari lo bakal buka topengnya!!”

“Stop it!! Kita buktikan bareng aja! Nggak usah berisik!” kata Cindy panas.
Jujur, Cindy nggak bisa nyembunyiin muka tegangnya. Ya, karena bentar lagi pacarnya yang juga model itu bakal menjemputnya di studio itu. Dan bakal ketemu dengan photografer barunya Majalah Maskara. Dia parno, kalau apa yang dikatakan Kelly itu benar.
Omaigat!! Nggak bisa mbayangin kalo si Jerre ...........
Ah, Immpossible!!

Orang yang ditunggu-tunggu pun nongol juga. Cindy dan Kelly mengintai dua mahluk satu jenis itu dari ruang ganti model. Hanya dengan kain panjang melingkar sebagai penutup, ruang model menjadi tempat yang tepat dan strategis buat mereka menyalurkan hasrat per-KEPO-annya.
Mereka menghela napas bersama saat melihat jelas dua mahluk adam di depannya itu mulai terlihat hangat.

“Jangan pingsan di sini lo, Cin!”

“Maksud lo?” balas Cindy sambil melotot.

Napas Cindy tertahan, saat dengan akrab dua pria itu saling bercengkrama. Tangan Jere malah merangkul bahu sang photografer ber kaos hijau lumut itu segala. Bikin Cindy semakin panas.
Jealeous ma cowok?? Normal nggak sih gue??

“Mesra banget sih,” bisik miss. Devil Kelly membuat Cindy tambah kalap.

Dengan murka, Cindy langsung menghampiri mereka berdua yang asyik tertawa bersama.

“Hai, honey, sudah pemotretannya?” tanya Jere ketika melihat kekasihnya keluar dari ruang ganti model. Tentu, dengan masih merangkul photografer kloningan Nicholas Saputra itu.

“Kita putus!” kata Cindy tiba-tiba dengan napas memburu. 

“What?? Cin, you are serious?” tanya Jere kaget. tangannya kini beralih ke jari-jari cewek yang baru  tujuh hari ia pacari.

“Gue sudah lihat semua Jer! Gue nggak suka cowok munafik kayak lo! Gue kira....” Cindy nggak sanggup melanjutkan kata-katanya. Gadis berambut panjang itu pun akhirnya terisak. Merasa menjadi cewek tolol sejagad. Dia bahkan menganggap dirinya lebih buruk dari seekor keledai. Ya, keledai yang enggan jatuh di lubang yang sama, nggak kayak dirinya, hobi terluka karena cinta. Tepatnya dilukai!!

“Tapi, gue butuh penjelasan? Why?” protes Jere yang masih bingung dengan keputusan tiba-tiba Cindy, yang seperti juga cinta mereka yang datang tiba-tiba.

“Siapa dia, Jere? Kenalin dia ke gue? N.O.W!!” teriak Cindy emosi sambil menunjuk cowok tegap bak patung zeus itu.

“Gue Jet. Jethero Liem, adik Jere,” ucap sang photografer yang sedari tadi hanya menonton adegan pertengkaran kakaknya. Yeah, kini dia bangga, bisa nimbrung menjadi pemeran, meski hanya figuran.
Kelly yang tadi terus menyemangati Cinndy-meski lewat telepati-buat ngelabrak Jere kini pun ingin mendapatkan peran.

“Lo beneran adek Jere?” tanya Kelly dengan malu-malu. Sambil menyimpan muka ketakutan karena pelototan super dari si partner gossipnya.
Jet hanya mengangguk.

“Oh... gue ngerti!!Jadi kita putus, karena dia??” tegas Jere yang merasa dipermainkan. “Gue tahu lo naksir kan sama adek gue?” tuduh Jere kepada Cindy. Matanya kini berkilat amarah. Merah.

“Buat lo, cuma butuh 24 jam doang buat bisa mencintai cowok lain,Cin? Seperti yang lo lakuin juga ke gue? menyedihkan lo, Cin!”

“Jere, nggak git...”

“Gue nggak perlu penjelasan lo!” kata Jere penuh marah, dan pergi begitu saja. Meninggalkan Cindy yang semakin kenceng nangisnya. Dia seakan lupa 3B, yang ia pelajari sebagai model papan atas majalah Maskara. Dia nggak peduli!!

Dengan geram lalu ia berteriak...

“Kelllyyyyyy!!! Tanggungg jawaaaabbbb!!”

 “Yeah, premature of  love,” bisik Jet sambil geleng-geleng kepala.

###

Tulisan ini diikutkan tantangan Kampus Fiksi #FiksiLGBT

Selasa, 09 Juni 2015

Catatan Akhir


“Rana, percayalah, aku akan tetap mencintaimu. Maafkan aku, Sayang, yang tidak sanggup menjadi imammu sampai akhir hayatku”

Rana
Ini bukanlah hari liburku untuk bekerja. Hanya saja, karena protes dari tubuhku yang merasa lelah, surat izin sakit pun aku layangkan. Memang, tidak ada luka dengan fisikku, namun sebenarnya jiwaku yang telah lama hancur. Porak-poranda oleh keputusan mengerikan darimu.
Di ranjang berseprai merah darah ini, aku hanya bisa membisu. Bergeming sendiri memeluk buku harianku. Ah, jika sendiri di kamar ini, bayangan keindahan kita dahulu, selalu saja memenuhi benak. Engkau ingat? Kenangan-kenangan akan kebahagiaan yang sempat menemani keluarga kita?
“Itu dulu! Kita sekarang di waktu sekarang! Tak usah memikirkan bahagia yang sudah lewat!”
Dan jawaban itulah yang selalu kudengar saat pertanyaan itu coba kuucapkan dalam diam. Jujur, saat berdua di kamar ini, aku ingin bisa mengulang kemesraan itu lagi. Namun, aku salah, terlalu percaya diri menganggap kau pun merasakan hal yang serupa. Kini, bagaimana aku tidak semakin mengimani bahwa, putaran sisa-sisa memori itu telah tergerus pelan-pelan oleh waktu?
Masih sangat jelas kuingat Mas, saat engkau melamarku dulu. Dengan mata berkaca, engkau mengungkapkan cinta. Aku langsung tahu dari merahnya matamu itu, ada ketulusan dan kelembutan dari hatimu. Dan di hari itu pula, kau berucap bahwa akulah cinta pertama dan terakhirmu. Namun maaf. Kala itu, hatiku benar-benar memang belum ada kemantapan untuk menikah. Dan sekali lagi maaf, jika kata penolakanku itu mungkin menyakitimu dan membuatmu menyerah.
Ternyata, dugaanku keliru. Kulihat kau tidak pernah juga berputus asa, setelah penolakan sore itu. Pun diriku, tetap kukuh dengan pendirianku untuk belum bisa menikah. Aku masih ingat betul, sudah kutolak berkali-kalisampai aku lupa kali berapa aku membiarkan engkau dengan rayuan gombal berseliweran di telingakutetap saja engkau tidak pernah menyerah untuk mempersuntingku. Maaf, Mas, jika di matamu aku adalah perempuan yang keras dan angkuh waktu itu. Toh, akhirnya waktu kembali memperlihatkan keampuhannya bukan?
Melihat kegigihan Mas Ikhsan di tiap putaran rotasi sang waktu, hati ini pun akhirnya melunak. Ya, dengan humor-humor andalanmu yang selalu saja berhasil membuatku tertawa dan melupakan masalahku. Dengan semua perhatian yang terkadang berlebihan yang selalu tercurah tulus untukku, dan engkau juga mengajarkanku makna kelembutan dan kesabaran. Malah, aku sempat merasa, dengan kesabaranmu yang seperti tiada batas itu, engkau selalu berhasil meredakan amarahku. Terkadang aku heran sendiri, kok ada orang sepertimu ya, Mas? Yang jika semakin sering aku marah, cintamu untukku malah semakin besar. Ah, Mas Ikhsan, aku benar-benar mencintai Mas, terimakasih untuk semua.
Tetapi kini, engkau seolah bukan Mas Ikhsan yang dulu. Aku seperti telah amnesia, tidak bisa mengenali lagi dirimu yang lembut, sabar, dan selalu bisa membuatku tertawa bahagia. Kau berubah, Mas. Atau aku yang benar-benar telah mengalami amnesia?
Semakin hari, aku kian tidak mengerti dirimu, Mas. Cemburu yang tidak beralasan, marah-marah yang tidak jelas, semua itu membuatku bingung. Engkau telah bertransformasi menjadi orang lain. Jujur, ada sedikit rasa kecewa di hatiku, meski cinta ini pun tidak lantas bisa musnah begitu saja, malah terasa semakin besar, Mas.
Sudah kali keberapa saya harus lagi dan lagi meyakinkanmu, ini adalah ujian dari Sang Khalik untuk cinta kita. Tapi, semua itu sepertinya, sia-sia! Karena semua keyakinanku itu ternyata tidak bersambut olehmu, Mas. Engkau masih saja meragukan kesetiaanku, menyangsikan penerimaanku atas keadaanmu. Padahal, aku benar-benar butuh sosokmu yang dulu, Mas! Seseorang yang selalu sabar membimbingku, yang selalu bisa membuatku tertawa walaupun dirundung duka, yang selalu memberi segudang alasan bahwa kita bisa menghadapi ujian-Nya. Tetapi, kenapa kamu kini berubah? Di mana Mas Ikhsanku yang dulu?  Kenapa tidak ada cinta dan canda tawa lagi darimu, Mas???
Engkau bukannya persis tahu, begitu banyaknya masalah yang mencekik leherku, Mas. Masalah anak-anak, masalah keuangan, masalah kerjaan yang harus aku lawan sendiri. Dan tolong, Mas. Jangan tambahi beban pundak ini, setidaknya jangan marah-marah di depanku lagi dan jangan diamkan aku seperti ini. Ah, aku memang benci dengan sifatmu yang selalu merasa paling tahu itu. Harusnya engkau tidak sok tahu menganalisis hatiku, karena hanya Tuhan yang tahu Mas! Bukan Mas Ikhsan!
Harus kali ke berapa aku katakan.
Aku masih Rana yang dulu, yang mencintai Mas apa adanya. Dengan sepaket kelebihan dan kekurannganmu, Mas! Aku tidak pernah mengharap Mas sempurna. Karena dengan kekurangan Mas, aku ditakdirkan Tuhan untuk bisa menjadi berarti bagimu.
Andai engkau tahu isi hatiku yang sebenarnya, Mas. Sampai detik ini, aku akan terus mencintaimu, walaupun keputusanmu untuk berpisah denganku telah kudengar sendiri dari telingku.
Mas, percayalah, ini bukan sebuah akhir ...

Ikhsan
Rana, semakin kacau saja rumah tangga kita. Permasalahan bertubi-tubi menghantam pondasi cinta yang sudah delapan tahun kita bangun. Memang ini bukan masalah kecil, namun jika dihadapi dengan sikap bijak, aku yakin semua masalah pasti dapat diselesaikan. Ini hanya masalah ego kita, Rana.
Rana-ku, kenapa aku merasa kamu semakin tidak mau mengertiku? Selalu marah dan marah. Aku mengerti kamu sangat capek, Sayangku. Aku mengerti.... Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini juga bukan kehendakku, bukan kemauanku! Kenapa tak sedikit pun kamu mencoba mengerti posisi sulitku ini?
Aku sepenuhnya paham dengan kondisimu sekarang. Kamu terlalu lelah, karena selain harus mengurusi anak-anak, kini kamu juga harus mengurusiku. Betapa merepotkanmu diriku ini, Rana! Harus berapa kali aku memohon maaf jika kini fisikku tidak lagi sanggup untuk bekerja. Berapa kali lagi aku harus menjelaskan ini bukan kemaunku, jika kamu mendadak menjadi tulang punggung keluarga, yang seharusnya menjadi kewajibanku.
“Ah, Rana, maaf... Maafkan aku...”
Ranaku, andai kamu tahu. Jika melihatmu pulang malam, yang kini selalu menjadi agendamu itu, hatiku seperti tersayat. Aku tidak tega melihatmu bekerja sekeras itu, Rana. Aku tahu, semua itu bukan karena kamu bersenang-senang di luar. Bukan pula untuk mencari hiburan. Tapi, semua kamu lakukan hanya untuk berjuang agar kita tetap hidup. Demi sesuap nasi, kamu rela mengambil jam lembur di pabrik. Kamu juga rela bekerja serabutan untuk menambah penghasilan. Sesungguhnya aku tak ingin kamu seperti itu sayang. Aku mengerti penderitaanmu, aku dapat membaca pikiranmu. Dan kini ketika tabunganku sudah mulai habis, kamu masih harus memutar otak untuk mendapatkan uang jutaan rupiah per minggu demi aku.
Ya, Tuhan! Kini aku benar-benar menjadi benalu buatmu!
Semua ini adalah salahku Rana. Salahku!! Pendidikan anak kita terlantar, buku-buku tak terbeli, tak ada makanan bergizi, semua itu adalah karena penyakitku. Rana. Namun, kumohon, tidakkah kamu sudi mengertiku sedikit saja? Jika, aku juga tidak ingin punya penyakit seperti ini, Rana...
Dengan berjalannya waktu, kurasakan ketulusanmu semakin menghilang dan hampir lenyap. Tak lagi kutemui senyum indah merona di bibirmu, sayang. Semua seolah berubah menjadi kelam dan mendung. Apakah semua juga karena keadaanku ini, Rana?
            Jujur, aku pun menyadari betapa lemahnya hatiku hingga selalu muncul cemburu kepadamu. Prasangka yang akhir-akhir ini menyerangku tanpa lelah, seperti iblis yang terus membisikkanku tentang kesetiaanmu, Rana. Semua itu menyiksaku. Dan marahlah satu obat terampuh untukku mengeluarkan semua luka yang mengeram itu.
Rana, bukan maksud hati aku berbicara kasar kepadamu. Bukan pula maksud hati ingin sengaja mendiamkanmu. Tetapi, hati ini terlalu takut, takut akan kehilanganmu.
            Ah, sudahlah Rana. Kini, aku merasa tidak lagi berguna sebagai suamimu, imammu, dan tulang punggung kehidupanmu. Aku telah lalai Rana. Aku tak sanggup lagi memenuhi janjiku, janji ketika akad suci kulafalkan. Janji untuk menjaga dan membahagiakanmu, Istriku. Dan hatiku terasa sangat hancur ketika tak bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Ya, jiwaku terluka ketika semua terasa berubah, jiwaku tidak sanggup lagi menahan beban ini. Pun, beban kesedihanmu.
Rana, aku mundur, aku menyerah ...

      
Catatan :
Rana dan Ikhsan akhirnya bercerai. Ikhsan mengalami saat-saat kritisnya karena sudah tidak sanggup lagi mengeluarkan uang untuk cuci darah, penyakit gagal ginjalnya sudah merampas fisik dan psikisnya.

Sedangkan Rana, tetap menjadi Ibu yang tegar dan kokoh demi menghidupi ketiga anaknya. Meskipun telah tiada, namun Rana masih tetap menyimpan kenangan terakhir Ikhsan, sebuah kertas bertuliskan kalimat cinta Ikhsan kepadanya.

“Rana, percayalah, aku akan tetap mencintaimu. Maafkan aku, sayang, yang tidak sanggup menjadi imammu sampai akhir hayatku”

Salam hangat,
Sayfullan