Kamis, 19 Januari 2017

#KFWritingChallange - HISTERIS

Hari kedua : 3 Hal yang membuatmu histeris?

Histeris ...

Satu kata yang sekarang hanya lama kupandang dari layar. Serius. Hanya kupandang. Lekat. Tak bergerak, bersama aliran darah otak yang mungkin tersumbat.

Nggak ada ide ...

Tiga kata kemudian, yang terketik.

Jika pertanyaan itu diberikan kepadaku sekarang, itulah hasil tulisanku. Tapi, tunggu. Bukankah manusia dianugerahi sebuah kotak di lokus otak berupa kenangan? Mungkin, aku akan mencoba menjawabnya dengan sudut pandangku dulu. Aku yang dulu...

Sepertinya, histeris ini dulu sering kurasakan. Ya, akan tampak saat-saat aku berada di puncak syukur. Dan kabur ketika saat sedih yang sedih (bahasa apa ini). Bukannya aku jarang sedih, atau terluka. Tapi, entah, Allah menciptakanku ini, seperti mahluk yang pandai menghilangkan jejak luka sendiri. Tak perlulah orang tahu, apalagi harus histeris. Terserah orang bilang aku nggak punya perasaan atau apa (Saat Emak dan Bapak dipundhut Gusti) karena hanya diam. Bergeming. Mereka tak tahu bukan, betapa menangisnya jiwaku? Mungkin benar kata Teh Ghyna Amanda, kalau menulis adalah obat. Ah, sudahlah.

Dari itu, aku akan hanya menuliskan tiga kebahagiaanku, puncak syukur yang mungkin bagi sebagian orang sederhana.

Mendapat sepeda baru

Phoenix, nama sepeda merah itu. Aku sebenarnya malu, karena aku minta sepeda gunung. Tapi kok yang kudapat sepeda dengan keranjang bunga di depan. Tentu aku marah. Sangat marah. Aku malu harus menggunakan sepeda itu. Padahal rencana naik ke gunung kucing bersepeda sudah ada lama di benak. Jujur, aku tidak bersyukur hari itu, dan tetap memilih marah.

“Ibu yang memilih. Dia memikirkan anak-anaknya yang tak hanya satu. Tapi delapan. Kalau beli sepeda gunung, mana bisa buat boncengan?” kata-kata Bapak tentu dengan bahasa Jawa. “Keranjang di depan itu untuk mengangkut nasi dan ceret kalau ngirim bekal ke sawah. Ya, walau itu untuk hadiah juara kelasmu, tapi bukankah itu lebih bermanfaat, Le?”



Hari itu, mungkin Jumat, pertama kali aku belajar berbagi dan tak melulu memikirkan diri sendiri. Ah, akhirnya aku mau menerima juga. Tak masalah aku dibelikan sepeda phoenix, tak apa aku disorakin seangkatan teman-teman SD saat ke gunung kucing, yang penting ada senyum penuh terukir. Entah, aku juga tak tahu saraf apa yang membuat bibir ini tertarik sudutnya. Hanya hati ini rasanya sangat hangat, dan bahagia.

Dan di perjalanan panjang ke gunung kucing; aku teriak histeris!!!


Mendapat ikan pertama kali

Menjadi orang desa jika belum merasakan nguber empang buat mencari ikan, mancing ikan-ikan mini, atau ikut nyemplung dengan ingkrak demi menjebak ikan-ikan yang mabok, kupikir kurang lengkap. Terlepas omelan Emak yang akan murka melihat anaknya dengan baju kotor atau baju bau amis cacing dan comberan, aku bahagia.

Jujur, aku tak berbakat dalam tangkap menangkap ikan. Termasuk memancing, meski ini menangkapnya dengan alat dan tak perlu terjun langsung. Banyak teman bilang aku nggak hoki, sial, atau semacamnya. Sialnya, aku mempercayai setengahnya. Awalnya aku tak mengimani, tapi mulut-mulut mereka gencar mengucapkan itu saat memancing. Mungkin, alam bawah sadarku sedikit mengurung perkataan mereka, dan sisanya tabah tetap ingin membuktikan jika aku pun bisa.

Seperti biasa, minggu pagi aku akan memancing. Mencari dulu cacing-cacing yang tak gemuk, dan tak kurus, di bawah gilasan batang tumbang. Kadang, aku juga mencungkil tanah-tanah gembur untuk mendapatkan umpan berwarna merah-keunguan-pucat yang hobi menggeliat licin. Cukup satu cacing, pikirku. Aku tahu diri, melihat rekorku yang satu umpan pun kadang bisa basi di air saking lamanya. Lantas, kubagi cacing ini menjadi dua, kupatahkan kepalanya dulu tentu, baru kupasangkan di kail.

Ada yang sedikit berbeda dengan hari ini. Matahari cerah, Udara sejuk sedikit lembab. Sejatinya, ini juga karena aku yakin semua akan berubah. Ya, kepercayaan diriku seperti naik seiring matahari yang perlahan merangkak. Kuingat lagi kata-kata Bapak malam tadi, seirama dengan derap  langkah menuju kali.

Tepatnya, aku curhat tadi malam, tepatnya marah, karena prestasi memancingku yang payah.
“Le, sak iki siapa yang membuat ikan makan cacingmu itu?”
“Mana aku tahu tho Pak?”
“Allah.”
“Terus?”
“Ya minta tho Le sama Allah. Dengan doa. Dalam hati ...”
“Benar bakal enthuk, Pak?”
“Iyo benar. Kalau ikan itu rejekimu, Le.”

Ini pelik. Aku tak begitu paham caranya berdoa. Pun, bagaimana membaca ayat-ayat sakral. Tapi, aku percaya, bukankah Allah yang maha segalanya? Semua bahasa pasti juga bisa tho?

Dan saat aku meludahi umpan yang menggeliat dengan darah merah di bekas bacokan kailku, terbesit doa, teriring nada-nada permohonan dari hati. Iya, hari itu aku begitu pasrah. Benar-benar ingin diyakinkan, aku bisa. Aku sanggup.

Kulempar umpan yang diikuti gemulai senar bening ke kali. Kugerakkan gagang pancing pelan, berharap ikan-ikan tertarik dengan umpanku. Kemudian aku menunggu. Aku pasrah. Tentu dengan doa yang entah apa, kurapalkan. Aku tak peduli sekitar. Waktu seperti lesap bersmaku, kail, ikan-ikan, dan Tuhan. Saat jengah mulai membengkak, ketika titik menyerah sedikit tampak, kulihat senarku bergetar. Pelan. Tapi, tidak dengan gemuruh jantungku. Ya, aku gugup. Aku histeris. Lalu, getaran itu menguat. Keras. Menyendal-nyendal gagang. Senar tegang. Umpan lari tunggang langgang. Bersama gemuruh dada, syukur, doa, dan bahagia, kutarik senar ke samping. Sorak teman-teman bergema. Suara bahagia menyerbuku. Geliat ikan kocolan seperti turun surga. Ikan yang jarang di dapat semua pemancing di sini.

“KOCOLAN NDES!”



Yang ketiga, kusimpan saja ya, detailnya. Aku sudah kelelahan. Sangat tidak penting dan tolol, kalau dipikir ulang. Hahaha ...
Ini tentang Camen. Tentang kosan kami dulu satu kompleks. Dan tentang pikiran nggak logisku yang sangat percaya; bahwa tidak ada pertemuan terjadi, jika tak diizinkan sang pemilik jagat ini. Dan aku yang begitu naif, setiap jalan ke luar kos selalu berdoa. Persis seperti saat memancing dulu waktu kecil. Sama dengan apa yang dikatakan Bapak saat remaja. Bahwa jika diizinkan, kami akan bertatap. Tanpa sengaja, tanpa rencana.

Tapi, kini terdengar terasa menggelikan bukan?
Ya, bahkan kini aku sedang tertawa menuliskannya.


Salam hangat,
Sayfullan

*Percakapan yang sebenarnya menggunakan Bahasa Jawa ngoko. Dan ya, aku akui aku anak paling nggak sopan di Kampung. Makanya lebih nyaman pakai Bahasa Indonesia daripada ngoko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar