Minggu, 27 September 2015

Cantik itu Sakit


"Finally, sampai juga. Eh, bener kan ini pukul enam pagi? Masih gelap dan sepi amat? Katanya bakal ada Jakarta Fashion Week? Apa jangan-jangan, aku salah lihat jam? Oh... tidak!"
          Jianna kebingungan saat mall tempat digelarnya acara fashion tahunan itu masih terlihat senyap. Berusaha menyingkirkan resah, gadis SMA dengan dress putih berujung balon tanpa lengan  itu mantap melangkah menuju eskalator mall ke lantai tiga.
        Harusnya sih sudah ramai dari subuh tadi. Semoga saja aku nggak salah tempat atau jamku yang malah error.
        Ketika kakinya berhasil tepat menapak di lantai tiga, Jianna seperti tersihir. Dari jauh ia penuh takjub menyaksikan  stage berkarpet legam berbentuk T letter itu dikerumuni model-model jangkung yang sedang melakukan gladi bersih. Juga para panitia JFW yang semuanya terlihat super hibuk untuk mempersiapkan acara. Kontras sekali dengan suasana mall yang masih gelap dan belum siap untuk dibuka.
“Jianna?” sapa salah satu panitia mendekatinya tiba-tiba. Sepertinya ia teman Maminya, karena langsung tahu namanya.
“Iya, Mbak. Saya Jianna,” jawabnya sambil memamerkan senyum bidadari andalan—yang kata teman-teman sekolahnya, “Senyum Mariana Renata saja lewat!”
“Oke, good, kamu sudah datang tepat waktu. Ayo langsung ke tempatmu sekarang. Ikuti aku, dan akan banyak tugas buatmu di belakang. C’mon Dahling,” ajak Mbak-mbak modis dengan rambut terkucir kuda dengan nama Fahranie di kalung panitia.
Ya Tuhan... Aku nggak sabar berjalan anggun di stage itu... Bisik hati Jianna terlalu exciting saat merasakan bagian dari para model yang berpakaian alakadarnya itu. Meski melihat dari jauh, aura anggun bisa terpancar dari bahasa tubuh mereka.
“Jianna! Ayo!” panggil Fahranie yang ternyata sudah lebih dulu satu depa dengannya. Malu. Ya, kata itu yang membuat pipi Jianna bersemburat merah. Bisa-bisanya ia melamun di hari sibuk semacam ini.
Tanpa banyak berkata lagi, Jianna pun langsung mengikuti Fahranie. Ia menguntit di belakangnya sambil berdecak kagum melihat para model, panggung, dan aura ruangan yang tampak megah dan mewah.
“Je. Tugas kamu di sini ya. Di backstage
“Apa, Mbak? Backstage?!” potong Jianna terkejut. Ia ingin apa yang barusan dikatakan Fahranie hanyalah halusinasi, tapi—sialnya itu nyata.
“Iya, Je. Nanti Irma bakal memberikan semua tugas yang harus kamu lakukan. Tetap semangat ya. Karena acaranya sampai tengah malam. O ya, jika ada konsumsi panitia datang, jangan lupa nanti ambil saja. Tenaga kamu perlu diisi, jadi usahakan sarapan. Oke, aku cus dulu ya Je,” terang sahabat Maminya itu panjang lebar. Sebelum menghilang, perempuan ramah dan baik itu lalu menengok ke arah Irma, cewek tambun bermuka biasa saja dan berpenampilan apa adanya itu sambil berkata, “Titip Jianna ya Irma. Dia itu anak sahabat gue. Kalau ada apa-apa awas!”
“Siap bos,” jawab Irma seketika sambil tangannya masih saja bekerja, memilah-milah gaun yang akan ditampilkan sesuai desainer juga waktu penampilan untuk hari ini.
“Nggak salah nih, aku ditempatin di backstage?!” protes pilu hati Jianna akhirnya meronta. Ia baru sadar ternyata tempatnya bukan di panggung megah tadi. Ada kecewa yang membungkus wajahnya saat ia mengamati tempat kerjanya kini.
Apa menariknya coba? Dan apa yang bisa dibanggakan dari kerjaan ngurusin backstage? Toh, ia hanya bertugas di balik layar, menjadi panitia yang sibuk mempersiapkan peralatan dan—ah, pasti melayani para model yang bakal banyak maunya. Padahal kan, ia sudah dandan super cantik untuk bisa menyaingi para model yang terlibat acara tahunan ini. Sepertinya mubazir.
"Kalau gini doang, ngapain aku bela-belain nggak masuk sekolah?" rutuknya penuh sesal. Yang paling membuatnya kesal saat ia berangkat sekolah besok, rencana pamer kepada Blorong Charlot—rival-nya di sekolah, kalau ia eksis di JFW bakal gagal total. Nggak keren banget pamer-pamer sebagai babu backstage kayak gini!
“Hari pertama ini, adalah acara pembukaan dan penampilan karya fashion delapan desainer dalam balutan tema Heritage. Show pertama akan ada desainer baru yang mengangkat masa purba Indonesia di zaman perunggu zaman sejarah. Ingat, jangan sampai kamu lupa siapa saja desainer yang ikutan. Sudah tahu kan?” tanya Irma tegas. Seperti polisi sedang melakukan investigasi tersangka.
Jianna hanya menggeleng pasrah. Ia sungguh buta dengan kehidupan modelling yang menurut siswi SMA seperti dirinya adalah dunia astral.
“Astaga! Si Bos pilih pekerja part time kok bego gini si,” ceplos Irma sungguh tak enak Jianna dengar. “Ingat. Nanti bakal ada Deny Wirawan, Oscar Lawalata, Chossy Latu, Sebastian Gunawan, Stefanus Hamy, Raden Sirait, Priyo, Ghea Panggabean, dan Dasmond.”
“Oke. A-aku ingat kok, Mbak. Tenang saja,” jawab Jianna sambil tersenyum paksa. Mana mungkin ia ingat begitu banyak nama yang asing di telinga. Iya, kalau itu peajaran sekolahnya. Ini? menyita jatah memori otaknya saja.
“Kamu bohong kan?” tebak Irma santai sambil berlalu dari Jianna yang kini dengan pipi memerah karena malu.
“Sial, ternyata dikerjain aku,” omelnya pelan kerena Irma penuh kepuasan saat menuduhnya bohong. Oke, Jianna ralat. Bukan menuduh, tapi bicara fakta dan itu menyebalkan.
###
Di hari pertama, jangan ditanya bagaimana sibuknya Jianna. Ia seperti budak yang wira-wiri ke sana ke mari karena banyak perintah yang harus dilakukan. Mulai dari mengurusi persiapan pembukaan, sampai ikut membantu mengangkat gong yang oh-so-big itu dengan lima orang panitia lainnya. Gila! Ia harus berusaha meletakkannya susah payah di panggung runway hanya untuk dipakai sekali and just one minute?! Tidak hanya cukup itu saja penderitaannya, Jianna juga masih kebagian tugas harus menelpon berkali-kali Pak Ahok untuk memastikan kedatangannya sebagai pembuka dan pemukul gong raksasa itu.
Ia sih tahu persis kenapa sampai bekerja rodi seperti itu. Ya, karena ia hanya pekerja part time dan paling mungil yang punya muka disiksa-able. Makanya dengan enteng panitia perlengkapan demen banget main perintah-perintah saja. Ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau suara berat Irma sudah mulai menyuruh-nyuruhnya, kecuali hanya bisa terpaksa tersenyum dan menjawab cepat satu kata :  Ya!
“Sekarang, pokoknya kamu harus layani para model! Kalau mereka minta hansaplast, kasih dan pasangin. Minta kipas, walaupun sudah ada AC, kasih. Atau minta dikipasin? Kipasin! Pokoknya para model yang sedang make-up itu seperti ratu yang perlu dilayani. Paham, Je?” perintah Irma kembali berdengung di telinga Jianna.
Tugasnya kali ini berada di ruang make up. Ia pun berjalan lesu, memasuki ruangan yang tertutup dengan tulisan MAKE UP ROOM di depan pintunya.
Tuhan?! Kapan siksaan ini akan berakhir??
Belum selesai ia menggerutu, salah satu wajah yang sangat-sedang-tidak-ingin-dilihatnya, seperti tiba-tiba ada di depan matanya. Ia yakin, pemilik tubuh jangkung itu juga sama seperti dirinya. Kaget!
Mata tajamnya kini menatap Jianna seperti tidak percaya. Wajahnya mencoba menyembunyikan keterkejutan, kalau korban bullyan-nya di sekolah itu kini di depannya, di acara bergengsi para kaumnya.
“Dia tidak mungkin Jianna, bukan?! Mana bisa dia ikut atau bahkan hanya sekadar mencium bau euforia acara untuk para model ini?” bisik hati Charlot Devina masih tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat.
 “Ngapain lo di sini, gadis berkasta rendah, nggak pantes di sini!” maki Charlot dengan ekspresi  jijik. Seperti melihat mahluk tak kasatmata, model remaja itu berujar tanpa melihat Jianna, teman satu kelasnya.
Berdua dengan Charlot di ruang make-up, instruksi dari Irma tentang tugasnya terngiang-ngiang lagi di benak Jianna. Mendadak tugasnya kini terdengar 100 kali lebih mengerikan baginya. Bagaimana nggak horror, jika yang dilayaninya adalah musuh bebuyutannya di sekolah, sang model antagonis Charlot Devina. Ah, dia benar-benar malas jika si pembully itu membuat ulah lagi di sini dengannya. Sudah cukup ia berperang di sekolah, masa di sini juga?
“Hei, aku di sini panitia, dan kamu di sini model kan? Jelas, jalur kita berbeda, dan silakan duduk, karena waktu runway segera dimulai, dan kamu belum touch up sama sekali,” perintah ketus Jianna yang langsung berhasil membuat Charlot ingat akan profesionalitas. Jianna benar, show akan segera dimulai, sedang dirinya belum prepare sama sekali.  Dengan sikap tak acuh, model pendatang baru itu pergi mencari tempat duduk di ruang yang—sumpah! Bagi Jianna lebih berisik dari pasar!
Jianna terus mengamati Charlot yang sepertinya berjalan dengan tidak normal. Langkahnya somplak dan ada gurat menahan sakit dikernyitan dahinya. Rasa penasaran sekaligus kasihan membludak di hati Jianna. Oke, itu sama sekali tidak manusiawi mungkin, karena mengasihi orang yang menyiksa dirinya sendiri. Tetapi kini Jianna benar-benar sedang bersimpati dengan musuhnya. Semacam salut dengan perjuangan Charl. Miris saja, meskipun berjalan dengan sempoyongan gitu, ia tetap paksakan untuk menggunakan high heels yang sepertinya terlalu kecil untuk ukuran kakinya.
Kenapa dia mau dan tidak bisa menolak rancangan desainer itu sih?
“Apa daya seorang model, Je? Semua baju, sepatu, aksesoris, seberat beton atau besi pun akan tetap dia pakai kalau memang itu desain dari desainer yang mempekerjakannya,” ucapan Maminya terdengar kembali, seperti menjawab pertanyaan hati Jianna barusan.
“Jianaa!!!” teriak suara Charlot keras membuyarkan lamunannya. Buru-buru ia mendekati Charlot.
Charlot sudah duduk di sofa rias, dengan make up artis yang sudah mulai merombak wajahnya. Tapi dari balik cermin besar di depannya, Jianna bisa melihat mata Charlot melotot ke arahnya yang baru datang dan mematung di belakang kursi rias. Sambil tetap menatap Jianna dari cermin, telunjuk Charlot diarahkannya ke kaki yang berdarah dan lecet akibat sepatu yang ukurannya tidak pas di runway sesi sebelumnya.
“Malah bengong! Sakit nih! Cepet kasih antiseptik dan hansaplast! Bisa kerja nggak sih?” maki Charlot yang terlihat meringis, menahan perih kakinya. Namun, ia sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa atu sekedar mengeluh, karena show must goon, dan ia harus diam nurut jika tidak mau hasil make up di wajahnya itu tidak sempurna.
“Tu-tunggu. Aku akan lekas balik.”
Jianna pun langsung melangkah gesit di pojok ruangan rias dan baju. Ia menapaki lorong yang kanan kirinya sudah tergantung baju yang akan dipakai untuk show session ini. Rancangan karya desainer baru Dasmond, yang menitikberatkan pada bahan logam dan benda-benda di zaman perunggu itu membuat Jianna geleng-geleng kepala.
“Busyet!”
Jianna tidak habis pikir, jika para model harus mau menggunakan desain yang mengerikan yang telah tertata rapi dan siap dipakai itu.
“Jiannaaaa!!!”
Teriakan cempreng khas Blorong Charlot sudah menggema lagi. Disusul teriakan-teriakan model lain yang semua hampir mirip. Benar-benar sudah kayak pasar. Untung kotak obat lumayan besar itu sudah di depan mata Jianna. Tinggal mengambil hansaplast yang sudah disediakan berkotak-kotak banyaknya—karena mungkin kejadian lecet atau berdarah akibat sepatu memang sudah biasa, Rivanol, juga kapas. Setelah komplit, segera ia menemui Si Blorong di kursi riasnya kembali.
“Kelamaan!”
Belum sampai di depan Charlot, Jianna sudah mendapatkan semprotan dari pembully yang walau sakit masih saja tetap galak dan menyeramkan.
Tanpa menunggu disemprot lagi, Jianna pun jongkok dan mulai membersihkan luka di kaki Charlot yang darahnya sudah mulai mengering. Jianna melakukannya sangat pelan dan hati-hati. Telinganya sudah cukup panas, jika masih harus mendengar bentakan Charlot lagi. Saat cairan rivanol menyentuh luka Charlot, iaa melihat wajah Charlot yang menahan sakit. Ya, teman satu sekolahnya itu terlihat tersiksa, karena tidak mungkin bergerak-gerak saat mukanya mulai dihias dengan dandanan ala mahluk zaman purba itu. Hanya napasnya yang mendesah dalam dan panjang.
Setelah luka Charlot terlihat bersih, Jianna tutup luka di kaki bagian belakangnya dengan plester yang sudah diambil. Kini, ia menatap iba ke arah pembully yang ternyata juga tidak mudah perjuangannya untuk menjadi model profesiaonal.
Sadar, akan tatapan Jianna, Charlot langsung mendelik marah. Ia mengangkat ke lima jarinya kepada sang pembuat gambar akar-akar pohon dan ranting daun di pipi mulusnya itu sebagai kode, “Tolong berhenti sebentar”.
 “Ngapain lo masih di depan gue! Pergi sana, muak gue lihat wajah lo,” bentak Charlot dan langsung memberi kode kepada penggambar mukanya untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tanpa pikir lama lagi, Jianna pun menyingkir dari Charlot. Ia lalu melayani model lain yang melambaikan tangan ke arahnya karena belum bisa berteriak menyebu namanya. Mungkin model ini lebih membutuhkannya daripada si Charlot Devina!
###
Show akhirnya segera dimulai. Semua baju rancangan Dasmond yang sangat berat pun telah dipakai oleh semua model. Jianna ikut membantu memasangkan karya seni bernilai tinggi itu ke tubuh para model yang seperti tulang berbungkus kulit. Ia sangat hati-hati. Takut melukai mahluk sempurna bernama model di depannya. Saat ia membantu memasangkan kalung logam perunggu, tiba-tiba ia dikejutkan suara keras dari sebelahnya. Suara tubuh ambruk yang diikuti gemercik lonceng logam di baju yang dipakainya itu saling berhantaman dengan lantai ruang make-up.
“Astaga Charlot?! Kamu nggak apa-apa,” jerit Jianna melihat tubuh Charlot yang sudah dalam posisi duduk di lantai. Dengan susah payah ia menahan bobot tubuh Charlot yang naik drastis karena baju yang dipakainya. Jianna dan panitia lain mencoba membantu Charlot untuk berdiri.
Sebenarnya Jianna sudah siap dengan dampratan Charlot saat mencoba membantunya berdiri, tetapi kali ini gadis cantik itu hanya diam. Memilih menahan sakit dan berat di tubuhnya daripada energinya digunakan untuk mendamprat Jianna. Baju desainer Dasmond itu memang terlalu banyak logam, hingga tubuh Charlot terasa tidak kuat menahan beban baju yang dikenakan pada show kali ini.
“Nggak bisa minta izin dulu—
“Bego lo ya!?” potong Charlot sambil tertatih dan tetap berdiri dengan menyemplangkan tangannya ke pundak Jianna. Ia butuh sandaran untuk berdiri karena ketika akan naik ke panggung, ia tidak boleh duduk dan harus sudah siap berbaris sesuai gilirannya tampil dan memamerkan kelihaian catwalk dan busana Dasmond.
“Terus? Kaki kamu kan masih sakit, apa lagi baju ini yang so
“Jangan pernah berkomentar fashion jika tidak mengerti apa-apa tentang fashion! Lo harusnya tahu. Ini mimpi gue! Mimpi nyokap gue! Dan gue nggak boleh lemah atau kalah hanya dengan luka lecet, atau perut yang kelaparan karena nggak sempet makan. Gue akan lakukan apa saja untuk MIMPI gue ini! Termasuk nendang lo dari sini, jika itu perlu!” kata Charlot dengan tatapan tajam ke arah Jianna.
Ya, Jianna tentu saja tahu jika belum ada sedikit pun nasi yang melewati kerongkongan Charlot. Seperti yang dilihatnya tadi, beberapa model termasuk Charlot  hanya makan secuil ayamnya saja dari nasi box yang disediakan panitia. Itu pun sedikit.
“Diet ketat,” kata salah satu model yang Jianna tanya ketika mereka terlihat tidak menyentuh hidangan dari panitia.
“Apa semenyakitkan ini, untuk menjadi cantik?” tanya batin Jianna ketika mengingat semua kebiasaan para mahluk sempurna bernama model ini.
 “Mang masih berapa lama sih? Lo kan panitia?” bentak Charlot judes kepada Jianna yang masih membantunya berdiri.
“Dua puluh menit lagi untuk putaran pertama, dan itu masih—
Stop! Diam dan lo jangan pernah bergerak. Terus kayak gini. Satu menit saja sudah seperti neraka!” potong Charlot cepat, ia malas mendengarkan penjelasan Jianna yang akan membuatnya tahu jika ia masih harus tersiksa lebih lama lagi. Tak ada kompromi bagi Charlot, mau tak mau ia harus bisa menahannya, demi mimpinya.
Jianna memandang model di sampingnya dengan iba. Ia kini tahu, betapa berat pengorbanan dan perjuangan Charlot untuk meraih mimpinya. Ia merasa kerdil, belum berani berbuat apa-apa untuk meraih mimpinya. Jika, andai ia bisa bertukar posisi dengan Charlot, ia tak akan yakin bisa menghadapinya.
Ya,Tuhan. Aku belum kuat hidup sesakit ini..
“Buang muka menyedihkan dari wajah lo sekarang JIANNA! Atau lo mau gue bully di sini juga, ha? Dasar siswa berkasta rendah! Menyedihkan lo!”
###

#MenulisBarengAlumni 
Tema : Sakit


Senin, 21 September 2015

Penjilat


Aku sebut diriku dengan penjilat. Meski bukan benar-benar dengan memainkan lidah dan menjulurkannnya ke sasaran yang kujilat. Tapi, cuma sebuah istilah, yang artinya menurutku tidak jauh-jauh beda dengan efeknya. Sama-sama membuat nyaman dan ketagihan. Sampai, korban atau sasaran yang kujilat akan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan kenikmatan itu.

“Kau itu menjijikkan, opurtunis!”

Kata kasar Serilda, partner sesama penulis yang mungkin lidahnya ditumbuhi silet dan dilengkapi dengan air ludah penajam otomatis. See? Tiap ia membuka mulut, hunjaman nyeri hati sudah pasti akan menimpa lawan bicaranya. Untung aku tak termasuk dalam golongan manusia peka semacam itu. Ya, karena kami sama-sama berlidah silet.

“Kau itu bego ya?! Ini namanya simbiosis. Mana ada aku memanfaatkan orang tanpa dia juga dapat enaknya?”

Balasku santai, di kursi kayu depan ruang pengajaran kampus tempat biasa Serilda menghabiskan berjam-jam dini harinya untuk berimajinasi lewat tulisan. Aku berujar tanpa menatapnya. Fokus dengan layar laptopku yang terasa lebih menarik. Meskipun, aku harus rela pindah dari Semarang ke Pekalongan hanya untuk berduet bareng dengan novelis best seller ini.

“Dasar Penjilat!”

Oke, sudah dua pisau yang ia semburkan dari ucapannya. Tentu saja aku tak mau kalah di posisi 2-1. Rasanya tak mungkin aku tetap diam dan hanya menatap draft novelku ini.

“Hei, penulis. Kau itu bukan Tuhan! Kau bahkan tak tahu apa yang hatimu itu inginkan? Sok ngerti isi hati orang lain! Sungguh, lucu!”

Kini posisi kami draw 2-2. Perempuan berpostur gembul dengan rambut acak-acakan dan rokok yang selalu dikempit di bibir hitamnya itu sudah sok paham diriku luar dalam. Kenal saja baru-baru saja. Kalau saja tidak ada pelatihan menulis di Jogja, tentu aku tak akan pernah mau mengenalnya. Buat apa? Orang-orang yang tak memberikan keuntungan kepadaku akan kubuang. Kueliminasi tanpa pikir panjang.

“Lantas, kenapa kau seolah mengikutiku? Kita juga masih selalu bertemu? Kenapa kita tetap sok bersimbiosis seperti teori abal-abalmu ini? Apa arti aku buatmu? Hanya cemoohan? Hanya agar kau bisa menjadwal makanku, tidurku, melarang rokok, alkohol?! SHIT!!!”

Aneh. Perempuan ini kini mengoceh penuh emosi. Sebagai mahluk hawa, perasaannya ternyata masih hidup juga. Lepas dari fisiknya sebagai pemikat lelaki yang sudah menurut mataku ini ‘mati’.

Aku tak menjawab. Aku tak tertarik untuk menang. Biarlah skor  3-2 atau 10-2 aku tak peduli. Naskahku ini lebih perlu perhatian ekstra daripada racauan perempuan sinting yang anehnya selalu berhasil membuatku nyaman. Ya, nyaman untuk berkata kasar kepadanya tanpa takut ia sakit hati. Tapi, malam ini, sepertinya aku gagal.

“Diam saja kan kau?! Cukup. Aku mau pulang.”

Dia melangkah gegas dari kursi untuk siaga pergi. Ya, begitu saja. Ah, mana bisa aku biarkan situasi ini. Aku harus menaikkan skor tinggi tanpa harus berucap kasar.

Dengan sigap, kutarik kuat-kuat lenganya, kupagut bibir hitamnya. Tanpa ragu. Tanpa takut. Kurasakan napasnya hangat membelai tiap syaraf. Jantungnya pun terdengar riuh. Kulitnya menegang, aliran darahnya terasa dipacu. Ya, aku dapat rasakan semua dari pembuluh darah bawah kulitnya. Tangan dinginnya yang kugenggam kini mulai melunglai. Kami tetap terpaut. Perlahan, kuraih puntung rokok dari jarinya dan kubuang jauh. Tentu saja, dengan tetap mencumbuinya.

Kau itu bodoh! Aku tak begitu lihai mengungkapkan cinta. Kau harusnya juga jangan sok tahu isi hatiku. Dasar perempuan gendut bodoh! Aku hanya butuh kau ada di sisiku. Ya, itu saja.

“Kau bukan sedang memanfaatkanku kan? Apa artinya ini semua?”

“Jangan menganggap ini terlalu tinggi. Kau yang bilang aku ini penjilat, bukan?! Sudah lupa? Dasar bodoh!”

Untuk diikutkan tantangan KF tema “tinggi”


###