Kamis, 19 Januari 2017

#KFWritingChallange - HISTERIS

Hari kedua : 3 Hal yang membuatmu histeris?

Histeris ...

Satu kata yang sekarang hanya lama kupandang dari layar. Serius. Hanya kupandang. Lekat. Tak bergerak, bersama aliran darah otak yang mungkin tersumbat.

Nggak ada ide ...

Tiga kata kemudian, yang terketik.

Jika pertanyaan itu diberikan kepadaku sekarang, itulah hasil tulisanku. Tapi, tunggu. Bukankah manusia dianugerahi sebuah kotak di lokus otak berupa kenangan? Mungkin, aku akan mencoba menjawabnya dengan sudut pandangku dulu. Aku yang dulu...

Sepertinya, histeris ini dulu sering kurasakan. Ya, akan tampak saat-saat aku berada di puncak syukur. Dan kabur ketika saat sedih yang sedih (bahasa apa ini). Bukannya aku jarang sedih, atau terluka. Tapi, entah, Allah menciptakanku ini, seperti mahluk yang pandai menghilangkan jejak luka sendiri. Tak perlulah orang tahu, apalagi harus histeris. Terserah orang bilang aku nggak punya perasaan atau apa (Saat Emak dan Bapak dipundhut Gusti) karena hanya diam. Bergeming. Mereka tak tahu bukan, betapa menangisnya jiwaku? Mungkin benar kata Teh Ghyna Amanda, kalau menulis adalah obat. Ah, sudahlah.

Dari itu, aku akan hanya menuliskan tiga kebahagiaanku, puncak syukur yang mungkin bagi sebagian orang sederhana.

Mendapat sepeda baru

Phoenix, nama sepeda merah itu. Aku sebenarnya malu, karena aku minta sepeda gunung. Tapi kok yang kudapat sepeda dengan keranjang bunga di depan. Tentu aku marah. Sangat marah. Aku malu harus menggunakan sepeda itu. Padahal rencana naik ke gunung kucing bersepeda sudah ada lama di benak. Jujur, aku tidak bersyukur hari itu, dan tetap memilih marah.

“Ibu yang memilih. Dia memikirkan anak-anaknya yang tak hanya satu. Tapi delapan. Kalau beli sepeda gunung, mana bisa buat boncengan?” kata-kata Bapak tentu dengan bahasa Jawa. “Keranjang di depan itu untuk mengangkut nasi dan ceret kalau ngirim bekal ke sawah. Ya, walau itu untuk hadiah juara kelasmu, tapi bukankah itu lebih bermanfaat, Le?”



Hari itu, mungkin Jumat, pertama kali aku belajar berbagi dan tak melulu memikirkan diri sendiri. Ah, akhirnya aku mau menerima juga. Tak masalah aku dibelikan sepeda phoenix, tak apa aku disorakin seangkatan teman-teman SD saat ke gunung kucing, yang penting ada senyum penuh terukir. Entah, aku juga tak tahu saraf apa yang membuat bibir ini tertarik sudutnya. Hanya hati ini rasanya sangat hangat, dan bahagia.

Dan di perjalanan panjang ke gunung kucing; aku teriak histeris!!!


Mendapat ikan pertama kali

Menjadi orang desa jika belum merasakan nguber empang buat mencari ikan, mancing ikan-ikan mini, atau ikut nyemplung dengan ingkrak demi menjebak ikan-ikan yang mabok, kupikir kurang lengkap. Terlepas omelan Emak yang akan murka melihat anaknya dengan baju kotor atau baju bau amis cacing dan comberan, aku bahagia.

Jujur, aku tak berbakat dalam tangkap menangkap ikan. Termasuk memancing, meski ini menangkapnya dengan alat dan tak perlu terjun langsung. Banyak teman bilang aku nggak hoki, sial, atau semacamnya. Sialnya, aku mempercayai setengahnya. Awalnya aku tak mengimani, tapi mulut-mulut mereka gencar mengucapkan itu saat memancing. Mungkin, alam bawah sadarku sedikit mengurung perkataan mereka, dan sisanya tabah tetap ingin membuktikan jika aku pun bisa.

Seperti biasa, minggu pagi aku akan memancing. Mencari dulu cacing-cacing yang tak gemuk, dan tak kurus, di bawah gilasan batang tumbang. Kadang, aku juga mencungkil tanah-tanah gembur untuk mendapatkan umpan berwarna merah-keunguan-pucat yang hobi menggeliat licin. Cukup satu cacing, pikirku. Aku tahu diri, melihat rekorku yang satu umpan pun kadang bisa basi di air saking lamanya. Lantas, kubagi cacing ini menjadi dua, kupatahkan kepalanya dulu tentu, baru kupasangkan di kail.

Ada yang sedikit berbeda dengan hari ini. Matahari cerah, Udara sejuk sedikit lembab. Sejatinya, ini juga karena aku yakin semua akan berubah. Ya, kepercayaan diriku seperti naik seiring matahari yang perlahan merangkak. Kuingat lagi kata-kata Bapak malam tadi, seirama dengan derap  langkah menuju kali.

Tepatnya, aku curhat tadi malam, tepatnya marah, karena prestasi memancingku yang payah.
“Le, sak iki siapa yang membuat ikan makan cacingmu itu?”
“Mana aku tahu tho Pak?”
“Allah.”
“Terus?”
“Ya minta tho Le sama Allah. Dengan doa. Dalam hati ...”
“Benar bakal enthuk, Pak?”
“Iyo benar. Kalau ikan itu rejekimu, Le.”

Ini pelik. Aku tak begitu paham caranya berdoa. Pun, bagaimana membaca ayat-ayat sakral. Tapi, aku percaya, bukankah Allah yang maha segalanya? Semua bahasa pasti juga bisa tho?

Dan saat aku meludahi umpan yang menggeliat dengan darah merah di bekas bacokan kailku, terbesit doa, teriring nada-nada permohonan dari hati. Iya, hari itu aku begitu pasrah. Benar-benar ingin diyakinkan, aku bisa. Aku sanggup.

Kulempar umpan yang diikuti gemulai senar bening ke kali. Kugerakkan gagang pancing pelan, berharap ikan-ikan tertarik dengan umpanku. Kemudian aku menunggu. Aku pasrah. Tentu dengan doa yang entah apa, kurapalkan. Aku tak peduli sekitar. Waktu seperti lesap bersmaku, kail, ikan-ikan, dan Tuhan. Saat jengah mulai membengkak, ketika titik menyerah sedikit tampak, kulihat senarku bergetar. Pelan. Tapi, tidak dengan gemuruh jantungku. Ya, aku gugup. Aku histeris. Lalu, getaran itu menguat. Keras. Menyendal-nyendal gagang. Senar tegang. Umpan lari tunggang langgang. Bersama gemuruh dada, syukur, doa, dan bahagia, kutarik senar ke samping. Sorak teman-teman bergema. Suara bahagia menyerbuku. Geliat ikan kocolan seperti turun surga. Ikan yang jarang di dapat semua pemancing di sini.

“KOCOLAN NDES!”



Yang ketiga, kusimpan saja ya, detailnya. Aku sudah kelelahan. Sangat tidak penting dan tolol, kalau dipikir ulang. Hahaha ...
Ini tentang Camen. Tentang kosan kami dulu satu kompleks. Dan tentang pikiran nggak logisku yang sangat percaya; bahwa tidak ada pertemuan terjadi, jika tak diizinkan sang pemilik jagat ini. Dan aku yang begitu naif, setiap jalan ke luar kos selalu berdoa. Persis seperti saat memancing dulu waktu kecil. Sama dengan apa yang dikatakan Bapak saat remaja. Bahwa jika diizinkan, kami akan bertatap. Tanpa sengaja, tanpa rencana.

Tapi, kini terdengar terasa menggelikan bukan?
Ya, bahkan kini aku sedang tertawa menuliskannya.


Salam hangat,
Sayfullan

*Percakapan yang sebenarnya menggunakan Bahasa Jawa ngoko. Dan ya, aku akui aku anak paling nggak sopan di Kampung. Makanya lebih nyaman pakai Bahasa Indonesia daripada ngoko.

Rabu, 18 Januari 2017

Kekasih Idaman #10HariTantanganMenulisKF

Hari pertama; kekasih idaman.

Sebenarnya, ingin sekali aku menuliskan cerita sejak duduk di SMA. Tapi, bakalan panjang banget. Biar kusimpan sajalah cerita putih abuku dalam benak, hati, juga lepi. Jadi, aku akan bercerita saat aku sudah (merasa) dewasa saja.

Teman-teman dan aku memanggilnya Camen, singkatan dari cacat mental. Gadis berjilbab besar ini memang terlalu kreatif dan banyak polah. Tidak heran jika kata camen bermetamorfosis menjadi nama tengahnya yang justru lebih hits dari nama aslinya.

Sungguh aneh, pun ajaib. Bisa dikata, Camen salah satu mahasiswi gaul dan supel, tapi jangan ditanya juga tentang hal agama, Fasih banget. Pokonya prinsip dia, “gaul boleh, asal syar’i.”

Nah, semua yang ada didirinya itu membuatku terpikat. Muka sih standar, manis, imut dengan pipi chubby, pokoknya tidak cantik-cantik amat. Tapi, jujur, aura yang terpancar darinya itu terbukti sukses membuat banyak cowok klepek-klepek.  Tak terkecuali aku.

Tapi lagi-lagi, prinsip agama yang dipegang Camen sangat kuat. Jangankan pacaran, sentuhan tangan sama cowok saja adalah larangan besar. Memang Camen selalu membuat tambah penasaran semua cowok seantero kampus. Walaupun sudah terang-terangan menolak yang namanya pacaran, tapi aku masih saja berusaha sekuat-kuatnya bisa mencuri hatinya. Misi demi misi pun kujalankan.

# Misi 1 : Masuk Rohis Kampus.
Keputusan ini sungguh terasa sangat berat buatku kala itu. Aku yang cablak dan cuek harus tiba-tiba menjadi ikhwan yang kalem, cool, dan confident. Hadueh, demi dekat dengannya, apapun deh akan kujalani. Termasuk aktif di Rohis Kampus yang tak pernah kubayangkan sekalipun dalam hidupku. Tapi, hidayah Allah sepertinya mampir dihatiku. Alhamdulillah, niatan itu dapat terluruskan. Tapi, benar-benar lurus gak ya? Hanya Allah yang tahu!

#Misi 2 : Belajar Basket.
Kata salah satu teman ceweknya, Camen suka dengan cowok yang jago main basket. “Alhamdulillah, dapat Clue juga!” batinku kegirangan. Sejak hari itu, setiap pagi habis subuh aku latihan basket sama teman anggota tim basket Jurusanku. Tak lupa aku juga masuk ke tim itu, dengan tanpa skill apapun.

Memalukan dan menjijikkan, mungkin kata itu yang pas buatku. Permainanku sungguh membuat semua perut penonton terkocok-kocok. Kayaknya ini memang niat Pelatih buat menghibur penonton. Aku sih sudah curiga dari awal, masak Pak Pelatih selalu mengeluarin aku di menit-menit terakhir. Memang aku harus terima jadi pemain cadangan. Tapi ini seolah kejahatan yang direncanakan, mematikan karakter orang namanya. Tetapi buat sang belahan hati, sekali lagi aku tak peduli!

#Misi 3 : Hangout walau bareng-bareng *ditulis yang paling berkesan saja yak.

Lokasi : Lawang Sewu Semarang
Nah, kejadian ini di awal kami kuliah, masih jadi mahasiswa baru. Kami berdelapan termasuk aku dan Camen, berniat mau jalan-jalan di Kota tempat kami menimba ilmu. Karena kami banyak yang perantauan, maka misteri Lawang Sewu yang sohor itu membius kami untuk menyusuri bangunan kuno itu.

Gedung Lawang Sewu saat itu belum di permak dan diperbaiki seperti sekarang. Terlihat seram banget. Dengan bantuan kakek juru kunci yang komat-kamit entah baca apa, kami pun masuk. Dengan komando juru kunci yang sesekali berteriak dengan bahasa jepang, kami serombongan menyusuri lorong-lorong gelap dengan hanya dua lilin di tangan.

Ruangan demi ruangan kami lewati. Semua merasa takut, hawa mistik memang menghipnotis siapa saja yang melangkahkan kaki di Bangunan Belanda ini. Kami ke lantai dasar, keluar dari gedung menyusuri lapangan yang ada di sisi-sisi bangunan. Pohon Besar berdiri kokoh di tengah lapangan membuat kami berpikir disitulah mahluk halus berkumpul. Tiba-tiba, kami dikejutkan oleh gonggongan anjing besar dan hitam. Anjing itu muncul dari balik pohon itu. Jantung kami berdetak, Nafas memburu. Mata Anjing menyala mencari mangsa. Dia siap mengejar. Kontan kami berlari.

Dalam ketakutan yang meruncing, kurasakan genggaman yang begitu erat mendarat di tanganku. Aku tak tahu siapa yang menggenggamku. Tangannya begitu lembut. Kami berlari bersama-sama dalam jemari yang tertaut. Aku tercekat, ternyata Camen yang memeluk punggung tanganku itu.

Oh Tuhan, bahagianya aku saat itu, sampai-sampai sungguh sulit untukku mencuci tangan ini. Andai tidak mandi bisa terhindar dari bau badan, sepertinya aku rela tak mandi satu tahun demi menjaga bekas sentuhan Akhwat yang tidak pernah disentuh lelaki bukan muhrimnya. “Kebetulan yang indah!”

Lokasi : Pantai Parang Tritis Yogyakarta
Tepat saat organisasi kami mengadakan studi banding ke Universitas ternama di Yogyakarta, kami mengakhiri acara dengan bersantai bersama di Parang Tritis. Kami sangat menikmati tiap moment di pantai inadah itu. Mulai dari foto-foto, hingga berguling-guling di ombak yang semakin petang semakin besar. Keeksotisan pantai ini menyihir kami hingga lupa bahwa tidak ada yang membawa baju ganti.

Setelah azan magrib berkumandang, barulah kami mengakhiri kegilaan ini. Dan teringat kami semua tak membawa ganti. Camen memang tidak sampai guling-guling, namun kulihat kaos kaki dan roknya basah karena terjilat ombak yang nakal. Aku mendekatinya, menawarkan membelikannya rok. Dia tampak tersipu, tapi akhirnya kata “mau” yang meluncur dari bibirnya. “Alhamdulillah, dia mau menerima pemberianku.”

Kami berjalan bertiga, aku, Camen, dan teman lain menuju toko-toko area pantai. Sumpah, dari toko ke toko tidak ada yang menjual rok muslimah, atau rok panjang normal. Yang ada Cuma rok pantai yang hanya tali sebagai pengikatnya. Mana mungkin Camen mau memakai rok yang kalau dipakai ini bisa terlihat jelas aurat pemakainya. Dia terlihat bingung. Ingin menolak tapi roknya benar-benar basah. Selain itu juga kasihan melihat mukaku yang penuh harap ini. Akhirnya, dia putuskan untuk memilih salah satu rok pantai ini. Dan “yess”, dia memutuskan pilihannya.

Dia berjalan dengan susah payah, Membungkuk dengan tangan kirinya berusaha menutup bukaan ujung-ujung rok yang tidak rapat menyatu satu sama lain. Aku benar-benar kasihan melihatnya. Dibantu oleh temannya dia berjalan bak putri solo sedang cidera punggung, pelan dan membungkuk. Meskipun, kasihan lamat-lamat ada sebongkah kebahagiaan yang tak ternilai dalam hatiku. “Dia mau menerima dan memakai pemberianku. Worth it, God!”

Lokasi : Posko KKN  Temanggung.
Sudah hampir lulus. Tapi, aku juga belum mendapat kepastian dari Miss. Camen membuat aku gundah. Tanpa rencana dan serba mendadak, termasuk pakai motor uzur grand yang langsung siangnya kuservice, aku lakukan perjalanan suci itu dari Tembalang ke Temanggung. Gerimis sore itu kuabaikan. Dengan semangat meminta kepastian, aku terus melaju dan sampai magrib dan menginap di posko salah satu teman. Rencana pencarian desa tempat Camen KKN kulanjutkan pagi-pagi esok.

Peta dari tuan rumah posko salah satu desa kukantongi. Tanpa lebih dulu memberitahu Camen, aku meluncur dengan motor uzur yang remnya aduhai jauh dari pakem. Tanjakan demin tanjakan kudaki dengan suara batuk grand tua ini. Tapi perjuangan itu membuahkan hasil. Ya, aku akhirnya bisa berdiri di posko tempatnya KKN.

Dia tampak kaget. Dan tersenyum. MashaAllah senyumnya. Seolah semua capek hilang seketika. Ya, aku merasa minum kacang ajaibnya sun gokong.
Kami memilih jalan-jalan di pematang sawah. Lebih banyak diam, daripada berujar. Dia tetap jaga pandangan, tapi aku tak bisa. Dan akhirnya keberanianku muncul. Ingin memastikan tepatnya. Apakah setelah lulus mendapat kerja aku boleh melamar? Kurang lebih seperti itu. Tak ada jawaban. Sebenarnya aku juga takut kalau ditolak langsung. Tapi hari itu tidak. Mata bingung atau entah apa yang sedang Camen pikirkan. Tapi justru aku bahagia. Seolah mendapat kesempatan. Harapan untuk cepat lulus, kerja, dan mengirim lamaran. Ah, memang indah ya, kalau sedang jatuh cinta.

Benar, setelah lulus aku menunggunya. Tapi bukankah jodoh adalah misteri. Banyak hal terjadi di antara kami. Hingga surat undangannya dia kirim saat aku di rumah sakit. Ya, selain surat undangan, dia juga membawa satu alquran besar dengan arti tiap katanya. Juga buku menulis yang dekat dengan Allah.

Dan sekarang kami sudah berada dalam ranah hidup masing-masing. Dulu, setelah lulus aku bekerja di Karawang, Jawa Barat, dan dia bekerja di Jakarta. Tapi, setiap habis bermunajat pikiran negatifku selalu berkata : I’m not her type. Dan doa yang membuat aku kembali berpikir; tak apa-apa, kalau jodoh kan juga tak kemana. Parahnya, sekarang aku malah lupa caranya berdoa. Hahaha
Thanks ya miss. Camen :)

Salam hangat,
Sayfullan

*Mungkin ada beberapa adegan di atas ada di novelku ketiga, Imaji Dua Sisi. Ya, karena adegan itu memang benar-benar terjadi.

**Kalau mau tahu wajah Camen, ini foto kloningan dia.


Kamis, 24 Desember 2015

Sabtu, Bunyi Siksaan Ibu

Aku baru mengenal nama-nama hari tak lama ini. Itu juga karena Ibu guruku yang mengajarkanku. Padahal aku berharap Ibuku sendiri yang mau mengajariku seperti teman-temanku yang lain. Ah, mungkin dia terlalu sibuk mencari kardus-kardus buat dijual. Jadi, tak apalah. Toh, kasih sayangnya juga kurasa tak pernah berkurang untukku.

Mengenal hari tak membuatku lebih bahagia, atau membuatku bangga,  malah sebaliknya, mengerti hari membuatku menderita. Entahlah, seperti ada kebencian yang menusuk sum-sum tulangku ketika hari Sabtu akan datang. Dulu, sebelum tahu nama-nama hari, aku tak pernah lelah untuk menghitung hari, menit, atau detik. Putaran waktu  tak begitu menyiksaku seperti ini. Hanya layaknya mendapat doorprize mengerikan dari kamar Ibu, jika hari Sabtu itu tiba. Sekarang waktu bagiku adalah mimpi buruk; menakutkan seakan pisau berkarat yang mengiris perih dagingku. Aku tidak mau dan peduli jika Sabtu akhirnya datang. Bila boleh, aku ingin Sabtu enyah selamanya dari nama hari!

Ya, seperti Sabtu-malam biasanya. Bunyi erangan Ibu terdengar parau lagi. Di balik kamar Ibu terdengar suara siksaan yang amat perih. Ingin sekali aku menolong Ibu yang melolong penuh peluh. Ingin aku menarik ibu dari himpitan tubuh kekar  yang  aku tak tahu itu siapa, dan selalu saja berubah rupa. Ya, Tuhan, aku melihat Ibuku tertindih, menahan beban tubuh lelaki kurang ajar itu. Ibu teriak kesakitan, dan terguncang oleh gerakan kasar tubuh lelaki itu. Ibu seperti  kehabisan napas. Tersengal.  Aku tak tega melihatnya. 

Sabtu malam adalah siksaan  buatku. Melihat Ibu kesakitan, merintih penuh peluh. Aku tak sanggup melihat itu, benar-benar tak sanggup!! Tapi, ada satu pertanyaan yang belum aku temukan jawabanya hingga kini, dan mungkin kau bisa membantuku untuk menjawabnya; “Kenapa setelah siksaan itu usai, Ibu yang tulus menyayangiku dilempar dengan banyak lembaran uang dengan kasar?”

Selasa, 01 Desember 2015

REUNI

Mendengar kata Reuni, banyak sekali pikiran yang keluar masuk ke otakku. Ya, takut, kangen, juga malu. Entah, rasa itu yang sepertinya membuatku hingga hari H-1 belum memutuskan untuk daftar ikut atau tidak. Jujur, sepuluh tahun bukan waktu yang cepat. Hitungan masa yang pasti akan mengubah anak kampus yang penuh idealis dan mimpi menjadi seseorang yang lebih dewasa dengan pelajaran  hidup masing-masing. Di titik itu, aku merasa debu. Tak memiliki apa-apa dan ya, tetap, menjadi seperti ini saja.

“Kebanyakan orang yang akan mati itu pasti menyesali hal-hal yang belum sempat ia lakukan saat ia mampu melakukannya dulu, bukan menyesali apa kesalahan yang sudah ia lakukan.”
Justru kasusku terasa terbalik dengan perkataan komting angkatanku. Ya, aku menyesali keduanya.

Membayangkan teman-temanku dulu yang cupu, introvert, minder dan nggak percaya diri, kini berubah wujud menjadi manusia berprestasi, bergelimpang harta, memiliki keluarga yang lengkap dan bahagia, aku sedikit berpikir mundur untuk ikut, berkaca dengan nasib diriku sendiri. Kau pasti sekarang bilang aku pecundang kan? Tak apa, itu sudah biasa. Lalu, kucoba untuk berpikir lagi. Jika kau bilang aku pecundang kenapa Allah memberikan cobaan ini? Kenapa Allah memilihku untuk menanggung ini? Bukan mereka?
Ah, kau takkan tahu rasanya ditusuk, berjalan dengan kaki nyeri karena tulang rapuh, naik bus berdiri berdesakan dengan penumpang lain hanya untuk bisa cuci darah, berebut kursi duduk saat setelah cuci darah karena kepala begitu pening dan lemas sangat? Ya, kau takkan pernah tahu, karena kau selalu pergi dengan mobil, kau selalu olah raga dan terlihat tampak sehat, kau pun tak pernah merasa kesepian karena telah berkeluarga. Aku terlihat mulai mengeluh dan membandingkan ya? Tapi, tak kuduga semua keluhan itu hilang saat aku bersama mereka ikut reuni!

Saiful Anwar. Orang bodoh yang tak ngerti apa itu risiko, yang berkata kasar sesuai perasaannya saat itu, yang rela melakukan semua cara untuk mendapat nilai A, yang sangat pintar menarik hati dosen dan asisten, yang selalu ingin tampil memukau, yang percaya diri dan lebih tepatnya tak tahu malu, yang selalu nekat ikut club olahraga meski nggak berbakat, yang ah... aku bercermin diriku dulu—sepuluh tahun yang lalu. Lantas, kenapa aku sekarang berubah seperti ini?

Melihat teman yang dulu sangat pemalu dan minder kini bisa bercerita bahagia dengan dada membusung percaya diri dengan semua yang dimilikinya, prestasi hidupnya, takdir keberuntungannya, entah kenapa hatiku malah merasa sejuk, nyaman, dan bahagia. Ia yang kadang mengeluh dengan fisiknya dulu kini kulihat dapat bersinar dan tersenyum senang, membuatku terharu. Bukankah Reuni adalah ajang untuk diri kita memperlihatkan hasil usaha keras kita?
Dan aku? Hei, ternyata aku bukan lemah. Apalagi orang yang putus asa! Lihatlah, aku hanya perlu proses lebih panjang lagi, aku masih tetap Saiful yang percaya diri dan selalu menjadi perhatian. Ya, meski aku sakit aku akan tetap berusaha!

Dan detik itu, aku percaya Allah memilihku untuk menghadapi ini karena aku kuat. Aku yang akan tetap bisa bersinar meski tanpa ginjalku. Aku tetap bisa sukses meski harus mengetik dengan laptop 10 tahun yang lalu, ngangkot dan ngebus setiap pergi kemana pun, atau berjalan kaki dengan telinga tersumpal musik; yang ternyata sangat bagus untuk kesehatan tulangku. Bayangkan, jika Allah memberikan cobaanku ini kepada yang lainnya? Ah, aku tak akan mungkin tega melihatnya. Biar, biarkan saja ia seperti ini. Biarkan teman-teman saya bersinar seperti sekarang. Aku tak semenyedihkan yang kalian kira, bukan? Tetap keren dan penuh percaya diri?

Terakhir, makasih ya teman-teman. Aku bahagia dengan pencapaian kalian dan memotivasiku untuk berjuang lebih keras lagi.

“Hei! Beruntung kalian sempat foto denganku, karena besok pasti akan menjadi lebih sulit!”
-Sayfullan-

Selasa, 20 Oktober 2015

Sang Pawang Hujan

Desa Sumbergede sudah seperti neraka. Terlalu panas untuk ukuran musim kemarau. Terik yang  begitu membakar kulit,  menyisakan sengatan yang teramat sakit. Belum lagi, kami harus rela berbaris untuk menunggu giliran menimba air di satu-satunya sumur yang masih keluar air.

Kemarau panjang ini memang cobaan buat kami, warga yang hanya bisa mengharapkan air dari langit. Desa miskin sungai, sebutan lain dari desaku. Nama desa yang juga sebuah doa dari para leluhur, sumber gede, sumber air yang besar, seperti tak ada pengaruh apa-apa. Nyatanya tiap musim ekstrim seperti ini, tak ada lagi panen, semua lahan kerontang terbakar habis oleh panas yang merong-rong hingga lapisan tanah terdalam. Gagal panen akan melemparkan warga Sumbergede ke kasta terndah. Tak ada panen berarti tak ada makan, pun tak ada uang. Kami juga harus bersiap lapar di batas musim ini. Padahal, sudah lama sekali paceklik seperti ini tak datang. Entah, apakah karena saat ini usiaku tepat 17 tahun, sehingga Tuhan memberikan cobaan ini?

Bukan bercanda, ini benar. Berumur tujuh belas tahun perempuan desa Sumbergede di musim paceklik seperti ini adalah kesialan. Meskipun, bagi warga ini justru sebaliknya sebuah anugerah. Tetap saja, aku tak sudi ikhlas dijadikan tumbal. Tepatnya, bukan tumbal, tapi semacam syarat untuk ritual mengundang hujan. Meskipun mereka mengagung-agungkan namaku sebagai pahlawan kampung. Rasanya tak setimpal. Aku malah merasa sebenarnya hanyalah korban. Ah, tapi aku terlalu lemah, tak sanggup membela diriku sendiri. Parahnya lagi, orang tua kandungku pun begitu khusyuk mengikuti ritual bodoh ini.

”Emak dan Bapakmu iki bangga, Nduk, anak gadis emak  terpilih dadi pahlawan desa.”

###

Prosesi pengiringanku ke seluruh penjuru desa sebagai syarat memanggil hujan telah usai. Dengan dandanan menor ala sinden, aku di bopong dengan kerenda dan diikuti oleh semua warga desa untuk berkeliling. Aku benar-benar mengutuk ritual minta hujan ini. Bukankah agama telah mengajarkan cara yang benar, dengan berdoa kepada sang Khalik dengan shalat? Bukan malah percaya dengan kata-kata Mbah Blendet itu.

"Ora opo-opo Nduk. Iki kan cuma syarat dari pawang to?" ucap Emak yang lebih terasa membujuk, sebelum pengiringanku berlangsung. Ya, Emak memang salah satu kubu pro Mbah Blendet, dari dulu.

Setelah diiring ke seluruh kampung, aku diturunkan dari keranda di depan rumah Mbah Blendet sang Pawang hujan desa. Gubuk reot kayu bambu dengan atap yang masih terbuat dari jerami ini terlihat sangat menyeramkan. Layaknya rumah-rumah dukun dengan seperangkat aksesorisnya, aura mistis berhasil membiusku seketika saat berhasil masuk di serambi rumah beralaskan tanah retak-retak.

"Ayo, suruh masuk! Tak resikkane jiwane! kata Mbah Blendet kepada salah satu warga. "Kalian kumpulah ke tanah lapang, enteni. Setelah ritual ini selesai, hujan akan membasuh Sumbergede sing kekeringan iki."

"Njih Mbah," serentak seluruh warga desa yang sudah putus asa menanti hujan tiba menjawab. Lalu mereka berbondong-bondong pergi. Meninggalkanku sendiri.

Pintu dari bambu apus yang telah kering tersusun tegak itu berbunyi ringkih saat tangan keriput dengan kesepuluh jarinya berakik menutup kembali. Kini, aku telah berada di rumah yang gelap dan pengap. Hanya lampu teplok yang sedikit memberikan cahaya remang-remang di rumah kecil minim perabot ini. Cuma ada kami berdua, mungkin beribu jin yang tak bisa kulihat juga berjubal di rumah angker ini.

Mbah Blendet mempersilakan aku untuk tidur di satu-satunya dipan yang usang dan berdebu. Di atasnya terpasang kain kelambu yang telah berlubang di ujung-ujungnya. Aku sedikit ragu, tapi pawang hujan yang telah bungkuk ini berhasil memaksaku dengan sorot matanya yang cuma tinggal satu.

Aku terlentang, memikirkan apa yang dulu dirasakan gadis-gadis lain sebelumku di rumah ini. Aku tak tahu ritual pembersihan itu apa. Hanya mengikuti semua ritualnya saja—meskipun dengan terpaksa, demi Emak dan Bapak. Pun, seluruh warga Sumbergede.

Ah....

Aku tersentak. Kaget. Tubuhku terbangun seketika saat jemari kasar Mbah Blenet menyentuh kulitku. Tentu saja, aku menggigil jijik, melihat tua bangka ini sudah  telanjang di depan dipan. Tanpa sehelai kainpun. Lalu, tanpa malu dia mencoba menindih lagi pahaku. Aku menghindar cepat. Akibat gerakanku yang tak diprediksi, dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjungkal di dipan.

Mbah Blendet bangkit penuh murka. Menyeringai, luber benci. Wajah rusaknya berhasil membuatku merinding.

“Wani-wanine kamu, Nduk! Ayo, buka bajumu sekarang! perintahnya dengan tangan yang ingin merengkuh kainku."

"Tidak Iblis!" kataku lantang.

"Perlawananmu  iki sia-sia! Warga Desa ini terlalu goblok untuk percaya padamu, gadis tumbal! Mereka percaya kepadaku. Blendet sang pawang!!!”

Entah kenapa aku begitu sangat marah mendengar perkataan kakek-kakek di depanku. Ketakutan yang menjalar di tubuhku tadi, seketika lenyap dan menguap tak bersisa. Imanku membaja, mendengus berahi lelaki uzur ini. Aku merasa keputusanku benar, selalu  menolak ritual ini. Ya, aku belum mau terlempar ke dalam dosa syirik yang dengan apik telah dirancang iblis berwujud manusia peyot ini.

"Aku tak takut! Aku punya Tuhan yang akan memberiku hujan! Bukan kamu!!"

“Mintalah sekarang kepada Tuhanmu itu! Coba, tunjukkan padaku!" katanya penuh ejekan.

Hatiku terasa terbakar, kesombongan manusia ini membuatku kalap. Dalam hati aku berdoa dengan penuh harap, memohon dengan segala kerendahan hatiku sebagai mahluk yang tak punya kuasa apa-apa terhadap semua takdir-Nya. Aku terus berdoa dalam hati, minta hujan hari ini.

"Mana? Mana? Mana hujannya?”

Aku kembali memohon dengan semua kepasrahan diri. Meminta dengan seindah-indahnya harap dan setulusnya permintaan.

Alhamdulillah, usahaku berbuah. Halilintar menyambar dengan gagah. Langit yang cerah mendadak pekat dirajut mendung rapat.

"Lihat! Hari ini akan hujan! Kau terlalu sombong, Mbah!" balasku ketus kini penuh senyum kemenangan.

Tak kusangka tawa Mbah Blendet malah terdengar keras. Wajah seramnya itu kini penuh hinaan, berucap lantang. "Kamu itu bodoh! Ya, bodoh. Semua gadis yang pernah disini semua bodoh!" tawanya kembali menggema. Kemudian dia mendekatiku. "Aku juga percaya pada Tuhanmu itu kok! Dan percaya hari ini juga akan turun hujan! Tapi, sayangnya warga kampung ini yakin kalau hujan itu dariku, bukan dari doa-doa kalian gadis tolol!”

Aku mematung, mencerna perkataan iblis bertopeng manusia ini. Ya Allah, pantas saja, ritual ini terus berjalan sampai sekarang. Ternyata doa gadis-gadis yang terdzalimi lah yang membuka langit untuk menurunkan hujan, air mata merekalah yang membuat tanah desa ini basah dengan rahmat Tuhan.

"Akan kuhentikan doaku segera?!"

“Tunggu... Tunggu. Yakin? Nak, kamu sanggup silakan. Sak iki aku takon, apa kamu tega menghancurkan kebahagiaan mereka yang kini sedang berbahagia karena mendung sudah terlihat? Apa kamu iyo kuat, melihat hujan membasahi tanah panas desamu ini, tak jadi? Kau berdoa buruk, sama saja menodai kebehagiaan mereka," ancam iblis ini benar-benar membuatku bimbang.

Ya, mana mungkin aku menarik kembali permohonanku kepada Tuhan? Mana mungkin aku merusak kebahagiaan warga sekarang?

"Kalau gitu, akan kudoakan kau mati sekarang juga, Mbah!"

"Tolol, umur manusia sudah ditulis dari sebelum lahir. Apa bisa diminta lewat doa?" jawab Mbah Blendet semakin merendahkan.

Ya Allah... tolong hamba-Mu ini...
Doaku menyerah dan hanya bisa menangis perih, kala terdengar teriakan seluruh warga menyambut tetesan air hujan sambil meneriakkan nama Mbah Blendet.

END

Jumat, 09 Oktober 2015

DINDING BERDARAH


Aku masih dalam suasana duka. Dimas—orang yang kucintai tragis hilang nyawa dalam kecelakaan motor dua hari lalu. Padahal, hari pernikahan kami akan segera ditentukan. Ah, kenapa takdir begitu kejam, mengambilnya setelah beribu panah jarak kami lewati dengan sabar. 
          “Kenapa kau tak begitu antusias Dim? Kau dua kali lipat pendiemnya tau. Karena planning nikah ini? Padahal di medsos, kamu tetap saja selalu jadi perayu ulung...” Kata-kataku terakhir saat menemuinya di Bandung kembali menyesakkan dada. 
           Ada sesal saat aku melontarkan kecurigaan kepadanya. Bukankah, wajar ia menjadi pendiam? Karena bagi calon imam dan pemimpin rumah tangga, menikah bukanlah hal yang sepele? Ah, harusnya waktu itu aku mengerti posisimu, Dim.
Kami berdua adalah pasangan LDR. Cinta kami tidak menganggap jarak sebagai rintangan. Meskipun ia berada di Bandung dan aku di Surabaya, namun kami selalu sanggup menunggu hari perjumpaan. Rasa saling percayalah yang selalu terikat rapi dalam hati, hingga kami dapat bertahan dengan hubungan ini.
Tapi sepertinya, semua terasa sia-sia. Pengorbananku, pengorbananya, bendungan rindu dan semua yang harus kami perjuangkan dulu, seakan menguap saat kabar kematian Dimas menghunus dada. Sekarang semua seakan terlambat bukan? Hanya mengais kenangan bersamanyalah yang sekarang bisa kulakukan. 
Dengan mata basah, kucoba mengarungi kembali kisah kami dalam akun sosoal media. Sepertinya dulu, kami tak pernah luput untuk ‘pamer’ ke dunia tentang hubungan mesra kami. Tentu, agar semua orang tahu, meski kami tak berada dalam satu kota, namun kami adalah pasangan yang saling terikat janji. Pun, agar orang yang ingin mendekati salah satu dari kami sadar, jika kami tak lagi sendiri.
Akhirnya, goresan kata-kata cintanya di dinding facebook kubaca lagi. Entah berapa kali kubuka tulisan-tulisannya ini? Ah, aku sendiri lupa untuk mengingatnya. Rindu. Ya, rasa rindu yang terus menghunjam ini yang membutakanku. 
Raya, kau tak akan pernah sendiri. Aku akan selalu menemanimu. Ya, sayang. Jangan pernah kesepian. Karena aku sangat tahu bagaimana sakitnya kesepian...
Dadaku nyeri. Sangat nyeri, membaca dinding Fb-ku. Mata tak sanggup menolak untuk kembali basah, mengenang semua memori yang terpatri dan tak akan pernah bisa pergi. Membaca satu demi satu tulisan dinding facebook, aku menangis, sakit, rindu, juga pilu. Hatiku terasa penuh. Entah, kenapa kata-katanya selalu sanggup membuatku merasa tak pernah sendiri. Di dinding ini aku kembali dapat merasa bersamanya. Mengulang cerita yang sama, di tanggal dan purnama yang telah tertera.
“Seperti inikah rasanya kehilangan?!!”
Ya Tuhan, andai saja aku tahu akan seperti ini, aku takkan memintanya pulang hari itu. Aku juga akan meredam rasa rinduku barang sehari atau dua hari saja, agar kecelakaan itu tak akan pernah terjadi dan merenggut nyawanya.
“Maafkan aku, Mas...”
###
Lamunanku bernostalgia dengan kenangan Dimas buyar saat notifikasi dari fb-ku menyembul angka. Dengan enggan, kubuka notifikasi itu. “Tidak mungkin!” kagetku saat akun Dimas muncul di urutan pertama notifikasi. Jelas, aku tercekat. Jantungku berdetak tak beraturan. Mention darinya mengisi dindingku. Aku tak percaya. Ini pasti pembajakan. Ia sudah meninggal!

Dimas @raya aku merindukanmu!

Entah siapa pelaku pembajakan akun Dimas, aku harus buat perhitungan! Dengan cepat jariku lalu memencet keyboard mengisi kolom komentar.

Kamu siapa?

Cepat, jawaban dari pembajak itu muncul. Dimas aku kekasihmu! @raya

Keringat dingin pun membanjiri keningku. Aku masih tidak percaya, malah ketakutan. Apakah mungkin semua ini darinya? Kenapa aku jadi berpikir seperti orang gila. Mana mungkin?

Oke, aku curiga ia benar-benar Dimas bukan tanpa alasan. Kabar meninggal Dimas memang kutahu dari adiknya yang aku sendiri belum kenal. Selama menjalin hubungan, Dimas bukan orang yang terbuka. Ia juga tak pernah mengenalkanku dengan keluarganya. Apalagi datang ke rumahnya? Pernah sekali, dan itu terlihat sepi. Aku juga tak dikenalkan oleh orang tuanya.
Lalu, hal mengganjal lain tentang penguburan. Bahkan saat datang ke rumahnya sesuai alamat yang ia beri dulu, aku pun tak menemukan prosesi pemakaman. Malah, penghuni lain yang aku temukan. Bukan keluarga Dimas dan tak tahu siapa itu Dimas?
Apa jangan-jangan ini salah satu permainanya untuk melamarku? Membiarkan aku khawatir dan nyaris gila seperti ini?
“Jika ini benar. Sungguh kejam kau Dim!”
Status demi status masih meluber mengisi penuh dinding fb-ku. Aku begitu penasaran dengan  semua tulisan yang menyerbu salah satu akun sosialku itu. Kata-katanya penuh rayuan. Persis seperti yang dilakukan Dimas. Aku mencoba membiarkannya. Tapi, dindingku semakin sesak parah oleh kata-kata indahnya.
“Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus hentikan permainanmu, Dim! Ya, Segera.”
###
Akhirnya, kami sepakat akan  bertemu malam ini di gedung sekolah SD-kami dulu saat di Surabaya.
Aku datang sendiri. Dengan hanya membawa hp dan dompet, kubulatkan tekat untuk menemui Dimas. Sekolah sangat sepi. Seperti SD biasanya. Mana mungkin malam-malam ada kegiatan seperti sekolah SMA yang banyak acara di malam hari. Ditambah, Surabaya habis diguyur hujan sore tadi. Jadi semakin senyap saja aura tempat ini.
Aku memasuki pintu kecil sekolah yang terbuka dan tak pernah terkunci. Kami para alumni tahu, jika gerbang kecil itu memang digunakan Pak Bon untuk keluar-masuk sekolah. Biar praktis nggak bongkar tarik dorong gerbang, katanya saat dulu aku tanya. Dan sampai sekarang pun, pintu rahasia itu tetap tak terkunci.
“Pak Bon tidak pernah berubah. Ah, sayang sepertinya ia sudah tidur,” akuku sedikit menyesalkan lampu rumah di pojok gedung sekolah yang sudah dimatikan.
Aku lantas menyusuri lorong antar kelas. Menunggu sosok yang mengisi dinding Fb-ku akhir-akhir ini. Jika memang ia Dimas, aku akan sangat senang dan bahagia. Karena itu adalah harapku.
Aku akan buat perhitungan dengan kejutanmu ini Dim!
Belum selesai aku melamunkannya, suara berat seorang laki-laki di depan mengagetkanku.
“Kau menepati janjimu, sayang!”
Aku tak begitu jelas melihat wajahnya. Gelap. Dan jarak kami lumayan jauh.
“Suaranya begitu mirip Dimas,” kata batinku.
Angin berembus membawa suasana basah sisa hujan tadi. Dinginnya berhasil menembus tulangku. Sepi dan senyap. Hanya suara jangkrik yang terdengar sangat riuh. Bulu romaku berdiri, menahan ketakutan yang lamat-lamat mengisi hati.
“Dimas?” tanyaku siaga. “Kau Dimas?” kali ini, aku ulangi bertanya dengan kata yang tergetar. Tak bisa kupungkiri lagi, ketakutan telah menjalar diseluruh tubuhku. Tubuhku bergidik sendiri penuh ngeri.
“Iya, sayang...” balasnya dengan tenang.
Lalu, ia mendekat. Langkah demi langkahnya seperti timer bom yang siap meledak. Jika ia benar Dimas, ingin sekali aku memeluknya. Tapi, ada ragu. Ketakutan yang aku sendiri tak tahu datang dari mana.
“Kesini sayang, peluk aku. Aku sangat merindukanmu,” kata-katanya seolah mampu menghipnotisku. 
Ya, telak. Aku tak peduli lagi ia setan atau bukan. Aku tak mau tahu ia mayat atau manusia hidup. Sekali lagi, aku tak peduli!! Buncahan rindu yang menggerakkan kakiku untuk melangkah. Mendekatinya. Memeluknya. Dan melepaskan rasa yang tersisa. 
Terima kasih Tuhan...
Tubuh kami bertautan erat. Tapi—
Tapi, aku merasa dingin. Bukan hangat yang selalu Dimas berikan di setiap pelukan. Ya, aku yakin ini bukan ia. Ini bukan pelukan Dimas. Ini orang lain!
“Lepas! Kau bukan Dimas!” teriakku tiba-tiba sambil memaksa melepaskan pelukannya. Sial, teriakanku ini dibalas oleh tawa keras menyeramkan.
"Kembalikan Hp Dimas!" teriakku lagi sambil mundur beberapa langkah. Mataku semakin terbelalak saat melihat wajahnya. Ia benar-benar Dimas. Apa mungkin ia punya saudara kembar? Dimas?! Kenapa kau berubah seperti ini?!
"HP? Ini milikku!" katanya sambil mendekatiku. “Dimas telah mati! Tak perlu kau mencarinya. Kini hanya ada aku dan kamu. Karena aku tak perlu lagi jiwa lemah seperti DIMAS!”
Ia menyeringai tersenyum penuh nafsu. Aku takut. Keringat membanjiri tubuh. Namun, kakiku terasa kaku, lidahku kelu. Aku ingin berlari, tapi ketakutan mengikat erat pijakan ini. Melihatku tak berdaya, ia semakin tertawa. Tertawa sangat keras layaknya monster. 
“Kau siapa sebenarnya?” tanya itu yang sedikit membuat aku mengulur waktu. Setidaknya langkahnya terhenti saat pertanyaanku menyerbu. Benar, ia berhenti dan tampak berpikir. Matanya menjadi sayu.
Tapi, buru-buru beringas menguasainya kembali.
“Aku SAMID. S-A-M-I-D! Dimas Sudah mati. Tubuh ini sekarang sepenuhnya milikku. Dan kau—
“Kau juga. Kau juga kini milikku. Ya, Kau!!! Hahahaha... Rumusnya adalah—
“Milik Dimas adalah milikku!!! Hahaha...”
Tidak. Mana mungkin—
Sebelum pria sakit ini menangkapku, aku mencoba berlari. Tanpa menengok lagi ke belakang. Ya, aku berlari dan terus berlari. Sambil berteriak aku berlari menuju pintu rahasia sekolah. Dengan keluar, saatu-satunya cara aku bebas.
Tapi, saat akan melangkah ke pintu sempit itu, tiba-tiba kakiku menghantam sesuatu yang keras. Sial, aku terjatuh.
Ingin aku berdiri, tapi terlambat! tangan lelaki itu sudah mengunci erat lenganku. Aku meronta. Tapi, sia-sia. Ia menarikku dalam dekapannya. Sangat kasar. Aku melawan, mencoba lepas, tapi semakin melawan ia semakin murka.  Ia melemparkanku hingga kutersungkur. Ia mendekat. Meninju perutku. Aku menjerit lirih, merasakan pukulan kerasnya diperutku. Ia belum berhenti. Ia kini menjambak rambutku, menariknya hingga beberapa rambutku tercabut dan berdarah. Wajahku sekarang yang ia incar. Dengan genggaman tangannya yang kuat ia meretakkan rahangku. Aku tak berdaya. Hanya sakit yang kurasakan. Darah menetes dari kulit kepala dan wajahku. Semua terasa perih.
Ya Tuhan... Tolong aku...
Ia malah begitu puas melihatku tak berdaya. 
###
Aku  terkapar di tanah lapang sekolah. Dari kejauhan kudengar sirine mendekat. Lelaki itu terlihat ketakutan. Ia bingung. Suara sirine rumah sakit itu seperti siksaan buatnya. Ia masih ketakutan. Menengok ke kanan ke kiri untuk menghindari sumber suara. Kemudian, ia berlari menjauh. Menghindari suara itu.
Aku masih tersungur di tanah basah sekolah. Melihat air hujan menjadi merah oleh darahku sendiri. Aku ingin berteriak minta tolong, dan berkata—
“Orang sakit itu masih di sini...”
Namun tenaga untuk menggetarkan pita suara ini terasa telah habis. Aku hanya mampu memandang dari sini, sebuah mobil rumah sakit jiwa yang  hanya lewat begitu saja...




Minggu, 27 September 2015

Cantik itu Sakit


"Finally, sampai juga. Eh, bener kan ini pukul enam pagi? Masih gelap dan sepi amat? Katanya bakal ada Jakarta Fashion Week? Apa jangan-jangan, aku salah lihat jam? Oh... tidak!"
          Jianna kebingungan saat mall tempat digelarnya acara fashion tahunan itu masih terlihat senyap. Berusaha menyingkirkan resah, gadis SMA dengan dress putih berujung balon tanpa lengan  itu mantap melangkah menuju eskalator mall ke lantai tiga.
        Harusnya sih sudah ramai dari subuh tadi. Semoga saja aku nggak salah tempat atau jamku yang malah error.
        Ketika kakinya berhasil tepat menapak di lantai tiga, Jianna seperti tersihir. Dari jauh ia penuh takjub menyaksikan  stage berkarpet legam berbentuk T letter itu dikerumuni model-model jangkung yang sedang melakukan gladi bersih. Juga para panitia JFW yang semuanya terlihat super hibuk untuk mempersiapkan acara. Kontras sekali dengan suasana mall yang masih gelap dan belum siap untuk dibuka.
“Jianna?” sapa salah satu panitia mendekatinya tiba-tiba. Sepertinya ia teman Maminya, karena langsung tahu namanya.
“Iya, Mbak. Saya Jianna,” jawabnya sambil memamerkan senyum bidadari andalan—yang kata teman-teman sekolahnya, “Senyum Mariana Renata saja lewat!”
“Oke, good, kamu sudah datang tepat waktu. Ayo langsung ke tempatmu sekarang. Ikuti aku, dan akan banyak tugas buatmu di belakang. C’mon Dahling,” ajak Mbak-mbak modis dengan rambut terkucir kuda dengan nama Fahranie di kalung panitia.
Ya Tuhan... Aku nggak sabar berjalan anggun di stage itu... Bisik hati Jianna terlalu exciting saat merasakan bagian dari para model yang berpakaian alakadarnya itu. Meski melihat dari jauh, aura anggun bisa terpancar dari bahasa tubuh mereka.
“Jianna! Ayo!” panggil Fahranie yang ternyata sudah lebih dulu satu depa dengannya. Malu. Ya, kata itu yang membuat pipi Jianna bersemburat merah. Bisa-bisanya ia melamun di hari sibuk semacam ini.
Tanpa banyak berkata lagi, Jianna pun langsung mengikuti Fahranie. Ia menguntit di belakangnya sambil berdecak kagum melihat para model, panggung, dan aura ruangan yang tampak megah dan mewah.
“Je. Tugas kamu di sini ya. Di backstage
“Apa, Mbak? Backstage?!” potong Jianna terkejut. Ia ingin apa yang barusan dikatakan Fahranie hanyalah halusinasi, tapi—sialnya itu nyata.
“Iya, Je. Nanti Irma bakal memberikan semua tugas yang harus kamu lakukan. Tetap semangat ya. Karena acaranya sampai tengah malam. O ya, jika ada konsumsi panitia datang, jangan lupa nanti ambil saja. Tenaga kamu perlu diisi, jadi usahakan sarapan. Oke, aku cus dulu ya Je,” terang sahabat Maminya itu panjang lebar. Sebelum menghilang, perempuan ramah dan baik itu lalu menengok ke arah Irma, cewek tambun bermuka biasa saja dan berpenampilan apa adanya itu sambil berkata, “Titip Jianna ya Irma. Dia itu anak sahabat gue. Kalau ada apa-apa awas!”
“Siap bos,” jawab Irma seketika sambil tangannya masih saja bekerja, memilah-milah gaun yang akan ditampilkan sesuai desainer juga waktu penampilan untuk hari ini.
“Nggak salah nih, aku ditempatin di backstage?!” protes pilu hati Jianna akhirnya meronta. Ia baru sadar ternyata tempatnya bukan di panggung megah tadi. Ada kecewa yang membungkus wajahnya saat ia mengamati tempat kerjanya kini.
Apa menariknya coba? Dan apa yang bisa dibanggakan dari kerjaan ngurusin backstage? Toh, ia hanya bertugas di balik layar, menjadi panitia yang sibuk mempersiapkan peralatan dan—ah, pasti melayani para model yang bakal banyak maunya. Padahal kan, ia sudah dandan super cantik untuk bisa menyaingi para model yang terlibat acara tahunan ini. Sepertinya mubazir.
"Kalau gini doang, ngapain aku bela-belain nggak masuk sekolah?" rutuknya penuh sesal. Yang paling membuatnya kesal saat ia berangkat sekolah besok, rencana pamer kepada Blorong Charlot—rival-nya di sekolah, kalau ia eksis di JFW bakal gagal total. Nggak keren banget pamer-pamer sebagai babu backstage kayak gini!
“Hari pertama ini, adalah acara pembukaan dan penampilan karya fashion delapan desainer dalam balutan tema Heritage. Show pertama akan ada desainer baru yang mengangkat masa purba Indonesia di zaman perunggu zaman sejarah. Ingat, jangan sampai kamu lupa siapa saja desainer yang ikutan. Sudah tahu kan?” tanya Irma tegas. Seperti polisi sedang melakukan investigasi tersangka.
Jianna hanya menggeleng pasrah. Ia sungguh buta dengan kehidupan modelling yang menurut siswi SMA seperti dirinya adalah dunia astral.
“Astaga! Si Bos pilih pekerja part time kok bego gini si,” ceplos Irma sungguh tak enak Jianna dengar. “Ingat. Nanti bakal ada Deny Wirawan, Oscar Lawalata, Chossy Latu, Sebastian Gunawan, Stefanus Hamy, Raden Sirait, Priyo, Ghea Panggabean, dan Dasmond.”
“Oke. A-aku ingat kok, Mbak. Tenang saja,” jawab Jianna sambil tersenyum paksa. Mana mungkin ia ingat begitu banyak nama yang asing di telinga. Iya, kalau itu peajaran sekolahnya. Ini? menyita jatah memori otaknya saja.
“Kamu bohong kan?” tebak Irma santai sambil berlalu dari Jianna yang kini dengan pipi memerah karena malu.
“Sial, ternyata dikerjain aku,” omelnya pelan kerena Irma penuh kepuasan saat menuduhnya bohong. Oke, Jianna ralat. Bukan menuduh, tapi bicara fakta dan itu menyebalkan.
###
Di hari pertama, jangan ditanya bagaimana sibuknya Jianna. Ia seperti budak yang wira-wiri ke sana ke mari karena banyak perintah yang harus dilakukan. Mulai dari mengurusi persiapan pembukaan, sampai ikut membantu mengangkat gong yang oh-so-big itu dengan lima orang panitia lainnya. Gila! Ia harus berusaha meletakkannya susah payah di panggung runway hanya untuk dipakai sekali and just one minute?! Tidak hanya cukup itu saja penderitaannya, Jianna juga masih kebagian tugas harus menelpon berkali-kali Pak Ahok untuk memastikan kedatangannya sebagai pembuka dan pemukul gong raksasa itu.
Ia sih tahu persis kenapa sampai bekerja rodi seperti itu. Ya, karena ia hanya pekerja part time dan paling mungil yang punya muka disiksa-able. Makanya dengan enteng panitia perlengkapan demen banget main perintah-perintah saja. Ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau suara berat Irma sudah mulai menyuruh-nyuruhnya, kecuali hanya bisa terpaksa tersenyum dan menjawab cepat satu kata :  Ya!
“Sekarang, pokoknya kamu harus layani para model! Kalau mereka minta hansaplast, kasih dan pasangin. Minta kipas, walaupun sudah ada AC, kasih. Atau minta dikipasin? Kipasin! Pokoknya para model yang sedang make-up itu seperti ratu yang perlu dilayani. Paham, Je?” perintah Irma kembali berdengung di telinga Jianna.
Tugasnya kali ini berada di ruang make up. Ia pun berjalan lesu, memasuki ruangan yang tertutup dengan tulisan MAKE UP ROOM di depan pintunya.
Tuhan?! Kapan siksaan ini akan berakhir??
Belum selesai ia menggerutu, salah satu wajah yang sangat-sedang-tidak-ingin-dilihatnya, seperti tiba-tiba ada di depan matanya. Ia yakin, pemilik tubuh jangkung itu juga sama seperti dirinya. Kaget!
Mata tajamnya kini menatap Jianna seperti tidak percaya. Wajahnya mencoba menyembunyikan keterkejutan, kalau korban bullyan-nya di sekolah itu kini di depannya, di acara bergengsi para kaumnya.
“Dia tidak mungkin Jianna, bukan?! Mana bisa dia ikut atau bahkan hanya sekadar mencium bau euforia acara untuk para model ini?” bisik hati Charlot Devina masih tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat.
 “Ngapain lo di sini, gadis berkasta rendah, nggak pantes di sini!” maki Charlot dengan ekspresi  jijik. Seperti melihat mahluk tak kasatmata, model remaja itu berujar tanpa melihat Jianna, teman satu kelasnya.
Berdua dengan Charlot di ruang make-up, instruksi dari Irma tentang tugasnya terngiang-ngiang lagi di benak Jianna. Mendadak tugasnya kini terdengar 100 kali lebih mengerikan baginya. Bagaimana nggak horror, jika yang dilayaninya adalah musuh bebuyutannya di sekolah, sang model antagonis Charlot Devina. Ah, dia benar-benar malas jika si pembully itu membuat ulah lagi di sini dengannya. Sudah cukup ia berperang di sekolah, masa di sini juga?
“Hei, aku di sini panitia, dan kamu di sini model kan? Jelas, jalur kita berbeda, dan silakan duduk, karena waktu runway segera dimulai, dan kamu belum touch up sama sekali,” perintah ketus Jianna yang langsung berhasil membuat Charlot ingat akan profesionalitas. Jianna benar, show akan segera dimulai, sedang dirinya belum prepare sama sekali.  Dengan sikap tak acuh, model pendatang baru itu pergi mencari tempat duduk di ruang yang—sumpah! Bagi Jianna lebih berisik dari pasar!
Jianna terus mengamati Charlot yang sepertinya berjalan dengan tidak normal. Langkahnya somplak dan ada gurat menahan sakit dikernyitan dahinya. Rasa penasaran sekaligus kasihan membludak di hati Jianna. Oke, itu sama sekali tidak manusiawi mungkin, karena mengasihi orang yang menyiksa dirinya sendiri. Tetapi kini Jianna benar-benar sedang bersimpati dengan musuhnya. Semacam salut dengan perjuangan Charl. Miris saja, meskipun berjalan dengan sempoyongan gitu, ia tetap paksakan untuk menggunakan high heels yang sepertinya terlalu kecil untuk ukuran kakinya.
Kenapa dia mau dan tidak bisa menolak rancangan desainer itu sih?
“Apa daya seorang model, Je? Semua baju, sepatu, aksesoris, seberat beton atau besi pun akan tetap dia pakai kalau memang itu desain dari desainer yang mempekerjakannya,” ucapan Maminya terdengar kembali, seperti menjawab pertanyaan hati Jianna barusan.
“Jianaa!!!” teriak suara Charlot keras membuyarkan lamunannya. Buru-buru ia mendekati Charlot.
Charlot sudah duduk di sofa rias, dengan make up artis yang sudah mulai merombak wajahnya. Tapi dari balik cermin besar di depannya, Jianna bisa melihat mata Charlot melotot ke arahnya yang baru datang dan mematung di belakang kursi rias. Sambil tetap menatap Jianna dari cermin, telunjuk Charlot diarahkannya ke kaki yang berdarah dan lecet akibat sepatu yang ukurannya tidak pas di runway sesi sebelumnya.
“Malah bengong! Sakit nih! Cepet kasih antiseptik dan hansaplast! Bisa kerja nggak sih?” maki Charlot yang terlihat meringis, menahan perih kakinya. Namun, ia sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa atu sekedar mengeluh, karena show must goon, dan ia harus diam nurut jika tidak mau hasil make up di wajahnya itu tidak sempurna.
“Tu-tunggu. Aku akan lekas balik.”
Jianna pun langsung melangkah gesit di pojok ruangan rias dan baju. Ia menapaki lorong yang kanan kirinya sudah tergantung baju yang akan dipakai untuk show session ini. Rancangan karya desainer baru Dasmond, yang menitikberatkan pada bahan logam dan benda-benda di zaman perunggu itu membuat Jianna geleng-geleng kepala.
“Busyet!”
Jianna tidak habis pikir, jika para model harus mau menggunakan desain yang mengerikan yang telah tertata rapi dan siap dipakai itu.
“Jiannaaaa!!!”
Teriakan cempreng khas Blorong Charlot sudah menggema lagi. Disusul teriakan-teriakan model lain yang semua hampir mirip. Benar-benar sudah kayak pasar. Untung kotak obat lumayan besar itu sudah di depan mata Jianna. Tinggal mengambil hansaplast yang sudah disediakan berkotak-kotak banyaknya—karena mungkin kejadian lecet atau berdarah akibat sepatu memang sudah biasa, Rivanol, juga kapas. Setelah komplit, segera ia menemui Si Blorong di kursi riasnya kembali.
“Kelamaan!”
Belum sampai di depan Charlot, Jianna sudah mendapatkan semprotan dari pembully yang walau sakit masih saja tetap galak dan menyeramkan.
Tanpa menunggu disemprot lagi, Jianna pun jongkok dan mulai membersihkan luka di kaki Charlot yang darahnya sudah mulai mengering. Jianna melakukannya sangat pelan dan hati-hati. Telinganya sudah cukup panas, jika masih harus mendengar bentakan Charlot lagi. Saat cairan rivanol menyentuh luka Charlot, iaa melihat wajah Charlot yang menahan sakit. Ya, teman satu sekolahnya itu terlihat tersiksa, karena tidak mungkin bergerak-gerak saat mukanya mulai dihias dengan dandanan ala mahluk zaman purba itu. Hanya napasnya yang mendesah dalam dan panjang.
Setelah luka Charlot terlihat bersih, Jianna tutup luka di kaki bagian belakangnya dengan plester yang sudah diambil. Kini, ia menatap iba ke arah pembully yang ternyata juga tidak mudah perjuangannya untuk menjadi model profesiaonal.
Sadar, akan tatapan Jianna, Charlot langsung mendelik marah. Ia mengangkat ke lima jarinya kepada sang pembuat gambar akar-akar pohon dan ranting daun di pipi mulusnya itu sebagai kode, “Tolong berhenti sebentar”.
 “Ngapain lo masih di depan gue! Pergi sana, muak gue lihat wajah lo,” bentak Charlot dan langsung memberi kode kepada penggambar mukanya untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tanpa pikir lama lagi, Jianna pun menyingkir dari Charlot. Ia lalu melayani model lain yang melambaikan tangan ke arahnya karena belum bisa berteriak menyebu namanya. Mungkin model ini lebih membutuhkannya daripada si Charlot Devina!
###
Show akhirnya segera dimulai. Semua baju rancangan Dasmond yang sangat berat pun telah dipakai oleh semua model. Jianna ikut membantu memasangkan karya seni bernilai tinggi itu ke tubuh para model yang seperti tulang berbungkus kulit. Ia sangat hati-hati. Takut melukai mahluk sempurna bernama model di depannya. Saat ia membantu memasangkan kalung logam perunggu, tiba-tiba ia dikejutkan suara keras dari sebelahnya. Suara tubuh ambruk yang diikuti gemercik lonceng logam di baju yang dipakainya itu saling berhantaman dengan lantai ruang make-up.
“Astaga Charlot?! Kamu nggak apa-apa,” jerit Jianna melihat tubuh Charlot yang sudah dalam posisi duduk di lantai. Dengan susah payah ia menahan bobot tubuh Charlot yang naik drastis karena baju yang dipakainya. Jianna dan panitia lain mencoba membantu Charlot untuk berdiri.
Sebenarnya Jianna sudah siap dengan dampratan Charlot saat mencoba membantunya berdiri, tetapi kali ini gadis cantik itu hanya diam. Memilih menahan sakit dan berat di tubuhnya daripada energinya digunakan untuk mendamprat Jianna. Baju desainer Dasmond itu memang terlalu banyak logam, hingga tubuh Charlot terasa tidak kuat menahan beban baju yang dikenakan pada show kali ini.
“Nggak bisa minta izin dulu—
“Bego lo ya!?” potong Charlot sambil tertatih dan tetap berdiri dengan menyemplangkan tangannya ke pundak Jianna. Ia butuh sandaran untuk berdiri karena ketika akan naik ke panggung, ia tidak boleh duduk dan harus sudah siap berbaris sesuai gilirannya tampil dan memamerkan kelihaian catwalk dan busana Dasmond.
“Terus? Kaki kamu kan masih sakit, apa lagi baju ini yang so
“Jangan pernah berkomentar fashion jika tidak mengerti apa-apa tentang fashion! Lo harusnya tahu. Ini mimpi gue! Mimpi nyokap gue! Dan gue nggak boleh lemah atau kalah hanya dengan luka lecet, atau perut yang kelaparan karena nggak sempet makan. Gue akan lakukan apa saja untuk MIMPI gue ini! Termasuk nendang lo dari sini, jika itu perlu!” kata Charlot dengan tatapan tajam ke arah Jianna.
Ya, Jianna tentu saja tahu jika belum ada sedikit pun nasi yang melewati kerongkongan Charlot. Seperti yang dilihatnya tadi, beberapa model termasuk Charlot  hanya makan secuil ayamnya saja dari nasi box yang disediakan panitia. Itu pun sedikit.
“Diet ketat,” kata salah satu model yang Jianna tanya ketika mereka terlihat tidak menyentuh hidangan dari panitia.
“Apa semenyakitkan ini, untuk menjadi cantik?” tanya batin Jianna ketika mengingat semua kebiasaan para mahluk sempurna bernama model ini.
 “Mang masih berapa lama sih? Lo kan panitia?” bentak Charlot judes kepada Jianna yang masih membantunya berdiri.
“Dua puluh menit lagi untuk putaran pertama, dan itu masih—
Stop! Diam dan lo jangan pernah bergerak. Terus kayak gini. Satu menit saja sudah seperti neraka!” potong Charlot cepat, ia malas mendengarkan penjelasan Jianna yang akan membuatnya tahu jika ia masih harus tersiksa lebih lama lagi. Tak ada kompromi bagi Charlot, mau tak mau ia harus bisa menahannya, demi mimpinya.
Jianna memandang model di sampingnya dengan iba. Ia kini tahu, betapa berat pengorbanan dan perjuangan Charlot untuk meraih mimpinya. Ia merasa kerdil, belum berani berbuat apa-apa untuk meraih mimpinya. Jika, andai ia bisa bertukar posisi dengan Charlot, ia tak akan yakin bisa menghadapinya.
Ya,Tuhan. Aku belum kuat hidup sesakit ini..
“Buang muka menyedihkan dari wajah lo sekarang JIANNA! Atau lo mau gue bully di sini juga, ha? Dasar siswa berkasta rendah! Menyedihkan lo!”
###

#MenulisBarengAlumni 
Tema : Sakit