Selasa, 28 April 2015

Catatan Usang Sang Pemerhati




Setiap dalam keramaian selalu ada yang berperang dalam diri saya, dalam hati saya. Semacam ada dua sisi jiwa saya yang saling berebut mencari pengaruhnya. Petama, saya yang begitu ingin higar, bingar, dalam sebuah perkumpulan. Namun, saya juga tak menampik jika jiwa lain saya ikut berontak. Dia yang pemalu, yang inferior, yang selalu ingin kesunyian, juga  kesendirian, ingin mendapat tempatnya.

Kala di titik itulah, diri saya yang terlalu peka masuk ke dalam keadaan yang sulit, antara ingin bertemu dengan orang-orang yang selalu terlihat tenang, atau ikut berhura-hura dengan kumpulan para penggembira. Terdengar sepele memang, tapi itu tidak berlaku untuk saya yang selalu bermimpi ingin bisa merangkul semua. Tapi apa daya. Mereka bagai dua kutub. Dan tubuh saya pun hanya satu saja. Toh, saya harus memilih. Bukankah hidup adalah pilihan?

Hal yang selalu saya rasakan itu terjadi lagi. Kekhawatiran sejenis yang terkadang hilang gaungnya kala keramaian menguasai saya. Ya, di Kampus Fiksi emas inilah yang menjadi mediator jiwa saya untuk belajar dan berkelana dengan orang-orang dan karakter baru yang beragam rupa. Tentu juga sangat  menyenangkan. Tapi ya seperti yang saya bilang, seperti halnya sebuah koloni, selalu ada dominasi, perbedaan keinginan, juga berbeda tujuan. 

Dan pilihan hati saya, kf ini, saya hanyut berhore-hore dengan anak-anak yang "showing me" dengan percaya diri yang mungkin telah diambang batas maksimal... hehehe

Saya merunut kembali mereka, bayangkan betapa hebohnya sebuah kumpulan dengan karakter yang--
Ada sosok mahasiswa teknik mesin akhir yang pinter main kartu juga jago menyanyi yang masih berjuang mengelarkan tugas akhirnya, ada juga aktor wanna be, yang begitu hafal dengan dialog film-film Indonesia yang begitu terlalu lebay dan kurang alami, namun berani mencoba dan selalu mendengarkan saran dari siapa saja. Ada duo tante, yang matang dan penuh diksi menggairahkan karena begitu kreatifnya. Pun, dua bidadari cantik dan febeles yang selalu menguarkan aura kecantikan mereka masing-masing. Kecantikan memimpin dan berpengaruh, juga kecantikan yang lemah lembut dan rela menerima keputusan. Tak ada yang kurang atau lebih dari mereka, semua terasa pas. O iya, ada juga satu mahluk adam yang begitu terlihat oh-so-elegantly (akunya si) lulusan FISIP UGM yang pemikirannya cukup mengguncang dan melampaui batas kenormalan. Unik! ya, mereka semua unik dan saya belajar banyak dengan mereka.

Tambahan, dua mahluk yang sungguh berbeda. Pertama, dia seorang penyair sejati. Hanya minta air minum saja, ia rela membuat sajak puisi. Atau saat minta kopi, ia membuat syair. Tentu hal itu ditertawakan oleh sosok yang selalu menyebut dirinya klonigan Le Min Ho, yang terkenal innocent dan nggak peka oleh pacarnya. #eh

Meski sebenarnya sisi jiwa entrovert saya terus menarik saya untuk tetap tinggal di asrama ketika saya lelah, tapi sayang, dia tak juga mampu melakukannya. Ya, dan itu terasa ketika saya pulang. Saat dalam satu mobil saya bersama rombongan lain, sosok-sosok lain. Rombongan dari asal saya, yang baru saja bercengkerama irit dan baru bisa bercanda meski sebentar saja, menyadarkan sisi lain dari saya. Sesal! Kenapa saya tidak ikut mereka (juga)? Kenapa keseruan mereka menyisakan sebongkah sesal (juga)? Ah, saya masih ingat ketika salah satu peserta anak SMA yang menanyakan sejarah wedang ronde kepada mereka. Saya sempat mengulum senyum, dan pasti anak itu! (Pembaca Imaji Dua Sisi) Deh #promo

Lalu saya kembali merenung. Ternyata saya belajar sebuah hukum alam. Seperti sebuah koloni semut, laron, dan kini saya pikir manusia juga. Kita, seolah diarahkan  menuju kutub yang membuat nyaman. Kutub yang selalu menenangkan, menerima, dan membuat senang. Kutub yang secara alami menarik kita seperti gravitasi, yang dengannya saya terkadang ingin rakus menarik  semua kutub itu. Entahlah, mungkin terdengar saya semacam haus akan perhatian, tapi tidak! Saya hanya ingin bisa mendengar, menolong apa yang bisa saya lakukan, mendoakan, membuat bahagia sebatas yang saya bisa. Ya, karena hanya itu yang bisa saya lakukan sekarang ini. Hanya itu yang bisa usahakan di sisa-sisa kesempatan setelah banyak kesombongan yang saya lakukan.

Terima kasih buat Kampus Fiksi. Setiap ke sana, selalu saja ada hal menarik yang terekam dalam memori saya. Tentang sahabat, guru, keluarga besar, diperhatikan, (merasa) dikucilkan, kepercayaan diri, minder, dan banyak rasa yang tumpah ruah dalam setiap pertemuan dalam kekinian. Satu hal yang akan selalu saya ingat, berikanlah jejak yang baik saat pertama jumpa, dan jagalah jejak itu hingga nanti berjumpa lagi kelak.

Bersambung...

Salam hangat,
Sayfullan

7 komentar:

  1. Ahhh...so sweet, Bang Ipul walau ada beberapa typo #udahmulaimengkritik hahaha.Aku jg senang jd bagian Kampus Fiksi.Jogja kini bukan lg sekedar romansa dengan suami tapi jg ada keluarga baru di sini.Diksi yg menggairahkan ya, Bang? Mungkin Abang aja yg lagi bergairah #eh hahaha. Semoga cepat berkumpul lagi ya...Soon, Insya Alloh.

    BalasHapus
  2. So sweeeeeeeeeeeeeet *ala Bee*

    BalasHapus
  3. Aduh, tulisan ini bagus banget. Ngetiknya pakai laptop merk apa, Bang? 😄

    BalasHapus
  4. Bang Ips, :') terlepas dari kata2 menggairahkan #eh, aku terharu... terima kasih telah memilih berhore2 bersama, terima kasih masih bersedia menemani walau di mobil berisiknya bisa ngalahin orang sekampung -___-" *lirik Mas Waw, tiga Che, ama Om Artis*

    moga kita bertemu lagi yaaa... tetap cemunguth! :D

    BalasHapus
  5. Duh duh duh :')
    Bahasanya dramatis, deh.
    Tapi sayang, Mas. Pertemuan kita bukan sesuatu yang penting untuk bisa dikenang, hanya bercengkrama sebentar waktu ngantri mandi, juga saat main kartu.
    Semoga masih bisa bertemu di pertemuan selanjutnya. :)

    BalasHapus
  6. Owh ini, blognya penulis keren itu??? Hihihihi,
    Salam kenal Bang Say (panggilan akrab di KF 12). :-) hehehe,

    BalasHapus