Selasa, 09 Juni 2015

Catatan Akhir


“Rana, percayalah, aku akan tetap mencintaimu. Maafkan aku, Sayang, yang tidak sanggup menjadi imammu sampai akhir hayatku”

Rana
Ini bukanlah hari liburku untuk bekerja. Hanya saja, karena protes dari tubuhku yang merasa lelah, surat izin sakit pun aku layangkan. Memang, tidak ada luka dengan fisikku, namun sebenarnya jiwaku yang telah lama hancur. Porak-poranda oleh keputusan mengerikan darimu.
Di ranjang berseprai merah darah ini, aku hanya bisa membisu. Bergeming sendiri memeluk buku harianku. Ah, jika sendiri di kamar ini, bayangan keindahan kita dahulu, selalu saja memenuhi benak. Engkau ingat? Kenangan-kenangan akan kebahagiaan yang sempat menemani keluarga kita?
“Itu dulu! Kita sekarang di waktu sekarang! Tak usah memikirkan bahagia yang sudah lewat!”
Dan jawaban itulah yang selalu kudengar saat pertanyaan itu coba kuucapkan dalam diam. Jujur, saat berdua di kamar ini, aku ingin bisa mengulang kemesraan itu lagi. Namun, aku salah, terlalu percaya diri menganggap kau pun merasakan hal yang serupa. Kini, bagaimana aku tidak semakin mengimani bahwa, putaran sisa-sisa memori itu telah tergerus pelan-pelan oleh waktu?
Masih sangat jelas kuingat Mas, saat engkau melamarku dulu. Dengan mata berkaca, engkau mengungkapkan cinta. Aku langsung tahu dari merahnya matamu itu, ada ketulusan dan kelembutan dari hatimu. Dan di hari itu pula, kau berucap bahwa akulah cinta pertama dan terakhirmu. Namun maaf. Kala itu, hatiku benar-benar memang belum ada kemantapan untuk menikah. Dan sekali lagi maaf, jika kata penolakanku itu mungkin menyakitimu dan membuatmu menyerah.
Ternyata, dugaanku keliru. Kulihat kau tidak pernah juga berputus asa, setelah penolakan sore itu. Pun diriku, tetap kukuh dengan pendirianku untuk belum bisa menikah. Aku masih ingat betul, sudah kutolak berkali-kalisampai aku lupa kali berapa aku membiarkan engkau dengan rayuan gombal berseliweran di telingakutetap saja engkau tidak pernah menyerah untuk mempersuntingku. Maaf, Mas, jika di matamu aku adalah perempuan yang keras dan angkuh waktu itu. Toh, akhirnya waktu kembali memperlihatkan keampuhannya bukan?
Melihat kegigihan Mas Ikhsan di tiap putaran rotasi sang waktu, hati ini pun akhirnya melunak. Ya, dengan humor-humor andalanmu yang selalu saja berhasil membuatku tertawa dan melupakan masalahku. Dengan semua perhatian yang terkadang berlebihan yang selalu tercurah tulus untukku, dan engkau juga mengajarkanku makna kelembutan dan kesabaran. Malah, aku sempat merasa, dengan kesabaranmu yang seperti tiada batas itu, engkau selalu berhasil meredakan amarahku. Terkadang aku heran sendiri, kok ada orang sepertimu ya, Mas? Yang jika semakin sering aku marah, cintamu untukku malah semakin besar. Ah, Mas Ikhsan, aku benar-benar mencintai Mas, terimakasih untuk semua.
Tetapi kini, engkau seolah bukan Mas Ikhsan yang dulu. Aku seperti telah amnesia, tidak bisa mengenali lagi dirimu yang lembut, sabar, dan selalu bisa membuatku tertawa bahagia. Kau berubah, Mas. Atau aku yang benar-benar telah mengalami amnesia?
Semakin hari, aku kian tidak mengerti dirimu, Mas. Cemburu yang tidak beralasan, marah-marah yang tidak jelas, semua itu membuatku bingung. Engkau telah bertransformasi menjadi orang lain. Jujur, ada sedikit rasa kecewa di hatiku, meski cinta ini pun tidak lantas bisa musnah begitu saja, malah terasa semakin besar, Mas.
Sudah kali keberapa saya harus lagi dan lagi meyakinkanmu, ini adalah ujian dari Sang Khalik untuk cinta kita. Tapi, semua itu sepertinya, sia-sia! Karena semua keyakinanku itu ternyata tidak bersambut olehmu, Mas. Engkau masih saja meragukan kesetiaanku, menyangsikan penerimaanku atas keadaanmu. Padahal, aku benar-benar butuh sosokmu yang dulu, Mas! Seseorang yang selalu sabar membimbingku, yang selalu bisa membuatku tertawa walaupun dirundung duka, yang selalu memberi segudang alasan bahwa kita bisa menghadapi ujian-Nya. Tetapi, kenapa kamu kini berubah? Di mana Mas Ikhsanku yang dulu?  Kenapa tidak ada cinta dan canda tawa lagi darimu, Mas???
Engkau bukannya persis tahu, begitu banyaknya masalah yang mencekik leherku, Mas. Masalah anak-anak, masalah keuangan, masalah kerjaan yang harus aku lawan sendiri. Dan tolong, Mas. Jangan tambahi beban pundak ini, setidaknya jangan marah-marah di depanku lagi dan jangan diamkan aku seperti ini. Ah, aku memang benci dengan sifatmu yang selalu merasa paling tahu itu. Harusnya engkau tidak sok tahu menganalisis hatiku, karena hanya Tuhan yang tahu Mas! Bukan Mas Ikhsan!
Harus kali ke berapa aku katakan.
Aku masih Rana yang dulu, yang mencintai Mas apa adanya. Dengan sepaket kelebihan dan kekurannganmu, Mas! Aku tidak pernah mengharap Mas sempurna. Karena dengan kekurangan Mas, aku ditakdirkan Tuhan untuk bisa menjadi berarti bagimu.
Andai engkau tahu isi hatiku yang sebenarnya, Mas. Sampai detik ini, aku akan terus mencintaimu, walaupun keputusanmu untuk berpisah denganku telah kudengar sendiri dari telingku.
Mas, percayalah, ini bukan sebuah akhir ...

Ikhsan
Rana, semakin kacau saja rumah tangga kita. Permasalahan bertubi-tubi menghantam pondasi cinta yang sudah delapan tahun kita bangun. Memang ini bukan masalah kecil, namun jika dihadapi dengan sikap bijak, aku yakin semua masalah pasti dapat diselesaikan. Ini hanya masalah ego kita, Rana.
Rana-ku, kenapa aku merasa kamu semakin tidak mau mengertiku? Selalu marah dan marah. Aku mengerti kamu sangat capek, Sayangku. Aku mengerti.... Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini juga bukan kehendakku, bukan kemauanku! Kenapa tak sedikit pun kamu mencoba mengerti posisi sulitku ini?
Aku sepenuhnya paham dengan kondisimu sekarang. Kamu terlalu lelah, karena selain harus mengurusi anak-anak, kini kamu juga harus mengurusiku. Betapa merepotkanmu diriku ini, Rana! Harus berapa kali aku memohon maaf jika kini fisikku tidak lagi sanggup untuk bekerja. Berapa kali lagi aku harus menjelaskan ini bukan kemaunku, jika kamu mendadak menjadi tulang punggung keluarga, yang seharusnya menjadi kewajibanku.
“Ah, Rana, maaf... Maafkan aku...”
Ranaku, andai kamu tahu. Jika melihatmu pulang malam, yang kini selalu menjadi agendamu itu, hatiku seperti tersayat. Aku tidak tega melihatmu bekerja sekeras itu, Rana. Aku tahu, semua itu bukan karena kamu bersenang-senang di luar. Bukan pula untuk mencari hiburan. Tapi, semua kamu lakukan hanya untuk berjuang agar kita tetap hidup. Demi sesuap nasi, kamu rela mengambil jam lembur di pabrik. Kamu juga rela bekerja serabutan untuk menambah penghasilan. Sesungguhnya aku tak ingin kamu seperti itu sayang. Aku mengerti penderitaanmu, aku dapat membaca pikiranmu. Dan kini ketika tabunganku sudah mulai habis, kamu masih harus memutar otak untuk mendapatkan uang jutaan rupiah per minggu demi aku.
Ya, Tuhan! Kini aku benar-benar menjadi benalu buatmu!
Semua ini adalah salahku Rana. Salahku!! Pendidikan anak kita terlantar, buku-buku tak terbeli, tak ada makanan bergizi, semua itu adalah karena penyakitku. Rana. Namun, kumohon, tidakkah kamu sudi mengertiku sedikit saja? Jika, aku juga tidak ingin punya penyakit seperti ini, Rana...
Dengan berjalannya waktu, kurasakan ketulusanmu semakin menghilang dan hampir lenyap. Tak lagi kutemui senyum indah merona di bibirmu, sayang. Semua seolah berubah menjadi kelam dan mendung. Apakah semua juga karena keadaanku ini, Rana?
            Jujur, aku pun menyadari betapa lemahnya hatiku hingga selalu muncul cemburu kepadamu. Prasangka yang akhir-akhir ini menyerangku tanpa lelah, seperti iblis yang terus membisikkanku tentang kesetiaanmu, Rana. Semua itu menyiksaku. Dan marahlah satu obat terampuh untukku mengeluarkan semua luka yang mengeram itu.
Rana, bukan maksud hati aku berbicara kasar kepadamu. Bukan pula maksud hati ingin sengaja mendiamkanmu. Tetapi, hati ini terlalu takut, takut akan kehilanganmu.
            Ah, sudahlah Rana. Kini, aku merasa tidak lagi berguna sebagai suamimu, imammu, dan tulang punggung kehidupanmu. Aku telah lalai Rana. Aku tak sanggup lagi memenuhi janjiku, janji ketika akad suci kulafalkan. Janji untuk menjaga dan membahagiakanmu, Istriku. Dan hatiku terasa sangat hancur ketika tak bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Ya, jiwaku terluka ketika semua terasa berubah, jiwaku tidak sanggup lagi menahan beban ini. Pun, beban kesedihanmu.
Rana, aku mundur, aku menyerah ...

      
Catatan :
Rana dan Ikhsan akhirnya bercerai. Ikhsan mengalami saat-saat kritisnya karena sudah tidak sanggup lagi mengeluarkan uang untuk cuci darah, penyakit gagal ginjalnya sudah merampas fisik dan psikisnya.

Sedangkan Rana, tetap menjadi Ibu yang tegar dan kokoh demi menghidupi ketiga anaknya. Meskipun telah tiada, namun Rana masih tetap menyimpan kenangan terakhir Ikhsan, sebuah kertas bertuliskan kalimat cinta Ikhsan kepadanya.

“Rana, percayalah, aku akan tetap mencintaimu. Maafkan aku, sayang, yang tidak sanggup menjadi imammu sampai akhir hayatku”

Salam hangat,
Sayfullan

7 komentar:

  1. Pelan tapi pasti, terharu....
    Berasa lagi dnger rana & ikhsan curhat secara langsung.
    Kenangannya dpt, fellnya lumayan.

    Oia, endingnya knp pake catatan? Knp gak dibiarin ngalir aja gitu? Jadi berasa lagi baca surat, pdhl tadi berasa dngrin curhat :D

    Itu aja, Bang. Semangat!

    BalasHapus
  2. Makasih cil. Ini mau nyoba style catatan, dan minim dialog. Nggak tahu apakah berhasil apa nggak. Hmm.. Ending sengaja si, biar seperti mereka benar2 ada dan nyata :)

    BalasHapus
  3. *Masih ngelap air mata*

    Semoga Ikhsan dicatat di sisi-Nya sebagai laki2 bertanggung jawab dam diampuni dosa2nya...semoga Rana diberi kekuatan utk melanjutkan hidup dalam damai dan merawat kenangan ttg Ikhsan sebagai laki2 yg baik. :')

    Sampaikan salam pada Rana kalau kau bertemu, ya, Mas... :)

    BalasHapus
  4. *Masih ngelap air mata*

    Semoga Ikhsan dicatat di sisi-Nya sebagai laki2 bertanggung jawab dam diampuni dosa2nya...semoga Rana diberi kekuatan utk melanjutkan hidup dalam damai dan merawat kenangan ttg Ikhsan sebagai laki2 yg baik. :')

    Sampaikan salam pada Rana kalau kau bertemu, ya, Mas... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. InsyaAllah, saya sampaikan, Sis. Tapi, jarang ketemu sekarang. :)

      Hapus
  5. Bagus. Aku suka. Serasa bner2 lagi dicurhatin sm orangnya langsung. Syedih. Aku nemu 1 typo, Bang.

    Udh, gtu aj, Bang. Hehe. Semangat!

    BalasHapus
  6. Ada typho tentang panggilan yang harusnya kapital, namun itu seolah sangat tidak menjadi masalah karena narasi pergulatan yang kamu tulis, Bang. Emosinya dapet banget! Keren! Duh, saya jadi sedih.
    Saya belum bisa buat cerita kek gini.

    BalasHapus