Kamis, 24 Desember 2015

Sabtu, Bunyi Siksaan Ibu

Aku baru mengenal nama-nama hari tak lama ini. Itu juga karena Ibu guruku yang mengajarkanku. Padahal aku berharap Ibuku sendiri yang mau mengajariku seperti teman-temanku yang lain. Ah, mungkin dia terlalu sibuk mencari kardus-kardus buat dijual. Jadi, tak apalah. Toh, kasih sayangnya juga kurasa tak pernah berkurang untukku.

Mengenal hari tak membuatku lebih bahagia, atau membuatku bangga,  malah sebaliknya, mengerti hari membuatku menderita. Entahlah, seperti ada kebencian yang menusuk sum-sum tulangku ketika hari Sabtu akan datang. Dulu, sebelum tahu nama-nama hari, aku tak pernah lelah untuk menghitung hari, menit, atau detik. Putaran waktu  tak begitu menyiksaku seperti ini. Hanya layaknya mendapat doorprize mengerikan dari kamar Ibu, jika hari Sabtu itu tiba. Sekarang waktu bagiku adalah mimpi buruk; menakutkan seakan pisau berkarat yang mengiris perih dagingku. Aku tidak mau dan peduli jika Sabtu akhirnya datang. Bila boleh, aku ingin Sabtu enyah selamanya dari nama hari!

Ya, seperti Sabtu-malam biasanya. Bunyi erangan Ibu terdengar parau lagi. Di balik kamar Ibu terdengar suara siksaan yang amat perih. Ingin sekali aku menolong Ibu yang melolong penuh peluh. Ingin aku menarik ibu dari himpitan tubuh kekar  yang  aku tak tahu itu siapa, dan selalu saja berubah rupa. Ya, Tuhan, aku melihat Ibuku tertindih, menahan beban tubuh lelaki kurang ajar itu. Ibu teriak kesakitan, dan terguncang oleh gerakan kasar tubuh lelaki itu. Ibu seperti  kehabisan napas. Tersengal.  Aku tak tega melihatnya. 

Sabtu malam adalah siksaan  buatku. Melihat Ibu kesakitan, merintih penuh peluh. Aku tak sanggup melihat itu, benar-benar tak sanggup!! Tapi, ada satu pertanyaan yang belum aku temukan jawabanya hingga kini, dan mungkin kau bisa membantuku untuk menjawabnya; “Kenapa setelah siksaan itu usai, Ibu yang tulus menyayangiku dilempar dengan banyak lembaran uang dengan kasar?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar