Senin, 25 Maret 2013

Derita gue!



Niko
Gersang. Nah, itu yang sekarang menimpa kehidupan cinta gue. Bosan dengan segudang cewek cantik berbadan tinggi, ramping, dan berambut lurus sebahu. Kayak gak ada tipe cewek lain aja di dunia ini. Gue bener-bener sudah kayak muntah kalau pacar ke empat puluh tiga gue nanti juga cewek tipe itu-itu saja.
            Duuug! “Aw!! Woiii kalo passing yang bener dong! Kena kepala nih!” kata gue geram merasakan sakit hingga ke tengkorak paling dalam.
“Lo tuh, maen basket malah ngelamun! Baru jomblo satu jam saja galaunya dah tingkat kabupaten!”  kata si Kribo temen karib gue.
“Lo sengaja kan? Busyet dah! Bisa anemia nih gue!”
“Amnesia dodol! Ganteng-ganteng IQ lo jongkok ye!”
“Dari pade muka lo yang jongkok? Gue quit ah basketnya, ngantin aja yok!” ajak gue kepada si Kribo yang sedang caper tunjuk kebolehan tribble di depan cewek-cewek.
“Wah..gak seneng ya, lihat temen dilihatin banyak cewek!” kata si Kribo sok kegantengan. “Bagi-bagi fans dong! Jangan serakah!” katanya masih mainin bola basket di tangannya.
“Mereka tuh gak liatin lo. tapi gue. Denger G.U.E! ngarti!” protes gue sedikit teriak agar si kribo item itu bangun dari khayalannya. “Bodo ah! Kalo gak mau gue tinggal! Go to kantin dulu ya! Bye kribooooo!!” kata gue sambil lari keluar dari lapangan basket outdoor itu. Tak peduli ratusan mata cewek-cewek yang melongo melihat aura ketampanan gue.
“Woi!! Tunggu gue Nik!!” sayup-sayup gue denger suara si kribo yang sepertinya ikuti gue ke kantin.

Aropy
Oh my God, my Lord, my everything. Sudah hampir lima tahun tiga seperempat bulan aku menjomblo. Parah banget hidupku ini, mungkin jika diukur kadar karat dalam hatiku pasti sudah mengkarat parah, karena terlalu lama tak dihinggapi asmara. Kuakui, memang aku tak secantik cewek-cewek lain. Tapi, harusnya cowok-cowok juga kudu melek, buka mata. Kalo gak cuma fisik yahud yang jadi patokan buat cari pacar, tapi kecantikan hati juga kudu dipertimbangkan. Percuma punya pacar cantik, eh ternyata dia gak setia,  malah jago selingkuh lagi. Disaster khan? 
Paling aman buat dijadiin pacar, ya pilih aku! SEXY? Pasti! Lihat aja kakiku yang segede tongkat kasti, bodyku juga montok ala Tina Toon versi bayi, pokonya gak ada yang nandingi deh. CANTIK? Relatif! Yang pasti inner beuty-ku over 100% lah, apa lagi di tambah jidat seluas lapangan bola basket ini, makin aku terlihat perfect aja! SETIA? Nah ini yang paling membedaakan diriku dengan cewek lain. Aku bahkan sempat berjanji pada diri sendiri akan menjadi cewek tersetia se-jagad raya, dunia akhirat. Pokoknya gak akan pernah menyesal punya pacar kayak aku. Tapi, kok ya gak pernah ada cowok yang ngelirik. Memang lelaki zaman sekarang sudah pada tuna netra.
Bruuk!! “Ouuuh!” Lolonganku melambung sok seksi. Tubuhku sempoyongan tertabrak cowok tegap berbaju basket itu. Bisa ditabrak Niko, cowok terkece seantero sekolah, rasanya emang mak cetarrr banget. Apalagi bau keteknya yang wangi banget membuatku langsung mabuk. Tubuhnya yang atletis dengan singlet baju basket sukses buat aku sesak nafas. Tapi, tiba-tiba aku merasa mual, melihat monster item berambut kribo di sebelahnya itu marah-marah.
“Heh kalo jalan tuh jangan ngelamun! Dasar manusia planet Lo!”
“Sudah-sudah ah Bro! Gue juga salah kok!” kata Niko kepada monster kribo itu dengan bijaksana, mendengar pembelaannya aku semakin meleleh, lumer, di TKP. “Gue Niko, kamu?” tanyanya kemudian dengan lengan berotot menjulur minta kenalan. What? Ini beneran, pekik hatiku. Niko, mau kenalan sama cewek unik and limit edition kayak aku? Tanda-tanda kiamat ini! “Aku, Aropy.” Kataku dengan senyum yang super duper manis sambil menyambut uluran tangan Niko dengan antusias.
“Aropy? Aneh banget nama lo!” celetuk tiba-tiba monster kribo itu. Tapi, aku tetap cengengesan tak mempedulikan ocehannya, tetap fokus memandang wajah Niko. “Sorry, salamannya udah ya.” Kata Niko meringis dengan sedikit mengendurkan genggaman tangannya. Tapi aku masih belum sadar, mencoba menggenggam tangan halus itu lebih erat, sampai terlihat wajah Niko nyengir kesakitan. “Oh sorry!” kataku setelah tersadar dari delusi akut yang melanda jiwa.
“Karena gue dah nabrak lo, mau gak gue traktir? Temenin makan dong!” Kata Niko dengan nada semi memohon, membuatku melambung hingga ke planet pluto, planet terjauh. Dengan anggukan penuh nafsu aku mengiyakan ajakannya, tak peduli dengan monster kribo yang protes berat kepada Niko. “Oh...Lucky day!” kata batinku sambil cekikikan sendiri.

Niko
Kayaknya Tuhan telah mendengar doa gue. Cewek yang antik, unik, nyeleneh and no mainstream ada di depan mata gue. Jidat jenong, dikombinasi rambut poni ala kartun Dora membuat cewek ini langka dan perlu dipelihara. Biar gak punah! Apalagi, kakinya yang aduhai besar banget membuat pas dan cocok juga buat cewek merangkap bodyguard gue. Membayangkan Aropy, gue senyum-senyum sendiri. Apalagi membayangkan pacaran dengannya, membuat gue merasa semangat untuk bercinta lagi. Setelah melakukan pemikiran yang matang akhirnya gue nekat buat nembak Aropy. Dengan harapan hidup gue bakal gak membosankan dan semakin berwarna.
“Aropy, jujur buat gue tuh lo mahluk teraneh sedunia. Bahkan mungkin di akhirat juga.” Kata gue sambil menatapnya lembut, “Tapi, gak tahu kenapa hati gue memilih lo.”
Mendengar rayuan gue, si kribo malah tersedak sampai-sampai keluar bakso yang dikunyahnya. Begitu juga dengan Aropy malah muntah-muntah gak jelas. Melihat respon Aropy yang absurd itu gue langsung mendekatinya dengan tisu di tangan.
“Jadi kamu nembak aku nih ceritanya?” kata Aropy sambil membersihkan mulutnya yang dipenuhi bekas kunyahan bakso. “jorok banget cewek ini!” batin gue ngeri. Sempat rada bimbang buat nembak saat melihat kebiasaan buruknya itu, tapi lagi-lagi bayangan petualangan cinta yang asyik membuat gue keukeh nekat menjadikannya pacar.
“Iya Aropy! gue pengen lo jadi pacar gue!” kata gue sok meyakinkan.
Gue sungguh tak percaya melihat reaksi Aropy yang tak terdeteksi sebelumnya. Cewek ceria itu tiba-tiba teriak-teriak seperti tarzan di hutan, membuat semua orang di kantin memperhatikan kami. Dia terus woro-woro kalo dia sekarang adalah pacar gue. Dan siapa yang berani ganggu atau merebut gue bakal berhadapan langsung dengannya! Sontak semua murid di kantin berbondong-bondong ke arah meja kami, memberikan kata selamat atas jadian singkat siang itu. Pegelnya tangan gue nyalamin berjubel orang-orang yang heboh ngucapin selamat atas lembaran baru cinta gue dan gadis aneh bernama Aropy.

Aropy
Akhirnya Tuhan mendengar curhatanku selama ini. Dia telah mengirimkan seorang pangeran yang MasyaAllah tampannya. Niko, aku berjanji akan menjadi pacar sempurna kamu! Aku juga akan selalu membuatmu ceria sepanjang masa. Dan yang terpenting, aku tak akan pernah melepaskanmu, dengan alasan apapun. Dalih apapun. Setiaku akan berlaku seumur hidup, tak ada kata expired, apalagi mantan. Pokoknya kesetiaanku ini akan terus berlaku, cuma sang maut yang sanggup mencabut. 
Jujur, sebenarnnya aku sangat sakit saat tahu kalu dia hanya mempermainkan aku. Tapi, aku harus bersabar, karena aku yakin dapat mengubah tabiat buruknya itu. Beribu aksi dengan jurus-jurus andalannya terus dilancarkan. Tapi, tidak  ngefek sedikitpun buatku. Meski dia menggunakan segala cara untuk membuatku terluka, mulai dengan mendekati Nora, merayu Sela, menembak Lia, atau nonton bareng Friska! Semua sia-sia. Gak ngaruh. Karena frustasi dan putus asa, akhirnya kata putus keluar juga dari bibir indah itu. Sontak aku teriak “No! Sampai mati pun aku takkan mau diputusin”. Mendengar kata-kataku, dia tambah stress. Melihatnya menderita karena tingkahku, aku malah semakin bahagia. 
Kemudian jurus menghindar, ia lancarkan. Tak pernah kelihatan di kantin, lapangan basket, atau perpus. Dia juga men-stop sms, bbm, mention, dan whatsappku. Melihat aksinya, aku juga tak langsung kehabisan akal. Tanpa putus asa aku terus mengiriminya sms, bbm, mention twitter di hpnya. Mungkin sudah beratus, beribu, bahkan hampir berjuta smsku, mentionku, bbmku, memenuhi hpnya. Membuat mau tak mau dia angkat tangan dan kembali padaku. Kukatakan padanya, “Aku tuh cewek satia, Beb!”

Niko
Gue nyerah! Angkat tangan! Sterss menghadapi mahluk planet yang sialnya sekarang jadi pacar gue. Nyesel berat gak dengerin nasehat Kribo untuk tidak bermain api sama Aropy. Kata putus sudah berkali-kali gue ucapin tetap saja gagal. Gue coba sakiti hatinya berkali-kali dengan merayu banyak cewek di depannya, eh malah dia juga asyik ikut ngobrol bareng menjadi orang ketiga. Pernah aku menghindar dengan tidak sms, bbm, atau chat dia, eh berjubel-jubel pesan dari dia memenuhi inbox, timeline, dan semua social media di Hp gue. Parah, dia juga bilang kalo setianya bakal samapi mati. Masak gue harus bunuh diri dulu buat lepas dari kesetiaan mahluk aneh itu. “Oh God Help Me!!!” teriak gue keras-keras karena frustasi.

Sabtu, 23 Maret 2013

#2 Day is U

Senja kota Jakarta mengantarkan Dayu kembali ke dunia nyata. Menyudahi petualangan imajinasi yang menguras separuh tenaganya. Dengan berat ia bangkit, melemaskan otot-ototnya yang kaku. Tubuh semampai itu kemudian beranjak, melangkah mendekati jendela apartemen. Matanya lurus memandang ke luar, menikmati sisa-sisa mentari yang temaram. Melihat lukisan Tuhan itu, bibirnya tersenyum. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur, karena sore itu ia seperti mendapatkan semangat baru. Dia sudah lama menantikan momen ini. Sayang, kesempatan langka itu tak berlangsung lama. Lukisan yang tergelar itu seketika menguap, saat janji makan malam dengan Rama mencuat.

Perlahan kegelapan mulai menggerogoti senja. Bersiap melumat habis ibu kota. Lampu-lampu di sekitar apartemen Dayu mulai berpendar. Acak. Seperti laskar kunang melayang. Dayu selesai berbenah. Tidak ada yang spesial dari penampilannya malam itu. Dress casual berwarna merah dengan round neck berbahan renda membungkus apik tubuh tingginya. Lekukan pada pinggang rampingnya ditonjolkan dengan skinny belt hitam, membuatnya terlihat semakin sempurna. Karena ia sadar akan tingginya di atas rata-rata, dia memutuskan untuk memakai ballet flash shoes. Namun, satu alasan mutlak kenapa ia lebih suka dengan sepatu trepes itu adalah karena baginya sangat mahal harga sebuah ‘kenyamanan’. Dia tidak ingin makan malamnya rusak hanya karena kaki yang pegal oleh hak tinggi. Sangat sayang jika betisnya harus tersiksa semalaman hanya karena salah memilih sepatu.  

Semenjak menjadi wakil Pemred di majalah wanita, Dayu memang semakin mengikuti tren fashion terkini. Meskipun tidak sampai menjadi korban mode, namun secara tak sadar ia telah bermetamorfosis menjadi kaum fashionista. Baginya, bisa membuat setiap penampilannya selalu memukau khalayak adalah sunnah muakkad hukumnya.

Resto biasa. Malam biasa. Dan orang biasa. Nothing special!!  Gerutu Dayu dalam hati. Namun dia berusaha menjadi pasangan yang profesional, dapat menepati janji yang terlanjur ia ikrarkan meski setengah hati. 

Kenapa sih kamu begitu membosankan? Bikin males aja keluar sama kamu!  
Dengan lesu ia melangkah keluar kamar. Sambil berlalu, ia sedikit melirik kaca besar di dinding ruangan, memeriksa kembali apakah penanpilannya sudah benar-benar terlihat sempurna

Dayu tertegun ketika membuka pintu apartemen. Matanya tertuju pada bunga dan sebuah kotak merah yang berada tepat di bawah pintu. Dia mengambil bunga mawar putih yang hampir layu itu. Sejak kecil, mawar putih memang menjadi bunga kesukaannya. Dengan tergesa dan penuh tanda tanya, dia mencari nama pengirim paket romantis itu. Sia-sia, Dia tidak menemukan apapun dalam kotak ataupun bunga itu. Tapi, kemudian ia ingat, bahwa hanya Rama-lah satu-satunya orang yang tahu kalau ia sangat suka mawar putih. Mungkinkah kamu, Mas??

Tangannya langsung merogoh Hermes Birkin hitamnya, mencari handphone yang entah terselip dimana. Dengan gesit tangan putih itu terus mencari, mengobrak-abrik isi dalam tas branded itu. Tak sampai dua menit, akhirnya ia berhasil menggenggam hp yang sempat membuatnya emosi. telunjuknya langsung menyentuh phonebook dengan lincah. Memencet dengan sedikit tekanan ekstra pada nama Mas Rama.
            Hallo, mas, tadi ke rumah?”
            Lalu suara berat khas Rama terdengar, kata-katanya dulu selalu dapat menenangkan Dayu, “Iya, tadi mas ke apartemen kamu Yu!”
            “Grrr...Day, mas! Bukan Yuyu!” teriak Dayu cepat. “Kamu bawa bunga? Kok layu? Kenapa gak pencet bel? Niat ke rumah gak sih?” terocos Dayu tanpa bisa ngerem.
            “Sudah pencet bel Day. Tapi kayaknya kamu gak denger deh.”
            “Oh, aku kan tadi lagi nulis novel, biasa keasyikan!” kata Dayu tulus.
            “Malam ini jadi kan? Aku tunggu di tempat biasa Yu, eh Day?”
            “Dayu,Mass! bukan Yuyuuu!” teriak Dayu emosi.
            “Sorry..sorry.. Sampai ketemu yah D.A.Y.U...” 

Kata-kata “aku tunggu di tempat biasa” dari Rama berarti pria berbadan tegap itu telah sampai dan menunggu Dayu di Pendoro Kemang, sebuah restoran favorit mereka berdua. Restoran dekat apartemen Dayu itu masih tetap menjadi tempat nomor wahid setting kisah cinta mereka di Jakarta. Sampai kini pun, belum ada tempat lain yang sanggup menggeser posisi itu. Satu alasan yang membuat tempat di daerah Kemang itu menjadi favorit mereka adalah karena Pendoro Kemang menyajikan menu khas masakan Jawa. Tentunya lidah orang jawa akan langsung menggeliat jika melihat dan mencium aroma santapan khas daerahnya sendiri, tak terkecuali buat Dayu dan Rama. 

Selain masakannya yang pas di lidah, interior restoran Pendoro Kemang juga ditata dan dibangun persis seperti rumah-rumah joglo di kampung Jawa. Sensasi berasa makan di kampung sendiri juga yang membuat mereka betah berlama-lama di sana. Intensitas pertemuan yang tinggi di Pendoro Kemang, membuat cinta mereka seperti terikat oleh restoran itu. Meskipun, akhir-akhir ini Dayu tidak begitu antusias lagi jika akan pergi ke sana. Bukan karena resep makanan di restoran itu yang berubah, tetapi lebih karena ia bosan! Bosan pergi bersama Rama.

            Honda jazz Dayu meluncur dari basement apartemen menuju kawasan Kemang Selatan. Sebelum keluar dari area Kemang Village, ia harus melalui dulu bentangan hektar bangunan menjulang lain. Apartemen Dayu berada di tower ke tiga dari gerbang hunian itu. The Sunset Tower  menjadi pilihannya. Karena dari jendela apartemennya sekarang, dia bisa melihat pemandangan Jakarta yang luar biasa. Dan dari ruang kerjanya pula, ia bisa melihat komposisi keteraturan kota dengan langit senja sebagai latarnya. Perpaduan magis itulah yang membuat inspirasi menulisnya kian terkucur. Apalagi tower itu memang di desain khusus bagi para penikmat senja, seperti dirinya. 

Panorama terbenamnya mentari dalam semburat oranye langit Jakarta menjadi nilai tersendiri bagi para penghuni Sunset Tower. Keindahan itulah yang tak pernah ingin Dayu lewatkan setiap hari. Namun, ia harus rela melewati momen-momen berharga itu. Karena kesibukan kini telah menjarah waktunya. Lagian matahari juga tidak mungkin bisa ia ajak kompromi. Dayu kecewa, lagi-lagi  harus bergelut dengan kesibukannya  sebagai wanita karir.

Dari the Sunset Tower, perlu melewati dua tower lain di sebelahnya untuk bisa keluar dari kawasan Kemang Village. Tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya tiga puluh menit, mobil Dayu sudah berada di area parkir Pendoro Kemang. Setelah memarkir mobil merahnya, ia langsung membaur dengan para pengunjung. Tidak menjadi pemandangan yang aneh jika ada beberapa bule yang makan malam di restoran Jawa itu, maklum di area hunian yang Dayu tinggali banyak juga para expatriat. 

Langkah Dayu begitu mantap, tidak cepat dan tidak juga lambat. Setiap langkah yang dibuat kaki jenjangnya seolah memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Bak, the next top model di atas red carpet, dia berjalan dengan elegant. Ballet Flash shoes-nya berhenti di sebuah rumah joglo. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari wajah yang ia kenali. 

Di Pendoro Kemang, terdapat tiga bangunan rumah Joglo. Pengunjung akan langsung disambut dengan suasana khas Jawa saat memasuki area restoran itu. Dayu mencoba memasuki Joglo yang pertama, meskipun ia datang di malam hari, namun pohon-pohon yang tumbuh di Pendoro Kemang tidak lantas membuat tempat itu terasa angker, melainkan nyaman dan tenang.

Saat masuk ke dalam, Dayu langsung disambut dengan kursi-kursi kayu yang ditata teratur. Beberapa bingkai kayu, lukisan, dan ukiran kaca juga langsung menyapanya. Penerangan dalam Joglo itu sengaja dipasang remang-remang, agar terkesan hangat dan akrab. Yang ia sangat suka dari barang antik di sana adalah lampu tua yang terpasang di pojok tiap ruang di joglo. Lampu di zaman Belanda itu, mirip seperti lampu yang dimiliki Ayahnya di Semarang. Makanya, Dayu serasa makan di rumah sendiri jika sedang berada di joglo restoran itu.

Dari beberapa meja kayu di depannya itu, seorang pria melambaikan tangannya. Dayu tidak tersenyum atau cemberut. Raut muka tanpa ekspresi yang diperlihatkannya. Dengan menaikkan sedikit dagunya, ia berjalan menuju meja tempat Rama duduk.

“Malam ini kamu cantik Yu, eh Day!” sapa pria berambut belah pinggir ala 50s style vintage.
“Jadi aku cantiknya cuman malam ini?” celetuk Dayu sambil duduk dan menyilangkan kaki mulusnya.
“Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kok ketus terus.  Aku jadi bingung.”
“Sebelumnya sorry, mas. Jujur, tiap jalan bareng mas Rama, aku tuh merasa gak nyaman. Gak enak.”
“Kenapa Day? Oh... kamu malu jalan bareng aku, yang cuman penjual batu bata? Kamu tuh sekarang angkuh!”
“Angkuh? Maksud Mas Rama?” Dayu merapikan poni rambutnya dengan tangan kananya, “aku tuh cuman males aja tiap kali memulai obrolan, pasti ntar akhirnya debat bahas penampilan, pekerjaan, gaji, gaya hidup. Aku bosen, Mas!”
“Ini baru ngobrol aja, kamu sudah membahas itu! Kena virus apa sih kamu Yu?”

Dayu menghembuskan nafasnya dengan keras. Ingin sekali mengakhiri topik pembicaraan yang tidak pernah kunjung ada solusi bagi hubungan mereka. Namun, pesanan favoritnya telah datang. Pasti Rama yang memesankan untuknya. Nasi gurih bebek, adalah menu kesukaan Dayu. Nasi gurih seperti nasi uduk yang disajikan dengan bebek goreng berdaging lembut. Dilengkapi dengan kering tempe, kering kentang, dan urap. Urapnya terdiri dari sayur bayam, kol, wortel, dan tauge yang masih segar. Bagi Dayu yang paling istimewa dari menu ini selain bebek gorengnya yang sangat gurih dan beraroma jahe,  adalah sambal yang luar biasa pas di lidah. Aroma menu kesukaannya itu berhasil menghilangkan sedikit kekesalannya pada Rama.

Rama memang sudah hafal semua yang menjadi favorit Dayu, lima tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal kekasihnya. Namun akhir-akhir ini ia  merasa ada yang hilang darinya. Kesederhanaan, keluguan, dan senyum tulusnya seperti telah raib ditelan masa. Padahal, dulu dia sangat ramah dan baik kepada siapa saja, bahkan kepada hewan dan tumbuhan. Rama ingat betul, saat akan mencabut tanaman di depan kostnya dulu, ia sampai didiamkan selama tiga hari oleh Dayu. Katanya, “tumbuhan pun berhak untuk hidup seperti manusia, jadi jangan asal mencabut tanaman!” Dari sejak itu, Rama semakin kagum dengan kebaikan hati kekasihnya. Dari awal kuliah Rama memang sudah sangat mengenal Dayu. Namun sekarang, gadis di depan matanya itu seakan tidak dia kenali lagi. 

Ada apa denganmu Yu?

Rama melihat mata Dayu dengan tatapan hangat dan penuh cinta. Baginya Dayu adalah segala-galanya. Rama bahkan rela melepas nyawanya demi untuknya. Atau, menukar kebahagiaannya sendiri dengan kebahagiaan sang belahan hati. Dia sungguh mencintai Dayu dengan semua kelebihan dan kekurangnnya. Dayu yang cerewet, pekerja keras, dan selalu menginginkan yang terbaik untuk hidupnya. Namun, hati Rama terasa perih ketika pertanyaan yang selalu sama muncul dari dalam sanubarinya.

Aapakah aku belum menjadi pria yang terbaik untukmu, Yu?
“Mulai boring deh! Pasti ngelamun!” kata Dayu dengan tangan masih memegang sendok. Kebiasaannya untuk menggunakan tangan saat makan sudah lama ia tinggalkan.
“Bukan ngelamun, ngelihatin kamu makan Day!” tampik Rama
“Makasih yah Mas buat bunga dan kalungnya. Tadi kutemuin di depan pintu”
“Suka?” tanya Rama dengan senyum yang sangat hangat. 

Mata elangnya menembus mata Dayu, hingga sepersekian detik mereka terlempar dalam pusaran dimensi tanpa gravitasi. Dayu seakan melayang. Ringan. Namun, dia begitu lihai dalam mengendalikan dirinya, mencoba tidak merasakan sensasi apa-apa atas tatapan Rama. Tapi, kali ini sepertinya dia gagal. Dengan samar-samar hasrat ingin mencium pipi Rama menyusup dalam relung jiwa. Pria berhidung mancung  di depannya itu telah berhasil membuatnya lena. Takut pertahanan dirinya roboh, Dayu terus menghindar dari mata Rama. Tapi, kekasihnya itu tetap tidak mau melepaskan tatapannya. 

Tiba-tiba tubuh Dayu merinding kedinginan, tanda ia haus akan kehangatan tubuh Rama. Dada bidang dibalik dress shirt warna khaki yang Rama pakai membuat ia hampir hilang kendali. Dayu ingin sekali merasakan pelukan Rama. Namun harga diri dan keangkuhannya berhasil menahan hasrat alaminya itu. Dia hanya bisa menekan kuat-kuat pegangan sendoknya.
“Suka kok mas.” Katanya dengan lunglai karena menahan hasrat yang sudah di ubun-ubun.
“Tapi, kok ekspresinya sedih gitu?” Tanya Rama masih dengan suara lembut dan beratnya. 

Tangan Rama menggenggam jemari lentik Dayu. Genggamannya tidak terlalu erat, namun lembut dan hangat. Dayu merasakan aliran cinta kekasihnya, begitupula Rama yang ingin terus menyentuh kulit halus belahan jiwanya itu. Tidak peduli meski jantungnya berdetak hampir meledak. 

“Mas Rama, maaf atas sikapku selama ini. Jujur aku sendiri masih bingung dengan masa depan hubungan kita?” ucap Dayu terbata-bata.
“Bingung? Day, kita sudah lima tahun pacaran. Bukan waktu yang singkat!”
“Justru itu mas! Dengan waktu selama itu saja aku belum berhasil membuat Mas Rama sadar.”
“Sadar dari apa? Plis Day! Jangan membuatku bingung!” tangan mereka terlepas. Jemari mereka kini tak bertaut.
“Itulah kamu mas! Gak peka! Gak ngerti!” kata Dayu tegas, tangannya sesekali mengibaskan poni yang menjulur di keningnya. Pertanda dia sedang emosi.
“Dayu yang dulu adalah dayu yang bisa nerima aku apa adanya. Penampilanku, kekakuanku, dan semua keadaanku ini!”
“Itu duluuu, mas!”
“Dulu, kemarin, dan sekarang aku tetap cinta kamu apa adanya!” Potong Rama cepat.
“Tapi zaman terus berubah, sekarang sudah zaman traktor bukan kebo! Tapi mas Rama masih milih Kebo!?” ucap Dayu dengan nada tinggi dan mimik menghina.
“Jadi aku harus seperti apa? Ikut karaoke tiap weekend? Clubbing kalau sedang stress, bergaya ala model pria di majalah mens helath? Itu bukan aku Dayu!”
“Kamu tuh Gak Up to date banget sih Mas.”
“Apakah diwajibkan harus Up to date untuk mencintai seseorang?”
Please! Stop! Terserah, pikirin sendiri sebenarnya apa masalah kita! Baru kita ngomong lagi!”
Dayu beranjak dan merogoh tas hitam-nya, mengeluarkan dan meletakkan sekotak berisi kalung berbandul kaca berisi mutiara di meja. Tanpa berkata-kata lagi Dayu melangkah dengan tergesa keluar dari Joglo itu. 

“Dayuuuuu!! Tungguuu!! Dayuuu!!” 

Teriakan Rama tak digubrisnya, entah berapa kali Rama memanggilnya untuk kembali, Dayu tak ambil pusing dan tetap melaju dengan langkah yang semakin anggun dan percaya diri.

Melihat kekasihnya pergi, Rama mematung. Wedang jahe di depannya sudah tak mengepul, namun sekarang kepalanya yang serasa berasap. Hatinya hancur, tapi tidak melebur. Mata Rama begitu panas ketika seseorang pelayan menghampiri mejanya dengan kue tart di kedua tangannya. Kue kesukaan Dayu itu diletakkan lilin berbentuk angka 24. Rama hanya terdiam, ketika kejutannya itu gagal dan menjadi sembilu dalam hatinya. Luka itu menganga saat pelayan meletakkan kue di meja. Namun tetes-tetes air mata Rama tidak sempat jatuh, hanya menggantung di kelopak mata. Batinya berucap lirih.
Selamat ulang tahun Dayu...