Senin, 20 Juli 2015

(hanya) Merasa Terusir

Penolakan jenis apa pun itu rasanya sakit. Kupikir, aku cukup berpengalaman untuk hal satu ini.

Komunitas. Perkumpulan. Geng. Kelompok. Atau kata lain yang bervariasi yang artinya hanya satu itu selalu membuatku takut. Cemen mungkin kau bilang. Aku tak peduli. Toh, memang aku tak mengingkari ada gelisah yang tiba-tiba menyergap saat aku mulai masuk atau terpaksa masuk dalam suatu kelompok. Ini terjadi bukan karena tanpa dasar. Tapi jujur, kelompok-kelompok itu membuat aku ngeri sendiri. Ketakutan yang seharusnya tak perlu ada. Semacam perasaan ‘takut ditolak’!

“Lu itu cupu! Lihat penampilan lu aja mengerikan. Ngaca dong! Lu nggak layak ikut geng popu di sini! Hush!”

Seperti tak ada harga dan anjing saja ketika kalimat pengusiran terlontar lagi. Tak sekasar itu, mungkin. Tapi, pandangan jijik, lirikan menilai tak sebanding, dan tak acuh dari wajah-wajah bersih mereka sudah menumpahkan kata-kata kasar itu untuk mengusirku. Ya, mungkin mereka benar, aku perlu cermin dan lebih mengerti apa itu konsep tahu diri.

“Oke, lihat saja nanti!”

Saat itu hanya dalam hati saja aku berani menrapal janji. Merapal dendam setiap penolakan yang kuterima. Merapal dalam-dalam kata yang akan kutorehkan pada sebuah pembulktian. Bahwa tanpa kalian semua pun, aku bisa!

Waktu bergulir. Lingkungan berganti. Sialnya, kata penolakan sepertinya enggan untuk pergi juga. Dan bodohnya lagi, ternyata tak semudah itu aku melakukan apa yang kutasbihkan tiap waktu untuk tetap berdiri sendiri. Hatiku masih saja lemah. Aku masih ingin punya kawan dan perkumpulan.

“Sial! Ternyata benar, manusia memang mahluk sosial,” rutukku saat aku merasa sendiri di kelas hanya bisa mencoret-coret kertas.

Ah, aku masih ingat, tak perlulah aku menjabarkan bagaimana sikap mereka ketika aku datang hanya ingin berkata-kata atau menceritakan bagaimana tadi pelajaran olah raga, atau guru yang tidak datang, pelajaran kosong—Responnya? Semua terlihat sengak. Tak menyimak. Oke mungkin aku kurang asyik dan terlalu kaku. Tapi sama saja, menyakitkan ketika mereka lalu pergi begitu saja.

“Kali ini, sepertinya aku harus berjuang sendiri. Aku tak butuh mereka. Ngapain, aku harus repot-repot sakit hati hanya karena sikap arogan mereka. Tunggu saja!” Kini aku yakin. Tekadku bulat. Aku harus kuat, hatiku harus beku. Aku bisa berdiri sendiri, apa pun yang terjadi!

Pembalasan elegant, kata seseorang. Aku mulai merencanakan semua langkahku sendiri. Memutar keadaan supaya semua berbalik. Satu pikiranku saat itu hanyalah prestasi. Bagaimana aku harus bisa diperhitungkan dalam permainan mereka. Aku mulai belajar tiga kali lipat dari anak-anak usiaku. Tak menyiksa, toh aku memang tak pernah main karena tak ada teman main. Daripada waktuku hanya digunakan untuk tidur-makan-bersihin kamar, aku kini mulai membaca. Mencari buku-buku dan latihan-latihan soal yang harus kukerjakan setiap hari. Bahkan, ketika berangkat sekolah pertama setelah libur panjang, tiga bab semua pelajaran baru telah kukuasi.
Usahaku sepertinya berbuah. Meski dengan otak yang pas-pasan, namun dengan kerajinan dan kerja keras aku pun mulai meraih apa yang kurencanakan. Guru-guru mulai melirikku. Kepercayaan diriku terangkat. Aku mulai aktif maju ke depan, mengerjakan di papan tulis, membantu guru menyiapkan materi, ikut aktif diskusi, dan aku merasa kastaku sedikit terangkat. Satu, demi satu teman mulai mendekatiku. Oh, bukan teman. Calon teman, atau malah mantan teman yang dulu membuangku dan menganggap aku hanya seorang mahluk astral tak kasat mata. Jadi, seperti inikah, mekanisme kehidupan bekerja? Menjijikkan!

Sampai sekarang, aku masih bisa merasakan menjadi diriku yang dulu. Empati yang membaja ketika mata-mata penuh harap ikut bergabung di suatu perkumpulan yang mengekslusifkan diri. Keinginan untuk diperhitungkan atau sekadar dianggap di dalam organisasi yang terlihat megah, gabungan orang-orang populer dan hebat. Ya, mata-mata yang memandang dirinya rendah, dan sulit atau tak mungkin menerobos dinding kuat mereka. Meskipun, pikiran mereka belum tentu benar juga. Aku dapat merasakan perasaan itu, perasaan ketidakeksisan diri jika dibanding dengan mereka yang punya level percaya diri tinggi. Aku paham. Aku bisa merasa. Pikiran negatif dan minder itu menyiksa!

Semacam perasaan terbuang, perasaan kalah sebelum berperang, akan semakin menggerogoti hati jika tak dilawan. Di titik inilah, aku ingin merangkul mereka. Memberikan energi positif, senyum ramah menerima, semangat untuk melangkah bersama, merangkul dan mendengarkan mereka. Ya, kepada orang-orang yang sama sepertiku dulu. Sang Pecundang tanpa rasa percaya diri.

Kamis, 09 Juli 2015

Berjodoh dengan Bulan Terbelah di Langit Amerika



Mengikuti acara ini bagi saya, seperti jodoh yang sudah dipersiapkan Allah.  

Saya selalu suka dengan diksi jodoh, untuk suatu hal, peristiwa, atau semacam skenario yang kita sering sebut kebetulan (padahal itu sebuah rencana dari-Nya) yang sangat memberi makna. Ya, begitu pula kesempatan luar biasa yang saya dapatkan dua hari yang lalu di gedung megah Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah. Tak pernah menduga, mungkin kalimat itu yang paling pas untuk menceritakan titik awal saya bisa tersesat ikut dan bertemu dengan dua pasang penulis yang menginspirasi Indonesia, Mbak Hanum Salsabiela Rais dan Mas Rangga Almahendra.

Dimulai dari sebuah chatting Whatsapp seorang kawan satu komunitas menulis Kampus Fiksi dan Rumpun Nektar. Isinya pun belum jelas, masuk hari Selasa, 7 Juli pukul 15.10


Besok pagi Rumpun Nektar ada acara nih, mau ikut kagak?

Tak langsung menanggapi, saya malah berpikir; pagi hari di bulan puasa ada acara komunitas kepenulisan? Terbaca janggal, mengingat acara tahun-tahun sebelumnya pasti buka bersama dan ngabuburit bareng sambil melakukan hal yang bermanfaat (kegiatan komunitas yang sangat lumrah di bulan Ramadhan) Jadi, jawaban saya saat itu hanya singkat.

Kok pagi? Acara apa, Glass? (Glass, Bukan berarti saya ngomong sama kaca, tapi kebetulan teman saya itu bernama Douglas)

Dan seperti jawaban sebelumnya, balasan Douglas tetap tidak jelas. Jadi, akhirnya keputusan ikut atau tidaknya saya pending sampai besok, tanggal 8 Juli 2015 sebelum pukul 9 pagi, waktu acaranya. (Seperti memutuskan masalah negara saja, LAMA!)

Alhamdulillah, mungkin sudah takdir saya untuk datang, tanpa banyak drama lagi akhirnya saya memutuskan untuk ikut juga. Pikiran positif saya mengalahkan rasa malas dan kekhawatiran saya yang seharusnya tak perlu ada. Maaf, sebelumnya kalau konten ini 90% curhat. Memang saya sering khawatir di pagi-pagi bulan ramadahan. Ya, untuk pasien hemodialisa seperti saya, puasa di pagi hari ibarat seorang ibu yang sedang mengalami morning sickness. Mual, pusing, dan tidak nyaman. Baru, setelah matahari tepat di ubun-ubun dan senja mulai terlihat, keadaan kurang nyaman itu akan kian membaik. Itulah yang menjadi pertimbangan saya ketika mengikuti acara pagi hari. 

Cukup curhatanya, dan lanjut!!!
Lantai delapan gedung megah Bank Indonesia menjadi setting rasa penasaran dan pencarian jawaban atas pertanyaan saya, “ACARA APAAN SI INI?” Mencurigakan sekali bukan? Terlalu mengundang banyak tanda tanya jika acara jumpa komunitas diadakan di gedung sebuah Bank?

Ah, tanpa ba-bi-bu lagi akhirnya bibir saya tak tega untuk lama diam dan terus menelan penasaran. IRUKA, penulis muda berbakat yang merangkap lakon teater di semarang dan salah satu pengurus komunitas Rumpun Nektar, akhirnya yang menjadi incaran mangsa saya. Mangsa untuk menjelaskan tentang acara pagi itu.

“Ini tuh acara semacam bedah buku yang diadakan perpus BI,” jawabnya dengan suara khas renyah yang kaya senyuman. Memperlihatkan behel giginya yang mengkilap.

“Dan apa buku yang akan dibedah?” tanya saya masih tampang mirip detektif kurang tidur yang terlalu tampan

“BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA!”

(Jedeerrr!!!) 

Mungkin back sound film horror Indonesia yang selalu berhasil mengagetkan itu paling pas untuk mendukung keterkejutan saya setelah mendengar judul buku. Serasa perfect, jika ditambah zoom in dan zoom out tepat mengarah pada mulut saya yang menganga dan mata saya yang  membulat sempurna (Oke, stop. Saya lebay. Dan ini bukan sedang menulis novel! Maaf)
“Lu kurang gaul banget ya Bang. Pasti belum tahu siapa Mbak Hanum dan Mas Rangga? Kelihatan ekspresi lu kayak aktor gagal casting gitu!” tambah Douglas, personil satu lagi dari kami yang songongnya minta ampun. Saya berani bertaruh, jika dia pasti sering ditolak casting. Lah, tahu bener ekspresi aktor gagal. Sial! Meskipun menyebalkan, tapi saya tak lantas punya kesempatan untuk mengelak karena pintu lift sudah terbuka dan kami bertiga langsung disambut oleh penerima tamu dengan tiga map yang sudah dipersiapkan untuk para undangan.

Alhamdulillah, bisik saya dalam hati penuh syukur menerima map berwarna favorit saya, merah

Lalu, saya, Douglas, dan Iruka pun masuk dan langsung mengincar kursi depan. Namun sayang, seperti naksir cewek yang cantik dan pintar tapi sial, unavailable lagi, begitulah perasaan saya ketika kursi depan telah penuh terisi. Saya pun belajar rela menerima, ikhlas, legowo, dan tetap semangat meski duduk di barisan ketiga kolom ketiga. Ya, pelajaran move on saya dapatkan dari kasus kecil kursi ini. #tsah

Sebuah trailer buku National Best Seller, Bulan Terbelah di Langit Amerika menjadi suguhan pertama kami para peserta. Setting tempat-tempat di benua yang ditemukan Coloumbus itu disajikan dengan kilatan cepat. Diawali dengan sound yang tak kalah menghentak. Cepat. Dan membuat sensasi thrilling sedikit terasa dan kental. Namun, setelahnya lagu New York New York dari penyanyi kawakan jazz America, Frank Sinatra yang landai dan earchatching mengalun enak. Memberikan gambaran perjalanan kota yang sangat jelajahi-able menarik untuk dijelajahi.

Tak lama, hanya sekitar lima menit setelah puas menikmati trailer yang memecut rasa penasaran dengan buku yang mangangkat historical fiction yang dipadu dengan isu sensitif deskriminasi muslim setelah peristiwa pengeboman WTC 11 September 2001 di Amerika, sang moderator, Mbak Lintang, membuka acara. Saya pun antusias, siaga dan fokus untuk mendengar penuturan perjalanan spiritual kedua penulis yang juga suami-istri dunia akhirat ini. Mereka sedikit membahas isi buku yang menghadirkan refferensi dalam menguak bahwa islam dan Amerika sesungguhnya adalah ‘kawan lama’. Namun, jujur saya ingin lebih. Saya bukan hanya ingin mendengar ‘tentang apa buku ini’ tapi saya ingin juga meneguk ilmu kepenulisan, pengalaman, semangat berjuang, dan hal-hal lain yang lepas dari novel yang dibedah itu sendiri. Oke, terlalu out of topic, salah jalur, atau lepas dari rel acara. Tapi, ilmu harus dikejar, bukan?

Dibalut dengan gaun anggun berwarna putih dengan hijab kopi susu, Mbak Hanum berjalan ke depan bersama Mas Rangga. Kemudian duduk, menatap kami, dan terseyum lebar ala Julia Roberts yang begitu meneduhkan. (Mas Rangga semoga nggak baca)#eh


Mbak Hanum dari tempat saya duduk, Baris 3, kolom 3 #Huft Jauh dan kurang puasss!


 Kemudian pertanyaan-pertanyaan dari moderator pun memulai memancing cerita di balik proses kreatif direktris AdiTV Yogyakarta ini. Saya akan mencoba menuliskan kembali apa yang saya dengar, dan apa yang saya dapatkan hingga  sampai melekat di hati saya. Dan agar juga melekat atau setidaknya menyentuh hati pembaca blog saya yang sepi, sedikit pengunjung.

Diawali dengan sebuah pembuatan judul. Proses yang biasanya malah terakhir dilakukan ketika draft novel telah selesai ini menjadi pertanyaan pertama pagi itu. Dimulai dari buku sebelumnya yang berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa yang sudah difilmkan dan mendapat apresiasi yang bagus oleh masyarakat.

Kenapa harus angka 99? Kenapa nggak 100 saja sekalian?

Renyah banget memang suara Mbak Lintang. Ya, cukup tahulah dia adalah seorang penyiar radio yang telak di pita suaranya sudah diberikan anugerah “Suara merdu” meski dalam posisi marah sekali pun.

Karena di buku itu memperlihatkan kebesaran Allah, maka kami memutuskan untuk mengambil angka dari asmaul husna, 99  nama-nama kebesaran Allah.

Sesuai tebakan saya, jawaban Mbak Hanum mengalir lugas, jelas. Saat melihat dan mendengar beliau berbicara, saya seperti melihat penyiar berita TV yang sangat terkontrol tone suara, intonasi, dan memukau khalayak. Termasuk saya. Setelah pertanyaan itu dijawab, giliran Mas Rangga yang sangat bijaksana dan terlihat sabar dari ucapannya yang kalem, menjawab tentang makna yang terkandung dari judul buku kedua. Bulan Terbelah di Langit Amerika.

Kenapa harus bulan? Bukan matahari? Awalan Mbak Lintang yang selalu kritis dalam bertanya.

Dulu Nabi Muhammad mendapat mukjizat oleh Allah untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan kemampuan membelah bulan. Kemudian, menyatukannya kembali. Setelah melihat keajaiban itu, tak lantas semua menjadi pengikut Nabi. Warga Mekkah pun tetap terbelah menjadi dua sisi. Orang-orang yang benar-benar kafir, dan kutub orang-orang yang benar-benar taat. Dan buku Bulan Terbelah di Langit Amerika, ingin menggambarkan dua kutub itu, yang harusnya bisa menyatu (kembali).

Tanya jawab tentang buku dari Mbak Lintang kepada dua penulis  tentang buku setebal 344 halaman ini  terus berlanjut. Dan sungguh sayang, jika hanya itu yang saya bagikan. Karena semua akan didapat jika kita telah membaca dan melahap habis buku yang sudah mengalami dicetak ke-8 kali ini. Tentang sejarah Amerika yang ternyata sebelum ditemukannya Coloumbus telah ada kota yang bernama Mecca dan Madina, tentang Alquran yang khusus dipunyai seorang tokoh besar Amerika, tentang seruan tanpa Islam, dunia akan haus kedamian, dan semua guliran kisah Mbak Hanum dan Mas Rangga ketika 12 hari di New York dan Whasington DC.

Ya, karena motif saya tak hanya itu. Jujur, selain mendengar kisah Bulan Terbelah di Langit Amerika, saya juga ingin menguak tentang perjalanan karier penulis, pengorbanan, dan keluh kesahnya sebagai penulis harus tersebarkan. Sebagai penulis pemula seperti saya, tentu itu sangat berharga. Dan Alhamdulillah, semua pertanyaan saya terjawab sudah. Dan akan coba saya ceritakan, semampu saya. Inspirasi yang luar biasa saya dapatkan, meski tanpa sengaja.
 
PASSION! 

Jari saya menuliskan kata itu di buku. Tulisan itu kini yang terpampang jelas di buku seminar yang dikasihkan BI untuk peserta. Tulisan dengan font yang belum bernama, CAPS mode on (karena dengan semua huruf saya tulis dengan kapital) yang sengaja saya tulis besar-besar untuk menjawab pertanyaan hati.

Benarkah menulis itu passion saya???


Passion adalah sebuah gairah yang ternyata memiliki tiga unsur. Tiga hal yang kesemuanya harus dapat terpenuhi. Kata Mbak Hanum, ketiga unusr itu adalah; Mampu, suka, dan menghasilkan. Oke, saya akan mencoba menjabarkan ketiganya.

1.      Mampu
Apakah kita mampu untuk melakukan pilihan yang akan menjadi gairah kita? Pastinya, ini syarat mutlak. Tapi, poin pertama ini juga dapat dilatih dengan terus belajar sepanjang hayat untuk meningkatkan kemampuan di bidang apa pun. Layaknya, saya yang ingin menjadi penulis fenomenal. Saya pun harus terus belajar untuk dapat melampaui syarat mutlak ini, meskipun kerja keras dan mau membuka diri untuk belajar, akan menjadi kunci dari unsur ini. Ya, saya mampu menulis! Tekad batin saya setelah mendengar motivasi dari Mbak Hanum.

2.      Suka
Bayangkan jika kita melakukan sesuatu seumur hidup, tapi tak kita suka? Tersiksa? Pasti. Terpaksa? Tentu. Hidup cuma sekali, dan mana enak sih, harus tersiksa dengan hal yang sebenarnya tak kita suka dan terus kita lakukan. Oke, Mbak Hanum memberikan contoh, dulu selama kuliah beliau memang suka dengan dunia kedokteran gigi. Tapi, lantas rasa suka itu waktu demi waktu luntur (Itu lumrah terjadi). Dan kesukaannya terhadap dunia literasi kian  membuncah, dan keputusan untuk menjadi penulislah akhirnya dia ambil, karena beliau CINTA.

3.      Menghasilkan
Ini poin yang terakhir namun juga sangat penting untuk menjaga kelangsungan passion kita sampai nanti. Menghasilkan! :)

Nah, betapa beruntungnya manusia yang diberikan kesempatan Allah untuk bisa meraih Passionnya bukan? Sudah mampu berkarya, melakukannya dengan suka cita tanpa terpaksa, dan dapat hasil juga. WOW banget deh, semoga kita juga bisa. (Marilah bersama-sama kita ucapkan....aaamiiin)

Lanjut ya...
Kemudian yang sangat menginspirasi saya lagi adalah tentang pengorbanan Mbak Hanum ketika harus memilih antara karier yang sudah melambung di Trans TV, atau ikut suami studi S3 di Vienna. 

Galau. Kata kekinian yang waktu itu dirasakan Mbak Hanum. Cita-cita dan passionnya seperti terhenti, harus rela ia lepaskan demi keluarga. Tentu itu bukan hal yang mudah, jika rasa egoisme masih ada dan ikhlas belum tersemat. Bukan pula hal yang enteng, jika rasa menjunjung tinggi peran istri untuk suami tak terpatri dalam diri. Alhamdulillah, akhirnya Mbak Hanum bisa melewati itu semua. Malah selama di belahan bumi lain, dia belajar banyak hal. Dan secara diam-diam, saat setelah mengantarkan makan siang untuk Mas Rangga, dia mampir di perpus kampus Mas Rangga, menulis dan menulis. Berkarya untuk sesama. Karena dia yakin, Bumi Allah itu maha luas, dan dia bisa berkarya di mana saja. Tak kecuali tempat kakinya saat itu berpijak. 

Keyakinan yang datang dari nasehat Ayahnda itulah yang membuatnya untuk semangat berkarya diam-diam, jatuh bangun dalam menulis tanpa sepengetahuan suami. Mbak Hanum merasa dia juga seorang biasa yang membutuhkan proses panjang untuk berkarya. Dia juga bukan penulis yang dengan kilat bisa mengubah kata ajaib menjadi sebuah buku berlembar-lembar. Dia tetap Mbak Hanum, dengan semangat dan dukungan penuh Mas Rangga yang berusaha dari pijakan pertama kakinya di halaman pertama hingga enam bulan berikutnya menjai halaman akhir. Ya, Mbak Hanum memberikan sebuah pelajaran penting tentang menulis. Proses!

Jika Hanum menulis buku pertamanya itu butuh dua belas bulan, lalu buku keduanya butuh enam bulan, dan buku ini, dia hanya butuh 3 bulan. Itulah bagaimana keajaiban latihan berproses terlihat.
Kata Mas Rangga yang mengaku selalu memperhatikan proses kreatif Mbak Hanum. Selayaknya sebuah otot dalam tubuh, jika setiap hari kita latih, maka ia akan membesar dan kuat. Begitu juga dengan menulis, semakin sering dan ajek menulis, tanpa sadar kemampuan menulis seseorang akan berkembang dan semakin kuat pula. Itu hukum. Itu rumus. 

Jadi cintailah proses. Kesuksesan dan kegagalan adalah satu paket. Kita tak bisa memisahkan keduanya. Yang membedakan hanyalah, apakah kita memilih untuk bangkit melanjutkan proses, atau berhenti menyerah!

Betapa banyak sekali kata-kata semangat yang tandas dari ucapan Mas Rangga. Begitu menginspirasi dan menginduksi. Ah, begitu banyak sekali hal positif yang saya dapatkan dari acara yang (tidak sengaja saya ikuti) pagi itu. Mungkin, berlembar-lembar tulisan saya tidak akan muat untuk menorehkan ilmu dan inspirasi yang saya dapatkan dari Mbak Hanum dan Mas Rangga! Makasih Mbak, Mas! Alhamdulillah banget pokoknya bisa menjadi bagian peserta. Untuk Bank Indonesia propinsi Jawa Tengah, terima kasih saya haturkan karena telah mengadakan acara yang luar biasa ini.

Pun, saya ucapkan terima kasih kepada Ricky Douglas penyampai rezeki yang tak diduga ini, Iruka DP yang menjadi pembuka komunitas Rumpun Nektar, Fakhri yang rela izin kerja demi acara ini, dan Mas Ali, yang menagih cerita yang akhirnya menjadi tulisan (daripada bercerita dengan lisan saya lebih suka lewat tulisan, Mas). Dan seperti biasa, acara ditutup dengan pemberian hadiah dan foto-foto. Nah, ini juga acara favorit saya, sebagai orang yang menasbihkan diri sebagai pencari kenangan melalui fotografi. (Bilang saja kalo suka difoto Hahha)


 Kebahagiaan bisa selfie bareng Mbak Hanum setelah acara selesai


Berfoto dulu dengan Mas Rangga yang ramah dan setiap ucapannya adalah manfaat

Empat wakil Rumpun Nektar yang sedang menyesap madu ilmu pengetahuan



Dan Alhamdulillah, terima kasih untuk hadiah buku dan tanda tangannya Mbak Hanum dan Mas Rangga... Saya harus bisa menyusul...SEMANGAT!!!

Oke, gitu aja report absurd dan abal-abal dari sudut pandang seorang Sayfullan. Jika ada salah kata, mohon maaf ya Mbak Hanum dan Mas Rangga. See you via email yah :) (Mau minta endors calon novel saya dan curhat #eh)

Salam hangat,
Sayfullan

Rabu, 01 Juli 2015

Kematian Ibu



Tidak mungkin Ibu hamil! Mana mungkin Ibu berzina dengan tentara Jepang seperti yang mereka teriakkan. Omong kosong! Ibu bukan Jugun Ianfu! Lebih baik nyawaku yang terenggut daripada harus melihat pasung menjamah kaki Ibu, menggumulinya tanpa peduli air matanya yang mengemis iba.
Ah, sabarlah Ibuku, ini hanya masalah waktu, dan aku janji akan mengusung bukti! Tapi, masihkah sudi waktu menantiku, menunggu barang sedetik saja nyawa Ibu?
Ya Allah, demi semua zarrah kebaikan yang pernah kulakukan, demi semua atom kebaikan yang telah ibuku pernah perbuat, bawalah aku mendapat jawab!
###
1 Maret 1942, hitungan waktu yang tak akan pernah lenyap dari memoriku. Melekat kuat seperti parasit dalam tubuh pohon yang terus menempel dan mencuri. Ya, aku ingat betul. Tanggal itu bergulir tepat pada hari Minggu, putaran masa dimana takdir melarungkan kisahku, kisah Ibu, ke sebuah dermaga bernama kenyataan, bahwa kabut kebodohan merupakan penyakit terkeji dan paling mematikan. Dan hingga kini, akulah salah satu pengiman teori itu.
Kakiku kini manapak di sebuah keramik berbau menyengat seperti obat. Masih dengan kemeja pendek putih, celana pendek sewarna, sepatu selop hitam mengkilap dan kaus kaki sedengkul aku seperti orang asing. Keramaian seperti membunhku perlahan. Tapi, aku tak boleh hanya diam, karena akan ada yang benar-benar mati dibunuh jika langkahku terlambat sampai subuh.
Aku nekat menyusuri ruang-ruang yang tak kukenal baik. Semacam tempat orang berlalu lalang, namun tak tahu untuk apa mereka berada di sini. Pikirku semakin berdenyut, mencari alasan kenapa aku dikirim Allah ke sini jika jawabanlah yang ingin kucari.
“Ah, Allah maha Tahu. Dia tak mungkin salah mengirimku,” batinku berkata lirih, mencoba mencari penghiburan diri.
Aku tak tahan jika harus melangkah tanpa tujuan dan membisu seperti orang gila. Aku harus bertanya. Semacam mencari orang yang tepat untuk kudekatilah, yang sedang kulakukan.
“Bolehkah aku bertanya kepada anda?” akhirnya aku memilih seseorang yang berbaju mirip denganku. Bedanya dia perempuan. Warna serba putih yang ia pakai seperti menarikku untuk mendekat dan berucap.
“Iya, Adek. Apa yang bisa saya bantu?” jawabnya lembut.
Adek? Batinku mengulang panggilan perempuan ramah dan berbibir tertarik ini. Mungkin, pakaianku yang membuat aku seperti anak ingusan yang tersesat. Tapi, sejauh aku memandang, memang tak ada lelaki seumuranku memakai celana pendek sepaha sepertiku ini, apalagi berkaus kaki putih yang lumayan tinggi.
“Ibuku sakit. Dia seperti hamil, namun akui yakin bukan hamil. Perutnya buncit dan sering muntah, ia pucat dan lemah. Tolong, ada apa dengan Ibuku? Dia tidak mungkin hamil!” kataku panik dan cepat. Aku memang sedang diburu waktu. Perempuan berbaju serba putih itu melihatku seksama, seperti bisa merasakan apa yang aku khawatirkan.
“Lalu, di mana Ibumu sekarang, Dek?”
“Dia tidak bisa ke sini. Tolong, jawab saja. Kasih aku jawaban, sebelum ia—
Aku tak dapat meneruskan ucapanku. Namun, perempuan di depanku langsung tahu apa yang kutakutkan.
“Tapi, Ibu adek harus diperiksa lebih dulu. Adek sudah benar, datang ke rumah sakit, tapi pasien harus ikut ke sini.”
Tanpa pikir lagi aku menekuk kakiku, memohon di depan perempuan yang terlihat seperti malaikat. Tak peduli pandangan orang-orang yang kini tertumbuk padaku.
“Jawab saja, Ibuku tak hamil kan? Bilang jika itu penyakit lain. Kumohon, aku tak punya banyak waktu!” ucapku panik. Tentu aku tahu akan teori relativitas waktu. Aku juga persis paham akan ada perbedaan waktu antara aku dengan Ibu. Tapi berepa pun, lebih cepat ataukah lebih lambat, aku tak memegang konsep itu.
“Ayo ikut aku,” kata perempuan itu. Aku berdiri sigap. Lalu, ikut berjalan menyusulnya yang melangkah cekatan ke sebuah ruangan yang pintunya tergantung papan plastik bertuliskan dr. Zaneta, yang kuimani adalah namanya.
“Sekarang duduk dan terangkan bagaimana gejala penyakit ibumu?!”
Aku ikuti apa yang dimintanya. Namun, seketika aku seperti tersihir, mematung dalam bibir yang menganga tak percaya. 2015? Kalander di sini sudah tahun 2015?
###
Semarang 1942
Setelah kabar keberadaan Jepang di Indonesia sempat membuat resah warga seluruh nusantara, kini berita pendaratan pasukan Nippon di pulau Jawa pun tak luput dari endusan para penguasa Belanda di Semarang, bahkan sampai juga ke telinga kotor para rakyat jelata. Kabar memilukan ini terdengar sebagai ancaman bagi kompeni, karena pasukan negeri matahri terbit telah berhasil menguasai beberapa wilayah strategis di Indonesia. Mereka tak segan menyerang Belanda yang sudah dulu lama berjaya. Dan yang menjadi sasaran berikutnya adalah pulau Jawa. Ah, andai aku tidak tahu betapa kejamnya Jepang, mungkin aku akan bersyukur dengan pembasmian para kompeni di negeri. Nyatanya aku salah, keberadaan Jepang justru awal penderitaanku dan Ibu.
            Seminggu setelah Jepang menginjakkan kakinya di pulau Jawa, Semarang pun beralih kekuasaan ke tangan Jepang. Belanda tak berkutik. Kalah telak. Semua orang Belanda diburu, diserang dan menjadi tawanan tentara Jepang. Termasuk Ayahku, pejabat Belanda yang hingga kini aku tak tahu lagi nasibnya setelah tentara Jepang menangkap dan menahannya.
Kabar yang aku dengar, mereka dikurung  dalam penjara lawang sewu, disiksa dengan bengis layaknya binatang di bawah tanah, hingga maut merobek jiwa raga mereka. Mendengar berita mengerikan itu, aku dan Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada air mata. Pun rasa iba. Hanya senyum bahagia lamat-lamat terulas di wajah Ibu. Ya, karena tertangkapnya Ayah, itu berarti siksaan tiap malam tak akan lagi ia rasakan. Dan bilur-bilur cambukan kulit ikat pinggang Ayah tak akan lagi menodai kulit bersih Ibu.
Kami berdua pun merayakan kemenangan di malam harinya setelah lelaki kasar itu tertangkap. Berdua, kami mencoba melupakan kekejaman kompeni bertangan ringan itu. Namun, saat merayakan pesta kemerdekaan kami, tamu tak diundang memaksa masuk dalam acara. Tentara sialan bermata segaris itu mengacaukan semuanya. Merusak pesta kami berdua tanpa permisi dan tahu malu. Titik puncak serangan mendadak malam itu berakhir dengan pengusiran kami berdua dari istana Ayah yang mewah. Dan surat tugas mereka? Kewajiban menjarah harta kompeni.
Sial! Dengan perintah itu, mereka seperti merasa berhak saja merusak kebahagiaan kami di malam itu. Aku dan Ibu hanya bisa patuh dan menurut, diusir secara paksa, dan diamankan di sebuah desa terpencil bernama Bumirejo kabupaten Demak. Bukankah, melawan tentara ini berarti merelakan nyawa untuk mati?
###
            Sawah-sawah dengan bongkahan tanah kering menyambut aku dan Ibu dengan nanar. Retakan-retakan yang meliuk mengukir tanah seolah bercerita jika musim kemarau panjang telah menjambangi desa senyap ini. Terlihat juga di ujung-ujung pembatas sawah, tumpukan jerami kering yang menggunung, tak tersentuh. Seperti layaknya tubuh yang kehilangan jiwa. Dan sayang, petani kampung ini menganggapnya hanya sampah tak berguna, seperti bangkai tak bernyawa.
Salah satu tentara Jepang tanpa mimik ini memasukkanku dan Ibu ke sebuah rumah kosong. Lebih tepatnya sebuah gubuk kotor dan gelap. Meskipun, siang hari, gubuk dari anyaman bambu dan atap dari daun kelapa kering ini terlihat suram. Hanya bintik-bintik cahaya matahari yang lolos menerobos lubang tiap anyaman yang menjadi sumber cahaya.
“Apa kita bisa hidup di sini, Bu?” tanyaku sambil menelisik semua sudut ruangan berlantai tanah. Paradoks. Tempat yang kumuh dengan kami yang masih menggunakan baju berstatus kami. Aku dengan pakaian khas murid Belanda yang disegani, sedang Ibu dengan gaun yang besar dan menjuntai seperti para noni Belanda yang justru kini diburu untuk tiada.
“Semoga,” kata Ibu yang terlihat tak bertenaga.
Baru lima hari kami berpindah di desa berpenduduk petani dan buruh ini, Ibu sudah terserang penyakit. Aku sangat resah, melihat kondisi Ibu yang sudah seperti mayat saja. Pucat dan tak ada sedikitpun tenaga. Aku kira ini bukan penyakit typus, diare atau disentri seperti yang mewabah di desa. Ini lain. Lebam-lebam bekas siksaan Ayah pun makin terlihat jelas, kontras dengan warna kulit Ibu yang kian memutih. Ditambah sikap semua warga di sini yang memandang kami layaknya pejahat nomor wahid yang wajib dihindari, membuat Ibu semakin terpuruk dan dalam kondisi tambah buruk.
Menjadi bekas istri kompeni dan tawanan Jepang, mungkin alasan seluruh warga desa satu suara untuk sepakat memusuhi kami. Setiap detik, kami harus menghadapi mata-mata mengancam dan sikap tidak ramah dari mereka. Aku dan Ibu hanya bisa bersabar, mencoba nerimo dan legowo, menghadapi pengucilan yang menyakitkan.
Namun, semakin lama kesabaranku pun seolah habis jua. Aku marah! Murka, ketika tak ada yang menggubris permohonanku untuk membawa Ibu ke mantri desa. Padahal, mereka tahu Ibu dalam keadaan lemah, karena sudah dua hari, dia terus muntah dan tidak bisa menelan satu suap nasi.
Belum hilang kemarahanku itu, dadaku sudah dibuat terbakar lagi oleh ulah warga. Aku semakin geram saat mendengar fitnah bahwa Ibu telah hamil. Karangan cerita bodoh itu, membuat kebencian warga kepada kami berdua kian membuncah parah. Ibu dituduh melakukan zina dengan prajurit Jepang, dan sedang mengandung anak seoarang penjajah.
Yang benar saja, perut Ibu membuncit karena sakit.
Hati anak mana yang tidak miris mendengar kabar murahan itu? Ingin rasanya kubunuh saja orang yang menyebar berita palsu itu. Ah, mati kurasa tak cukup untuknya. Bukankah, fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Dan jika nyawa  harus dibalas dengan nyawa, bagaimana hukuman yang pantas dengan perbuatan lebih kejam dari itu?
            Hingga tengah malamnya, aku dan Ibu akhirnya dikejutkan dengan suara lemparan batu yang terdengar mencabik gendang telinga kami berdua. Dari sela-sela lubang anyaman bambu, kulihat berbondong-bondong warga desa dengan oncor di tangan, berteriak-teriak di depan gubukku, menginginkan hukuman pasung untuk Ibu yang telah didakwa berzina. Antara  Marah, takut, benci, bercampur menjadi satu, tapi Ibu malah bersikap sebaliknya. Dengan tenang ia memeluk punggung tanganku. Ia ingin menyalurkan keberanian kepadaku, sentuhan lembutnya seakan berkata, “Semua akan baik-baik saja...”
            Aku pun hanya bisa terdiam, mencoba menarik napas dalam. Ada tekad dalam hati, untuk tetap menjaga Ibu dari mereka, meskipun nyawa menjadi taruhannya.
            “Hukum perempuan itu!!!!”
            “Pasung dia! Pasung pezina!!!!”
            “Seret dia!!!”
            Teriakan demi teriakan semakin menggema memekakan telinga, membuat kemarahanku tak terbendung lagi. Tapi, aku tak sanggup keluar, Ibu membutuhkanku. Aku harus tetap di sampingnya. Kupandangi keadaannya dengan lelehan air mata. Dia terlihat semakin memprihatinkan. Perutnya telah membesar, mukanya semakin pucat, dan seperti sudah tak ada lagi sisa-sisa tenaga dari tubuhnya. Kakinya pun membengkak. Dia hanya bisa duduk di sampingku, karena jika dia dalam posisi tidur, napasnya tak akan kuat lagi untuk mengisi oksigen di paru-parunya.
Tak ada tanggapan dari kami, teriakan dan batu-batu itu semakin terasa ganas mengepung gubuk kami. Lemparan-lemparan warga mencipta bunyi yang begitu menyakitkan ulu hati. Terdengar suara kaki yang semakin mendekat. Bukan! Bukan hanya suara kaki satu orang, tapi lebih. Mereka mencoba mendobrak pintu papan lapuk gubuk kami. Dengan terus berteriak  kata-kata kotor, mereka berhasil menemukan aku dan Ibu di ranjam tua ini. Tangan salah satu warga dengan cekatan memegang tangaku. Menahanku agar tak bergerak. Aku meronta. Berteriak menyebut nama Ibu. Keringat mengalir deras. Napas tersengal tak beraturan. Aku terus meronta, mencoba melawan. Namun sia-sia. Tubuhku terasa terkunci. Tenagaku terasa raib.
Kulihat warga lain dengan tangan kekar akhirnya berhasil menggenggam erat lengan Ibu. Dengan kasar, lelaki kurang ajar itu menyeret Ibu dengan paksa tanpa rasa kasihan. Aku tak sanggup lagi menyaksikan penderitaan Ibu. Aku kembali lagi berteriak. Menggerak-gerakkan tubuhku sekuat yang kubisa. Tapi, semakin aku melawan, pegangan tangan lelaki ini semakin kencang. Kuat.
“Ibu!!!!” teriakku keras. Sekeras doa yang memaksa sang pencipta. “Tunggu barang sebentar, Bu. Aku akan datang membawa jawaban,” janjiku sambil merapal doa kepada sang pengabul doa dan pemberi keajaiban. Hingga terasa tubuhku tersedot hingga aku tak bisa melihat kecuali gelap. Ya, hanya gelap.
###
Di sebuah gubuk rapuh, tua, dan gelap, aku kembali. Seperti mendapat secercah bukti, dari perjalanan waktuku tadi. Aku ingin mengabarkan kegembiraanku yang Allah telah anugerahkan. Meski aku tak terlambat, namun terasa ada pisau yang menusuk-nusuk dada ketika kulihat Ibu yang melahirkanku terduduk lemah. Kakinya terpasung dengan kayu mahoni berdiameter besar. Tangannya dirantai bak penjahat yang membahayakan nyawa. Aku miris, luruh tangis. Hukuman warga desa ini memang biadab. Meskipun, manusia bersalah, bukankah Allah yang berhak menghukum mereka? Apakah mereka merasa telah menjadi Tuhan? Apalagi Ibuku, dia tidak bersalah! Dia sakit, bukan hamil!!!
Sadar akan kedatanganku, Ibu pun tak sanggup menahan lagi air matanya. Dia memandangku. Lama. Bibir keringnya, berusaha ia gerakkan, sepertinya ada hal yang ingin ia katakan.
            “Percayalah, Nak. Ibu tidak hamil,” katanya parau dan pelan.
            Mendengar pengakuan Ibu aku malah ikut menangis. Bisa-bisanya Ibu tak mempercayai diriku, darah dagingnya sendiri? Mana mungkin, aku juga sepikiran dengan orang-orang di desa ini untuk menuduhnya hamil, berzina? Ya Allah, kenapa Ibu begitu kuatir hingga menduga aku pun seperti salah satu dari mereka.
            “Ibu sakit, bukan hamil. Ibu tidak berzina. Ibu hanya mempunyai gangguan ginjal,” ucapku kini dengan air mata. Pelukan erat kini yang kuberikan kepadanya, sebagai pernyataanku bahwa aku selalu mempercayainya.
            Lama tubuhku tertaut. Air mataku semakin deras, karena kau tahu penyakit sialan macam apa itu. Aku memang berhasil tahu jawaban itu, tapi aku tak tahu bagaimana membawa Ibu ke dokter 73 tahun yang akan datang. Dan ketakutanku bertuah. Semua yang dikatakan dokter Zaneta terjadilah sudah. Sengalan napas Ibu mulai melemah. Meski aku tak terlambat, namun aku juga tak sanggup berbuat apa-apa. Jantungnya pun kini tak lagi kurasa. Hening. Tak ada debaran lagi di dadanya.
“Ya Allah, apa jiwa Ibu sudah terlepas dari belenggu dunia?!!” ratapku jengah karena merasa menjadi benar-benar mahluk. Lemah. Tak berdaya dan tak sanggup mengubah apapun. Jangankan mengubah, menghindar dari kematianku sendiri saja tak sanggup? Bagiamana menunda kematian Ibu?
Ah, tidak! Ini pasti hanya perasaanku saja. Aku yakin! Ini hanya halusinasiku.
###