Minggu, 08 Juni 2014

Telur Dadar

Diikutkan dalam tantangan menulis #KampusFiksi

Aku teringat apa katamu saat menjelang kematianmu dulu, tentang sebuah filosofi telur. Masih jelas diingatanku suara serakmu berkata, jika telur pecah dari luar itu pertanda kematian, jika telur itu pecah dari dalam, itulah awal kehidupan. Aku mengerti, paham betul apa maksudmu. Bahwa motivasi terbesar ada dari dalam diri, bukan sebaliknya. Dan kamu ingin aku memiliki motivasi besar untuk bertahan hidup, bisa membesarkan benihmu dari rahimku, meskipun rintangan zaman dan penindasan kemiskinan tiada henti menindas hidup.

 Ah, filosofi itu mungkin tidak ada hubungannya dengan kematianmu, juga kematianku kini. Nyatanya aku tetap kalah dengan pertempuran dengan nasib, meski kamu tahu betapa besarnya motivasi dalam diriku untuk hidup, untuk bertahan demi membesarkan darah dagingmu?

Kini, aku dan kamu sama-sama tahu bahwa kematianku, pun tumbang nyawamu itu adalah salah satu dari miliaran potret penderitaan karena diperbudak bernama kemiskinan.

###

Dingin angin malam berhasil menembus dagingku yang tipis, menusuk-nusuk seperti jarum hingga ke sumsum tulang-tulangku. Musim kemarau memang membuat udara di malam hari menjadi sangat dingin. Keadaan semacam ini sudah biasa kualami, tapi tidak untuk malaikat kecil disampingku ini. Melihatnya meringkuk di sampingku, aku menangis getir, sambil merapikan kardus yang menutup tubuh kecilnya yang terus menggigil. Di belahan dunia ini, mungkin akulah Ibu yang paling berdosa, yang tak sanggup melindungi darah dagingnya sendiri dari hujan, terik, dan angin malam. Jangankan rumah, selimut tebal yang hangat  saja tak mampu kuberikan kepada anak semata wayang. Hanya  kardus-kardus usang inilah yang sanggup kuberikan.

Dengan lembut aku pun mulai membangunkan malaikat kecilku, sebelum teriakan pemilik toko emas yang menjadi tempat tidur kami ini terdengar menyanyat hati. Kami memang tidak tidur berpindah-pindah, emperan tokok emas Koh Acan di Pasar Senin inilah yang menjadi tempat tidur kami selama ini.

“Emak, aku lapar,” erang anakku sambil mengerjapkan matanya setelah bangun dari tidurnya yang tak pernah pulas.
“Iya sayang. Nanti kita makan pakai lauk telur dadar, tapi kita harus kerja dulu, mengumpulkan botol plastik dan kardus yang banyak,” jawabku dengan hati yang seperti teriris sembilu.
“Ah, itu kan kata Emak tiap pagi! Nyatanya, makannya sama tempe terus,” protesnya tidak percaya dengan mantra tiap pagi yang selalu kurapalkan untuk membakar semangatnya bekerja, memungut sampah plastik.
“Hari ini beda, spesial, sayang. Kita nanti benar-benar akan makan telur dadar,”
“Bener Mak? Asyiiiik! Ayo mak kita harus bekerja sekarang, biar bisa dapat botol banyak!” teriaknya penuh semangat.

Sebelum matahari terbit, kami telah meninggalkan emperan Toko Koh Acan untuk mengais sampah untuk mencari botol bekas. Satu botol bekas buat kami layaknya emas. Beribu-ribu Hamdallah akan terucap ketika kami berhasil mendapatkannya. Semua kami lakukan untuk dapat bertahan hidup, demi  sesuap nasi.

###

Matahari sudah semakin terik, namun belum mampu juga memenuhi karung kami berdua dengan harta, sampah plastik. Keringat mengucur deras tak bisa lagi kami hindari. Ditambah rasa lapar yang meraung-raung dari lambungku, membuatku lemas dan ingin tumbang. Tapi, jika itu terjadi, bagaimana dengaan nasib anakku? Tentu, aku tidak ingin mengecewakan  dia. Aku harus bisa bertahan, karena telah berjanji membelikannya lauk telur dadar yang belum pernah sekali pun di sentuh lidahnya.

“Mak, aku sudah nggak kuat,” rintihnya dengan dahi berlelehan keringat.
“Iya Nak, kamu sudahi saja. Memang sudah waktunya makan. Emak jual dulu ya hasil kita ini,” jawabku penuh senyum dengan sisa-sisa tenaga yang masih kupunya. Ah, aku tahu kini, bahwa untuk tersenyum saja ternyata butuh tenaga yang cukup besar.
“Aku tunggu di depan warung ya Mak,” jawabnya riang, seakan lupa dengan peluh yang menjalar di seluruh tubuhnya.
“Iya, Nak. Tunggu Emak di warung itu ya,” kataku sambil menunjuk sebuah warung tak jauh dari kaki kami yang ringkih berpijak.
“Siap Mak. Oh telur dadar, tunggu... Aku akan segera datang!!!” teriaknya sambil melompat-lompat kegirangan.

Menyaksikan kegembiraannya, aku hanya bisa diam tak bergerak. Dengan khusyuk kupandangi langkahnya yang menjauh, mendekati warung tegal itu dengan bahagia yang membuncah. Sepertinya dia begitu bahagia bisa melihat tumpukan telur dadar di depan warung yang hanya  dibatasi kaca transparan itu.
“Tunggu Emak ya, Nak,” bisikku pelan sambil bertolak menuju tempat pengumpulan dan penjualan sampah.

###

Aku berjalan dengan sekarung hasil keringat kami pagi ini, dengan langkah gontai aku menuju tempat penjualan sampah bekas. Jaraknya memang lumayan jauh. Rasa lapar yang mendera, membuat langkahku terasa berat. Apalagi terik matahari seperti membakar tubuhku tanpa ampun. Aku terseok. Sudah tiga hari  ini, memang tidak ada asupan hidrat arang dalam lambungku, karena hasil memulung kami hanya pas untuk sebungkus nasi. Kini aku benar-benar merasa lemah. Ya, Tuhan, ingin rasanya aku merebahkan tubuhku sebentar saja, tapi bayangan malaikat kecilku, seolah menamparku untuk bangun. Untuk tetap bertahan.

Setapak demi setapak kulangkahkan kakiku yang semakin berat. Peluhku berjatuhan. Jantungku pun memompa darah semakin cepat. Bibirku kering oleh sengatan udara panas. Hamdalah berdesir dalam hati saat tempat penjualan sampah sudah terlihat mata. Aku tersenyum, melihat bayangan anakku menari-nari melihat telur dadarnya. Tapi, tiba-tiba bayangan itu menghilang secepat kilat. Berganti gelap yang semakin mendekat. Aku berteriak tanpa suara. Kurasakan tubuhku tumbang, terjembab dalam. Aku merasa tak mampu lagi memopong tubuhku yang terasa lima kali lebih berat.

“Tidak. Aku harus bangun! Aku tak boleh berbaring! Ada yang menungguku! Tolong! Jangan biarkan aku tertidur! Jangan biarkan aku mati! Tuhan, ada anak kecil tak berdosa yang menanti kedatanganku! ini hari spesialnya!!! teriakku panik.

Tapi, tetap tak ada yang menjawab. Hening. Hanya gelap yang menebas habis bayangan malaikat kecilku. Menghapus senyumnya dari pandanganku. Kini, tidak ada jejaknya sedikitpun, hitam yang pekat.
Dan aku tersadar, ternyata tidak ada yang mendengar teriakanku, kecuali Tuhan dan diriku sendiri!
###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar