“Rana, percayalah, aku akan
tetap mencintaimu. Maafkan aku, Sayang, yang tidak sanggup menjadi imammu sampai akhir hayatku”
Ini bukanlah hari liburku untuk bekerja. Hanya saja, karena protes dari tubuhku yang merasa lelah, surat izin sakit
pun aku layangkan. Memang, tidak ada luka
dengan fisikku, namun
sebenarnya jiwaku yang telah lama hancur. Porak-poranda
oleh keputusan mengerikan darimu.
Di ranjang berseprai merah darah ini, aku
hanya bisa membisu. Bergeming sendiri memeluk buku harianku. Ah, jika sendiri
di kamar ini, bayangan
keindahan kita dahulu,
selalu saja memenuhi benak.
Engkau ingat? Kenangan-kenangan akan kebahagiaan yang sempat menemani keluarga kita?
“Itu dulu! Kita sekarang di waktu sekarang!
Tak usah memikirkan bahagia yang sudah lewat!”
Dan jawaban itulah yang selalu kudengar saat
pertanyaan itu coba kuucapkan dalam diam. Jujur, saat berdua di kamar ini, aku
ingin bisa mengulang kemesraan itu lagi. Namun, aku salah, terlalu percaya diri
menganggap kau pun merasakan hal yang serupa. Kini, bagaimana aku tidak semakin
mengimani bahwa, putaran sisa-sisa memori itu telah tergerus pelan-pelan oleh waktu?
Masih sangat jelas kuingat Mas, saat engkau melamarku dulu. Dengan mata berkaca, engkau mengungkapkan cinta. Aku langsung tahu dari merahnya matamu itu, ada ketulusan dan kelembutan dari hatimu. Dan di hari
itu pula, kau berucap bahwa akulah
cinta pertama dan terakhirmu. Namun maaf. Kala itu, hatiku benar-benar memang belum ada kemantapan
untuk menikah. Dan sekali lagi maaf, jika kata penolakanku itu mungkin
menyakitimu dan membuatmu menyerah.
Ternyata, dugaanku keliru. Kulihat kau tidak
pernah juga berputus asa, setelah penolakan sore itu. Pun diriku, tetap kukuh
dengan pendirianku untuk belum bisa menikah. Aku masih ingat betul, sudah kutolak berkali-kali—sampai aku lupa kali berapa aku
membiarkan engkau dengan rayuan gombal berseliweran di telingaku—tetap saja engkau tidak pernah
menyerah untuk mempersuntingku. Maaf, Mas, jika di matamu aku adalah perempuan yang keras dan angkuh waktu itu. Toh, akhirnya waktu kembali memperlihatkan keampuhannya
bukan?
Melihat
kegigihan Mas Ikhsan di tiap
putaran rotasi sang waktu, hati ini pun akhirnya melunak. Ya, dengan humor-humor andalanmu
yang selalu saja berhasil membuatku
tertawa dan melupakan masalahku. Dengan semua perhatian yang terkadang berlebihan yang selalu tercurah tulus
untukku, dan engkau juga mengajarkanku makna
kelembutan dan kesabaran. Malah, aku sempat merasa, dengan
kesabaranmu yang seperti
tiada batas itu, engkau
selalu berhasil meredakan amarahku. Terkadang aku heran sendiri, kok ada orang sepertimu ya, Mas? Yang jika semakin
sering aku marah, cintamu untukku malah semakin besar. Ah, Mas
Ikhsan, aku benar-benar mencintai Mas, terimakasih untuk semua.
Tetapi kini, engkau seolah bukan Mas Ikhsan yang dulu. Aku seperti telah amnesia, tidak bisa
mengenali lagi dirimu yang lembut, sabar, dan selalu bisa membuatku tertawa
bahagia. Kau berubah, Mas. Atau aku yang benar-benar telah mengalami amnesia?
Semakin hari, aku
kian tidak mengerti dirimu, Mas.
Cemburu yang tidak beralasan, marah-marah yang tidak jelas, semua itu membuatku
bingung. Engkau telah bertransformasi menjadi orang lain. Jujur, ada
sedikit rasa kecewa di hatiku, meski cinta ini pun tidak lantas bisa musnah begitu saja, malah terasa semakin besar, Mas.
Sudah kali keberapa saya harus lagi dan lagi meyakinkanmu, ini adalah ujian dari Sang Khalik untuk cinta kita. Tapi, semua itu sepertinya, sia-sia! Karena semua keyakinanku itu ternyata tidak bersambut
olehmu, Mas. Engkau masih
saja meragukan kesetiaanku, menyangsikan penerimaanku atas keadaanmu. Padahal,
aku benar-benar butuh
sosokmu yang dulu, Mas! Seseorang yang selalu sabar membimbingku, yang
selalu bisa membuatku tertawa walaupun dirundung duka, yang selalu memberi
segudang alasan bahwa kita bisa menghadapi ujian-Nya. Tetapi, kenapa kamu kini berubah? Di mana Mas
Ikhsanku yang dulu? Kenapa tidak ada cinta dan canda tawa lagi darimu, Mas???
Engkau bukannya persis tahu, begitu banyaknya masalah yang mencekik leherku, Mas. Masalah anak-anak, masalah keuangan,
masalah kerjaan yang harus aku lawan sendiri. Dan tolong, Mas. Jangan tambahi beban pundak ini, setidaknya jangan marah-marah di depanku lagi dan jangan
diamkan aku seperti ini. Ah, aku memang benci dengan sifatmu yang selalu merasa paling tahu itu.
Harusnya engkau tidak sok tahu menganalisis hatiku, karena hanya Tuhan yang tahu Mas! Bukan Mas Ikhsan!
Harus kali ke berapa aku katakan.
“Aku
masih Rana yang dulu, yang mencintai Mas apa adanya. Dengan sepaket kelebihan
dan kekurannganmu, Mas! Aku tidak pernah mengharap Mas sempurna. Karena dengan kekurangan Mas, aku ditakdirkan Tuhan untuk bisa menjadi berarti bagimu.”
Andai engkau tahu isi hatiku yang sebenarnya,
Mas. Sampai detik ini, aku akan terus
mencintaimu, walaupun keputusanmu untuk berpisah denganku telah kudengar sendiri dari telingku.
Mas, percayalah, ini bukan sebuah akhir ...
Ikhsan
Rana, semakin kacau saja rumah tangga kita. Permasalahan bertubi-tubi
menghantam pondasi cinta yang sudah delapan tahun kita bangun. Memang ini bukan
masalah kecil, namun jika dihadapi dengan sikap bijak, aku yakin semua masalah pasti dapat diselesaikan. Ini hanya masalah ego kita, Rana.
Rana-ku, kenapa aku merasa kamu semakin tidak mau mengertiku? Selalu marah dan marah. Aku
mengerti kamu sangat capek, Sayangku. Aku mengerti....
Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini juga bukan kehendakku, bukan kemauanku!
Kenapa tak sedikit pun kamu mencoba mengerti posisi sulitku ini?
Aku sepenuhnya paham dengan kondisimu sekarang. Kamu terlalu lelah, karena selain harus mengurusi anak-anak, kini kamu juga harus mengurusiku.
Betapa merepotkanmu diriku ini, Rana! Harus berapa kali aku memohon maaf
jika kini fisikku tidak lagi sanggup untuk bekerja. Berapa kali lagi aku harus menjelaskan ini
bukan kemaunku, jika kamu
mendadak menjadi tulang punggung keluarga, yang seharusnya menjadi kewajibanku.
“Ah, Rana, maaf... Maafkan aku...”
Ranaku, andai kamu
tahu. Jika melihatmu pulang malam, yang kini selalu menjadi agendamu itu, hatiku seperti tersayat. Aku tidak tega melihatmu bekerja sekeras
itu, Rana. Aku tahu, semua itu bukan karena kamu bersenang-senang di luar. Bukan pula
untuk mencari hiburan. Tapi, semua kamu lakukan hanya untuk berjuang agar kita
tetap hidup. Demi sesuap nasi, kamu rela mengambil jam lembur di pabrik. Kamu juga rela bekerja serabutan untuk
menambah penghasilan. Sesungguhnya aku tak ingin kamu seperti itu sayang.
Aku mengerti penderitaanmu, aku dapat membaca pikiranmu. Dan kini ketika tabunganku sudah mulai habis, kamu masih harus memutar otak untuk mendapatkan uang jutaan rupiah per minggu
demi aku.
Ya, Tuhan! Kini aku benar-benar menjadi benalu buatmu!
Semua ini adalah salahku Rana. Salahku!! Pendidikan anak kita terlantar,
buku-buku tak terbeli, tak ada makanan bergizi, semua itu adalah karena penyakitku. Rana. Namun,
kumohon, tidakkah kamu sudi mengertiku sedikit saja? Jika, aku juga tidak ingin punya penyakit seperti ini, Rana...
Dengan berjalannya waktu, kurasakan ketulusanmu semakin menghilang dan hampir lenyap. Tak lagi
kutemui senyum indah merona di bibirmu, sayang. Semua seolah berubah menjadi kelam dan mendung. Apakah semua juga karena keadaanku ini,
Rana?
Jujur, aku pun menyadari betapa lemahnya
hatiku hingga selalu muncul cemburu kepadamu. Prasangka
yang akhir-akhir ini menyerangku tanpa lelah, seperti iblis yang terus
membisikkanku tentang kesetiaanmu, Rana. Semua itu menyiksaku. Dan marahlah
satu obat terampuh untukku mengeluarkan semua luka yang mengeram itu.
Rana, bukan maksud hati aku
berbicara kasar kepadamu. Bukan pula maksud hati ingin
sengaja mendiamkanmu. Tetapi, hati ini
terlalu takut, takut akan kehilanganmu.
Ah,
sudahlah Rana. Kini, aku merasa
tidak lagi berguna sebagai suamimu, imammu, dan tulang
punggung kehidupanmu. Aku
telah lalai Rana. Aku tak sanggup lagi memenuhi janjiku, janji ketika akad suci
kulafalkan. Janji untuk menjaga dan membahagiakanmu,
Istriku. Dan hatiku terasa sangat hancur ketika tak bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Ya, jiwaku terluka ketika semua terasa berubah, jiwaku tidak sanggup
lagi menahan beban ini. Pun, beban kesedihanmu.
Rana, aku mundur, aku menyerah ...
Catatan :
Rana dan Ikhsan akhirnya bercerai. Ikhsan mengalami saat-saat
kritisnya karena sudah tidak sanggup lagi mengeluarkan uang untuk cuci darah,
penyakit gagal ginjalnya sudah merampas fisik dan psikisnya.
Sedangkan Rana, tetap menjadi Ibu yang tegar dan kokoh demi
menghidupi ketiga anaknya. Meskipun telah tiada, namun Rana masih tetap menyimpan kenangan terakhir Ikhsan, sebuah kertas
bertuliskan kalimat cinta Ikhsan kepadanya.
“Rana, percayalah, aku akan
tetap mencintaimu. Maafkan aku, sayang, yang tidak sanggup menjadi imammu sampai akhir hayatku”
Salam hangat,
Sayfullan
Pelan tapi pasti, terharu....
BalasHapusBerasa lagi dnger rana & ikhsan curhat secara langsung.
Kenangannya dpt, fellnya lumayan.
Oia, endingnya knp pake catatan? Knp gak dibiarin ngalir aja gitu? Jadi berasa lagi baca surat, pdhl tadi berasa dngrin curhat :D
Itu aja, Bang. Semangat!
Makasih cil. Ini mau nyoba style catatan, dan minim dialog. Nggak tahu apakah berhasil apa nggak. Hmm.. Ending sengaja si, biar seperti mereka benar2 ada dan nyata :)
BalasHapus*Masih ngelap air mata*
BalasHapusSemoga Ikhsan dicatat di sisi-Nya sebagai laki2 bertanggung jawab dam diampuni dosa2nya...semoga Rana diberi kekuatan utk melanjutkan hidup dalam damai dan merawat kenangan ttg Ikhsan sebagai laki2 yg baik. :')
Sampaikan salam pada Rana kalau kau bertemu, ya, Mas... :)
*Masih ngelap air mata*
BalasHapusSemoga Ikhsan dicatat di sisi-Nya sebagai laki2 bertanggung jawab dam diampuni dosa2nya...semoga Rana diberi kekuatan utk melanjutkan hidup dalam damai dan merawat kenangan ttg Ikhsan sebagai laki2 yg baik. :')
Sampaikan salam pada Rana kalau kau bertemu, ya, Mas... :)
InsyaAllah, saya sampaikan, Sis. Tapi, jarang ketemu sekarang. :)
HapusBagus. Aku suka. Serasa bner2 lagi dicurhatin sm orangnya langsung. Syedih. Aku nemu 1 typo, Bang.
BalasHapusUdh, gtu aj, Bang. Hehe. Semangat!
Ada typho tentang panggilan yang harusnya kapital, namun itu seolah sangat tidak menjadi masalah karena narasi pergulatan yang kamu tulis, Bang. Emosinya dapet banget! Keren! Duh, saya jadi sedih.
BalasHapusSaya belum bisa buat cerita kek gini.