Jumat, 08 Mei 2015

MIRROR

Konon, jika dia benar-benar jodohmu, dia layaknya sebuah cermin besar untukmu. Pun dirimu, adalah cerminan maya bayangannya. Lantas, bagaimana mungkin akan ada satir dalam hati kalian, jika sesungguhnya kalian diciptakan satu. 

Satu per satu pelayat mulai melangkah menjauh dari gundukan tanah basah di pemakaman umum kecamatan kecil Sumurboto, di kota Tembalang ini. Desau angin seperti sengaja berputar-putar dalam ruang tempat berakhirnya syahwat, galian bumi yang memendam dosa nan sunyi. Dosa yang kata orang hanya Tuhan dan sang malaikat pencatat amal yang tahu. Ah, tentu saja termasuk sang pelaku.

Berdiri mematung seorang diri, aku mencoba mengulang masa-masa indah itu. Memori kebersamaanku dengan gadis periang yang sekarang telah hilang ini memohon untuk kukenang. Ghyna, begitulah aku menyebutkan namanya. Aku tak menyangka harus secepat ini berbesar hati dan rela, jika jantungnya telah berhenti berdetak tiba-tiba.

“Karena kadar potasium dalam darahnya melampui batas,” itulah yang dikatakan orang-orang di pemakaman tadi.

“Ingat, setelah kita terpisah dan punya orang tua angkat masing-masing, kita akan masih tetap sahabat?” tanya Ghyna kala itu ketika akan diadopsi dan keluar dari panti asuhan Kasih Welas di daerah Semarang atas.

Ya, Ghyna Amanda adalah satu-satunya orang yang dekat denganku. Setelah pelarianku sepuluh tahun malam itu, dengan keberaniannya, aku berhasil juga menemukan alamat yang Ghyna berikan. Panti asuhan di dekat kampus Undip itu akhirnya menerima anak-anak sepertiku. Tentu, Ghyna juga ikut dan selalu bersamaku. Gadis berbibir tipis dan bermata menyala itu seperti mengerti jiwaku, paham akan keinginan hatiku. Dia layaknya sebuah cermin besar yang jika aku menatap legam matanya, akan ada diriku di dalamnya. Dan jika keinginanku untuk memandanganya tak lagi terbendung, aku hanya cukup memandang wajahku sendiri di cermin. Maka secara ajaib, bayangannyalah yang memantul jelas. Ghyna juga seperti selalu tahu apa yang hatiku mau. Mungkin juga sebaliknya. Percaya atau tidak, kami berdua adalah bayangan dari sebuah Cermin!

Tak terasa bulir mata yang sejak tadi kutahan, jatuh sudah. Gravitasi seolah menariknya untuk menetes perlahan di bumi tempat peristirahatannya kini. Terkadang, bagiku sangat sulit menerima kepergiannya yang terlalu cepat. Otakku terus saja menyangkal, jika ternyata kemarin adalah pertemuanku terakhir dengannya. Padahal, pagi itu, dia masih sangat ceria bersamaku, menghabiskan waktunya demi menemaniku dan menerima tantanganku.

“Lagi?” tanyaku saat Ghyna mulai mengeluarkan handphone-nya di tas punggung Westpark hijau andalan pagi itu.

Dia tak sedikit pun menggubrisku. Dengan percaya diri, dia mulai melakukan aksinya. Dengan semua makanan yang kupesan, gadis imut di depanku ini bergaya di lensa kamera smartphone-nya. Dia selalu saja mengabadikan hari-harinya. Saat makan, jalan, belanja, atau hal-hal menyenangkan lainnya. Tapi, ada satu syarat; aku tidak mau ikut berfoto. Yeah, begitulah diriku seperti mempunyai penyakit alergi kamera. Sedang, bagi Ghyna foto layaknya sebuah buku diary, yang setiap hari selau dia ambil dan simpan sekadar hanya untuk dikenang atau menjadi bahan inspirasi kisah-kisah novelnya.

 “Hei, tidak ada yang salah dengan selfie kali. Like a diary! Mereka juga akan memberi catatan untuk hidup kita. A moment!” pasalnya masih pasang wajah manis ala model-model remaja gagal casting.

“Tapi, itu semua palsu—“

“Maksud kamu?” potongnya segera. Seperti protes tidak setuju dengan  pendapatku. Tangannya lalu menghentikan kegiatan memencet layar samsung note-nya, dan kini wajah manis di depanku ini fokus menatap wajahku. Berusaha, menggali keterangan atau pertanggungjawaban atas ucapanku.
Sial! Dengan tatapan seperti itu, kenapa jantungku ikut berjoget tidak jelas. Ini pasti sebuah konspirasi. Dan jika konsep mirror yang dari dulu kuyakini itu benar, mungkin jantungnya kini juga berdetak tak keruan sepertiku, kalau aku nekat membalas tatapan intimnya.

“Yeah, hasil foto-foto yang kamu ambil kan sepertinya saat sedang bahagia saja. Padahal, yang namanya hidup itu tidak hanya soal bahagia. Adakalanya, pasti kita menangis, kesakitan, dan yeah, pertanyaanku adalah... Memang pernah kamu mengabadikan protetmu saat keadaan seperti itu? Dan aku berani bertaruh, pasti jawabanmu—

“IYA,” jawabnya tegas. “Aku juga selfie kok, saat proses cuci darahku dimulai. Bahkan dari hari pertama aku divonis gagal ginjal, drop berulang-ulang, sesak napas karena potasium dalam darahku membuncah, atau harus memakai bantuan nasal oksigen karena paru-paruku terendam cairan, hingga kini pun, aku masih mempunyai rekaman foto-foto itu. Aku paham, dengan apa yang kamu maksud. Dan aku mengerti apa yang ingin kau sampaikan,” Ghyna menjelaskan dengan penuh emosi alasan kenapa dia begitu menyukai selfie.

Ah, aku tak menyangka, ternyata kami berdua memiliki satu pikiran, bahwa bukan hanya bahagia yang perlu diabadikan, namun juga luka-luka masa lalu yang menyesaki memori hati. Kenangan pahit hanya perlu diabadikan, lalu disimpan dalam potret diri, untuk melegakan dan pelajaran di masa depan. Dan di hari terakhir itu, aku semkain percaya diri untuk mengimani bahwa Ghyna adalah cerminan diriku.

###

Kamar kos yang terasa gelap kini seakan ikut sekarat. Ruh kehidupan yang selalu Ghyna bawa seolah memudar. Raib tersedot takdir yang menurutku kejam. Namun, senyumnya, ucapannya, perangainya, seolah selalu abadi dalm hati. Dan memutar kembali kenangan bersamanya lewat foto-foto pribadinya mungkin mujarab untuk rindu yang terlewat kejam ini.

Baru kali pertama ini kucoba memberanikan diri untuk membuka akun kumpulan foto online pribadi Ghyna. Seperti ada dorongan jiwa yang sangat kuat untukku melihat wajahnya kembali. Kulit putihnya begitu mirip dengan kulit Ibu, Mata yang menyala garang tak lepas dari iris dan kornea Ayah, dan bibir tipis kombinasi keduanya, semua membayang membuncah, luber, dalam kotak bernama kerinduan.

Ada sesak yang menjalar dalam dada, ketika mengingat foto terakhir yang dia abadikan. Foto ketika kami berdua makan bersama di salah satu restoran kampusnya. Hari itulah, aku yang mentraktirnya. Menantangnya akan memakan semua yang kupesan. Dan benar, dia berhasil. Seperti keyakinanku, dia selau saja bisa menjawab tantanganku, perintah hatiku.

Namun, esok paginya, kabar bahwa di telah meregang nyawa membuatku kejut. Aku gontai. Menanyakan takdir, kenapa aku masih bisa menghirup udara, jika nyawa dan napasnya tak lagi bersisa? Jika kami adalah sepasang insan. Ini sudah bukan teori refleksi lagi. Ini teori yang salah. Dia harusnya masih hidup! Karena aku adalah cerminnya. Aku adalah dirinya!
Atas nama rindu yang gebu, kusentuh dengan perlahan dan hati-hati akun bernama Ghyna. Detik tiap detik terasa berjalan sangat lambat, aku seolah menghitung mundur bom waktu rindu. Kutahan napas. Tubuhku mulai menegang, rasanya ingin cepat-cepat rindu ini hengkang.

Dan saat kumpulan foto itu berhasil terbuka, aku mematung. Tubuhku seperti terlempar dalam jurang lubang hitam. Kepalaku seperti tertusuk-tusuk jarum siksaan.

“Tidak! Ini tidak mungkin!”

Seluruh tubuhku kini bergetar hebat. Kejang. Aku limbung dalam gelombang kenyataan. Dengan tergesa kuraba seluruh tubuhku, tanganku, wajahku—
“Ya Tuhan! Jika semua foto Ghyna ternyata adalah diriku sendiri, itu berarti—“

Suaraku getir. Tak sanggup lagi untuk meneruskannya. Karena aku sadar, aku kini telah lenyap, hilang dari peradaban bernama kehidupan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar