"Finally, sampai juga. Eh, bener kan ini pukul enam pagi? Masih gelap dan sepi amat? Katanya bakal ada Jakarta Fashion Week? Apa jangan-jangan, aku salah lihat jam? Oh... tidak!"
Jianna kebingungan saat mall tempat digelarnya acara fashion tahunan itu masih terlihat senyap. Berusaha menyingkirkan resah, gadis SMA dengan dress putih berujung balon tanpa lengan itu mantap melangkah menuju eskalator mall ke lantai tiga.
Harusnya sih sudah ramai dari subuh tadi. Semoga saja aku nggak salah tempat atau jamku yang malah error.
Ketika kakinya berhasil
tepat menapak di lantai tiga, Jianna seperti tersihir. Dari jauh ia penuh takjub menyaksikan stage
berkarpet legam berbentuk T letter
itu dikerumuni model-model jangkung yang sedang melakukan gladi bersih. Juga para panitia
JFW yang semuanya terlihat super hibuk untuk mempersiapkan acara. Kontras sekali dengan suasana mall yang masih gelap
dan belum siap untuk dibuka.
“Jianna?” sapa salah satu panitia mendekatinya tiba-tiba.
Sepertinya ia teman Maminya, karena langsung tahu namanya.
“Iya, Mbak. Saya Jianna,” jawabnya sambil
memamerkan senyum bidadari andalan—yang kata teman-teman sekolahnya, “Senyum
Mariana Renata saja lewat!”
“Oke, good,
kamu sudah datang tepat waktu. Ayo langsung ke tempatmu sekarang. Ikuti aku,
dan akan banyak tugas buatmu di belakang. C’mon
Dahling,” ajak Mbak-mbak modis dengan rambut terkucir kuda dengan nama
Fahranie di kalung panitia.
Ya
Tuhan... Aku nggak sabar berjalan anggun di stage itu... Bisik hati Jianna terlalu exciting
saat merasakan bagian dari para model yang berpakaian alakadarnya itu.
Meski melihat dari jauh, aura anggun bisa terpancar dari bahasa tubuh mereka.
“Jianna! Ayo!” panggil Fahranie yang ternyata
sudah lebih dulu satu depa dengannya. Malu. Ya, kata itu yang membuat pipi
Jianna bersemburat merah. Bisa-bisanya ia melamun di hari sibuk semacam ini.
Tanpa banyak berkata lagi, Jianna pun langsung
mengikuti Fahranie. Ia menguntit di belakangnya sambil berdecak kagum melihat
para model, panggung, dan aura ruangan yang tampak megah dan mewah.
“Je. Tugas kamu di sini ya. Di backstage—
“Apa, Mbak? Backstage?!”
potong Jianna terkejut. Ia ingin apa yang barusan dikatakan Fahranie hanyalah
halusinasi, tapi—sialnya itu nyata.
“Iya, Je. Nanti Irma bakal memberikan semua
tugas yang harus kamu lakukan. Tetap semangat ya. Karena acaranya sampai tengah
malam. O ya, jika ada konsumsi panitia datang, jangan lupa nanti ambil saja.
Tenaga kamu perlu diisi, jadi usahakan sarapan. Oke, aku cus dulu ya Je,” terang sahabat Maminya itu panjang lebar. Sebelum
menghilang, perempuan ramah dan baik itu lalu menengok ke arah Irma, cewek
tambun bermuka biasa saja dan berpenampilan apa adanya itu sambil berkata,
“Titip Jianna ya Irma. Dia itu anak sahabat gue. Kalau ada apa-apa awas!”
“Siap bos,” jawab Irma seketika sambil
tangannya masih saja bekerja, memilah-milah gaun yang akan ditampilkan sesuai
desainer juga waktu penampilan untuk hari ini.
“Nggak
salah nih, aku ditempatin di backstage?!” protes
pilu hati Jianna akhirnya meronta. Ia baru sadar ternyata tempatnya bukan di
panggung megah tadi. Ada kecewa yang membungkus wajahnya saat ia mengamati
tempat kerjanya kini.
Apa menariknya coba? Dan apa yang bisa
dibanggakan dari kerjaan ngurusin backstage?
Toh, ia hanya bertugas di balik layar, menjadi panitia yang sibuk mempersiapkan
peralatan dan—ah, pasti melayani para model yang bakal banyak maunya.
Padahal kan, ia sudah dandan super cantik untuk bisa menyaingi para model yang
terlibat acara tahunan ini. Sepertinya mubazir.
"Kalau gini doang, ngapain aku bela-belain
nggak masuk sekolah?" rutuknya penuh sesal. Yang paling membuatnya kesal
saat ia berangkat sekolah besok, rencana pamer kepada Blorong Charlot—rival-nya di sekolah, kalau ia eksis di
JFW bakal gagal total. Nggak keren banget
pamer-pamer sebagai babu backstage kayak gini!
“Hari pertama ini, adalah acara pembukaan dan
penampilan karya fashion delapan
desainer dalam balutan tema Heritage.
Show pertama akan ada desainer baru
yang mengangkat masa purba Indonesia di zaman perunggu zaman sejarah. Ingat,
jangan sampai kamu lupa siapa saja desainer yang ikutan. Sudah tahu kan?” tanya
Irma tegas. Seperti polisi sedang melakukan investigasi tersangka.
Jianna hanya menggeleng pasrah. Ia sungguh buta
dengan kehidupan modelling yang
menurut siswi SMA seperti dirinya adalah dunia astral.
“Astaga! Si Bos pilih pekerja part time kok bego gini si,” ceplos Irma
sungguh tak enak Jianna dengar. “Ingat. Nanti bakal ada Deny Wirawan, Oscar
Lawalata, Chossy Latu, Sebastian Gunawan, Stefanus Hamy, Raden Sirait, Priyo,
Ghea Panggabean, dan Dasmond.”
“Oke. A-aku ingat kok, Mbak. Tenang saja,”
jawab Jianna sambil tersenyum paksa. Mana mungkin ia ingat begitu banyak nama
yang asing di telinga. Iya, kalau itu peajaran sekolahnya. Ini? menyita jatah memori
otaknya saja.
“Kamu bohong kan?” tebak Irma santai sambil
berlalu dari Jianna yang kini dengan pipi memerah karena malu.
“Sial, ternyata dikerjain aku,” omelnya pelan
kerena Irma penuh kepuasan saat menuduhnya bohong. Oke, Jianna ralat. Bukan
menuduh, tapi bicara fakta dan itu menyebalkan.
Di hari pertama, jangan ditanya bagaimana
sibuknya Jianna. Ia seperti budak yang wira-wiri
ke sana ke mari karena banyak perintah yang harus dilakukan. Mulai dari
mengurusi persiapan pembukaan, sampai ikut membantu mengangkat gong yang oh-so-big itu dengan lima orang panitia
lainnya. Gila! Ia harus berusaha meletakkannya susah payah di panggung runway hanya untuk dipakai sekali and just one minute?! Tidak hanya cukup
itu saja penderitaannya, Jianna juga masih kebagian tugas harus menelpon
berkali-kali Pak Ahok untuk memastikan kedatangannya sebagai pembuka dan
pemukul gong raksasa itu.
Ia sih tahu persis kenapa sampai bekerja rodi
seperti itu. Ya, karena ia hanya pekerja part
time dan paling mungil yang punya muka disiksa-able.
Makanya dengan enteng panitia perlengkapan demen banget main perintah-perintah
saja. Ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau suara berat Irma sudah mulai
menyuruh-nyuruhnya, kecuali hanya bisa terpaksa tersenyum dan menjawab cepat
satu kata : Ya!
“Sekarang, pokoknya kamu harus layani para
model! Kalau mereka minta hansaplast, kasih dan pasangin. Minta kipas, walaupun
sudah ada AC, kasih. Atau minta dikipasin? Kipasin! Pokoknya para model yang
sedang make-up itu seperti ratu yang perlu dilayani. Paham, Je?” perintah Irma
kembali berdengung di telinga Jianna.
Tugasnya kali ini berada di ruang make up. Ia pun berjalan lesu, memasuki
ruangan yang tertutup dengan tulisan MAKE UP ROOM di depan pintunya.
Tuhan?!
Kapan siksaan ini akan berakhir??
Belum selesai ia menggerutu, salah satu wajah
yang sangat-sedang-tidak-ingin-dilihatnya,
seperti tiba-tiba ada di depan matanya. Ia yakin, pemilik tubuh jangkung itu
juga sama seperti dirinya. Kaget!
Mata tajamnya kini menatap Jianna seperti tidak
percaya. Wajahnya mencoba menyembunyikan keterkejutan, kalau korban bullyan-nya
di sekolah itu kini di depannya, di acara bergengsi para kaumnya.
“Dia tidak mungkin Jianna, bukan?! Mana bisa
dia ikut atau bahkan hanya sekadar mencium bau euforia acara untuk para model
ini?” bisik hati Charlot Devina masih tak percaya dengan apa yang sedang ia
lihat.
“Ngapain
lo di sini, gadis berkasta rendah, nggak pantes di sini!” maki Charlot dengan
ekspresi jijik. Seperti melihat mahluk
tak kasatmata, model remaja itu berujar tanpa melihat Jianna, teman satu
kelasnya.
Berdua dengan Charlot di ruang make-up, instruksi dari Irma tentang
tugasnya terngiang-ngiang lagi di benak Jianna. Mendadak tugasnya kini
terdengar 100 kali lebih mengerikan baginya. Bagaimana nggak horror, jika yang dilayaninya adalah
musuh bebuyutannya di sekolah, sang model antagonis Charlot Devina. Ah, dia
benar-benar malas jika si pembully itu membuat ulah lagi di sini dengannya.
Sudah cukup ia berperang di sekolah, masa di sini juga?
“Hei, aku di sini panitia, dan kamu di sini
model kan? Jelas, jalur kita berbeda, dan silakan duduk, karena waktu runway segera dimulai, dan kamu belum touch up sama sekali,” perintah ketus
Jianna yang langsung berhasil membuat Charlot ingat akan profesionalitas.
Jianna benar, show akan segera
dimulai, sedang dirinya belum prepare
sama sekali. Dengan sikap tak acuh,
model pendatang baru itu pergi mencari tempat duduk di ruang yang—sumpah! Bagi
Jianna lebih berisik dari pasar!
Jianna terus mengamati Charlot yang sepertinya
berjalan dengan tidak normal. Langkahnya somplak dan ada gurat menahan sakit
dikernyitan dahinya. Rasa penasaran sekaligus kasihan membludak di hati Jianna.
Oke, itu sama sekali tidak manusiawi mungkin, karena mengasihi orang yang
menyiksa dirinya sendiri. Tetapi kini Jianna benar-benar sedang bersimpati
dengan musuhnya. Semacam salut dengan perjuangan Charl. Miris saja, meskipun
berjalan dengan sempoyongan gitu, ia tetap paksakan untuk menggunakan high heels yang sepertinya terlalu kecil
untuk ukuran kakinya.
Kenapa
dia mau dan tidak bisa menolak rancangan desainer itu sih?
“Apa daya seorang model, Je? Semua baju, sepatu,
aksesoris, seberat beton atau besi pun akan tetap dia pakai kalau memang itu
desain dari desainer yang mempekerjakannya,” ucapan Maminya terdengar kembali,
seperti menjawab pertanyaan hati Jianna barusan.
“Jianaa!!!” teriak suara Charlot keras membuyarkan
lamunannya. Buru-buru ia mendekati Charlot.
Charlot sudah duduk di sofa rias, dengan make up artis yang sudah mulai merombak
wajahnya. Tapi dari balik cermin besar di depannya, Jianna bisa melihat mata
Charlot melotot ke arahnya yang baru datang dan mematung di belakang kursi rias.
Sambil tetap menatap Jianna dari cermin, telunjuk Charlot diarahkannya ke kaki
yang berdarah dan lecet akibat sepatu yang ukurannya tidak pas di runway sesi sebelumnya.
“Malah bengong! Sakit nih! Cepet kasih
antiseptik dan hansaplast! Bisa kerja nggak sih?” maki Charlot yang terlihat
meringis, menahan perih kakinya. Namun, ia sepertinya tidak bisa berbuat
apa-apa atu sekedar mengeluh, karena show
must goon, dan ia harus diam nurut jika tidak mau hasil make up di wajahnya itu tidak sempurna.
“Tu-tunggu. Aku akan lekas balik.”
Jianna pun langsung melangkah gesit di pojok
ruangan rias dan baju. Ia menapaki lorong yang kanan kirinya sudah tergantung
baju yang akan dipakai untuk show session ini. Rancangan karya desainer
baru Dasmond, yang menitikberatkan pada bahan logam dan benda-benda di zaman
perunggu itu membuat Jianna geleng-geleng kepala.
“Busyet!”
Jianna tidak habis pikir, jika para model harus
mau menggunakan desain yang mengerikan yang telah tertata rapi dan siap dipakai
itu.
“Jiannaaaa!!!”
Teriakan cempreng khas Blorong Charlot sudah
menggema lagi. Disusul teriakan-teriakan model lain yang semua hampir mirip.
Benar-benar sudah kayak pasar. Untung kotak obat lumayan besar itu sudah di
depan mata Jianna. Tinggal mengambil hansaplast yang sudah disediakan
berkotak-kotak banyaknya—karena mungkin kejadian lecet atau berdarah akibat
sepatu memang sudah biasa, Rivanol, juga kapas. Setelah komplit, segera ia menemui
Si Blorong di kursi riasnya kembali.
“Kelamaan!”
Belum sampai di depan Charlot, Jianna sudah
mendapatkan semprotan dari pembully yang walau sakit masih saja tetap galak dan
menyeramkan.
Tanpa menunggu disemprot lagi, Jianna pun
jongkok dan mulai membersihkan luka di kaki Charlot yang darahnya sudah mulai
mengering. Jianna melakukannya sangat pelan dan hati-hati. Telinganya sudah
cukup panas, jika masih harus mendengar bentakan Charlot lagi. Saat cairan
rivanol menyentuh luka Charlot, iaa melihat wajah Charlot yang menahan sakit.
Ya, teman satu sekolahnya itu terlihat tersiksa, karena tidak mungkin bergerak-gerak
saat mukanya mulai dihias dengan dandanan ala mahluk zaman purba itu. Hanya
napasnya yang mendesah dalam dan panjang.
Setelah luka Charlot terlihat bersih, Jianna
tutup luka di kaki bagian belakangnya dengan plester yang sudah diambil. Kini, ia
menatap iba ke arah pembully yang ternyata juga tidak mudah perjuangannya untuk
menjadi model profesiaonal.
Sadar, akan tatapan Jianna, Charlot langsung
mendelik marah. Ia mengangkat ke lima jarinya kepada sang pembuat gambar
akar-akar pohon dan ranting daun di pipi mulusnya itu sebagai kode, “Tolong
berhenti sebentar”.
“Ngapain
lo masih di depan gue! Pergi sana, muak gue lihat wajah lo,” bentak Charlot dan
langsung memberi kode kepada penggambar mukanya untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tanpa pikir lama lagi, Jianna pun menyingkir
dari Charlot. Ia lalu melayani model lain yang melambaikan tangan ke arahnya
karena belum bisa berteriak menyebu namanya. Mungkin model ini lebih
membutuhkannya daripada si Charlot Devina!
Show akhirnya segera dimulai. Semua
baju rancangan Dasmond yang sangat berat pun telah dipakai oleh semua model.
Jianna ikut membantu memasangkan karya seni bernilai tinggi itu ke tubuh para
model yang seperti tulang berbungkus kulit. Ia sangat hati-hati. Takut melukai
mahluk sempurna bernama model di depannya. Saat ia membantu memasangkan kalung
logam perunggu, tiba-tiba ia dikejutkan suara keras dari sebelahnya. Suara tubuh
ambruk yang diikuti gemercik lonceng logam di baju yang dipakainya itu saling
berhantaman dengan lantai ruang make-up.
“Astaga Charlot?! Kamu nggak apa-apa,” jerit
Jianna melihat tubuh Charlot yang sudah dalam posisi duduk di lantai. Dengan
susah payah ia menahan bobot tubuh Charlot yang naik drastis karena baju yang
dipakainya. Jianna dan panitia lain mencoba membantu Charlot untuk berdiri.
Sebenarnya Jianna sudah siap dengan dampratan
Charlot saat mencoba membantunya berdiri, tetapi kali ini gadis cantik itu
hanya diam. Memilih menahan sakit dan berat di tubuhnya daripada energinya
digunakan untuk mendamprat Jianna. Baju desainer Dasmond itu memang terlalu
banyak logam, hingga tubuh Charlot terasa tidak kuat menahan beban baju yang
dikenakan pada show kali ini.
“Nggak bisa minta izin dulu—
“Bego lo ya!?” potong Charlot sambil tertatih
dan tetap berdiri dengan menyemplangkan tangannya ke pundak Jianna. Ia butuh
sandaran untuk berdiri karena ketika akan naik ke panggung, ia tidak boleh
duduk dan harus sudah siap berbaris sesuai gilirannya tampil dan memamerkan
kelihaian catwalk dan busana Dasmond.
“Terus? Kaki kamu kan masih sakit, apa lagi
baju ini yang so—
“Jangan pernah berkomentar fashion jika tidak mengerti apa-apa tentang fashion! Lo harusnya tahu. Ini mimpi gue! Mimpi nyokap gue! Dan gue
nggak boleh lemah atau kalah hanya dengan luka lecet, atau perut yang kelaparan
karena nggak sempet makan. Gue akan lakukan apa saja untuk MIMPI gue ini!
Termasuk nendang lo dari sini, jika itu perlu!” kata Charlot dengan tatapan
tajam ke arah Jianna.
Ya, Jianna tentu saja tahu jika belum ada sedikit
pun nasi yang melewati kerongkongan Charlot. Seperti yang dilihatnya tadi,
beberapa model termasuk Charlot hanya makan
secuil ayamnya saja dari nasi box yang disediakan panitia. Itu pun sedikit.
“Diet ketat,” kata salah satu model yang Jianna
tanya ketika mereka terlihat tidak menyentuh hidangan dari panitia.
“Apa
semenyakitkan ini, untuk menjadi cantik?” tanya
batin Jianna ketika mengingat semua kebiasaan para mahluk sempurna bernama
model ini.
“Mang
masih berapa lama sih? Lo kan panitia?” bentak Charlot judes kepada Jianna yang
masih membantunya berdiri.
“Dua puluh menit lagi untuk putaran pertama,
dan itu masih—
“Stop!
Diam dan lo jangan pernah bergerak. Terus kayak gini. Satu menit saja sudah
seperti neraka!” potong Charlot cepat, ia malas mendengarkan penjelasan Jianna yang
akan membuatnya tahu jika ia masih harus tersiksa lebih lama lagi. Tak ada
kompromi bagi Charlot, mau tak mau ia harus bisa menahannya, demi mimpinya.
Jianna memandang model di sampingnya dengan
iba. Ia kini tahu, betapa berat pengorbanan dan perjuangan Charlot untuk meraih
mimpinya. Ia merasa kerdil, belum berani berbuat apa-apa untuk meraih mimpinya.
Jika, andai ia bisa bertukar posisi dengan Charlot, ia tak akan yakin bisa
menghadapinya.
Ya,Tuhan.
Aku belum kuat hidup sesakit ini..
“Buang muka menyedihkan dari wajah lo sekarang
JIANNA! Atau lo mau gue bully di sini juga, ha? Dasar siswa berkasta rendah! Menyedihkan
lo!”
###
#MenulisBarengAlumni
Tema : Sakit