Rumah
yang megah kini terasa sunyi. Kenangan kebersamaan dengan Den Baguse
berputar-putar penuh seringai dalam benak Ali. Genap dua malam, Bapak angkatnya
telah masuk dalam dunia barzah. Alam lain yang tak sanggup ia jamah. Ia
merenung. Rayuan tengah malam yang dingin tak membuat ia ingin memejamkan mata
dan memeluk istrinya. Ia lebih memilih duduk di kursi goyang milik almarhum
Bapaknya.
Dari
kursi yang kini bergerak maju mundur pelan, Ali sering menghabiskan masa
kecilnya dulu untuk menunggu dongeng atau cerita Den Baguse. Cerita tentang apa
saja. Kisah-kisah kehidupan yang membuat Ali selalu setia menunggu di kursi
kayu sebelahnya. Ia akan duduk khusyuk menunggu Bapaknya mengajak bercerita
tentang apa pun.
“Bapak
punya cerita,” kata Den Baguse saat itu.
Tentu
ucapan itu langsung membuat Ali kecil yang sudah siap menjadi pendengar setia
menegakkan punggungnya tak sabar ingin mendengar. Matanya yang rada sipit itu
terlihat lebih besar, karena ia begitu penasaran cerita apa yang akan
dikisahkan oleh Bapaknya.
Sebelum
memulai, dengan nikmat Den Baguse menyesap teh panas yang uapnya tak kentara.
Matanya terpejam saat cairan cokelat beraroma melati itu menyentuh syaraf-syaraf
di lidahnya, memanjakan mereka dengan kenikmatan yang menenangkan.
“Dulu
ada seekor bayi singa yang tersesat dan tidak menemukan induknya. Lalu dia
merasa kesepian dan sendirian. Kau tahu, Li. Dia hampir putus asa,” Den Baguse
sangat piawai dalam membuka cerita dan membuat anak seumuran Ali tambah penasaran
dan antusias untuk mendengar kelanjutan ceritanya. Benar saja, Ali pun langsung
bertanya, saat dengan sengaja Den Baguse menahan sebentar ceritanya.
“Lalu,
apa yang terjadi dengan bayi singa itu, Pak?”
“Singa itu menemukan kawanan domba. Ya, dia pun
akhirnya ikut dan bersama-sama dengan mereka.”
“Apa
kawanan itu tidak takut? Bukannya domba adalah makanan singa?” tanya Ali lugu.
Ia bertanya kenapa seekor singa bisa ikut di kawanan domba.
“Awalnya Bapak domba sangat takut. Bahkan, ia sudah siaga untuk melawan singa yang
tiba-tiba berada di depan mereka. Tapi, apa yang dikhawatirkan kepala rombongan domba itu
salah. Mata singa itu begitu rapuh, dan penuh kesedihan. Air matanya meleleh
ketika kawanan domba menolak kedatangannya. Mana mungkin Bapak domba itu tega
meninggalkannya, Li?” jawab Den Baguse dengan tatapan mata lembut dan
bijaksana.
“Akhirnya
mereka menjadi keluarga?”
Den
Baguse mengangguk sambil tersenyum. Ia menatap anak angkatnya dengan tatapan
penuh sayang. Dan mulai melanjutkan ceritanya.
“Mereka
menjadi satu keluarga yang saling mengasihi dan menyanyangi, meski mereka
berbeda. Kasta mereka jelas timpang, antara pemangsa dan dimangsa.
Namun, semua aturan itu tak berlaku lagi. Hingga mereka dewasa.”
“Apakah
ada sesuatu yang terjadi, saat mereka telah dewasa?” Ali mulai ketakutan. Ia
seperti berfirasat akan ada cobaan dari kisah yang baru saja ia dengar.
“Itulah
bukti kasih sayang Allah kepada setiap mahlukNya. Dia memberikan cobaan kepada
mahluk untuk tetap dapat bertahan hidup. Begitu juga dengan sang singa. Ketika
mereka dengan riang gembira mengembala rumput, tak disangka mereka diserang
oleh satu singa. Singa yang buas. Besar. Dengan mata yang tajam mengerikan. Dia
mengaung keras, seakan ingin memberikan isyarat “Kau takkan bisa lari lagi”, karena
ia sadar kecepatan lari mangsanya tak ada apa-apanya dibanding kemampuannya.”
“Lalu?
Bagaimana nasib mereka?” potong Ali dengan tidak sabar
“Bapak
domba itu berteriak lantang kepada anak singa yang kini telah menjadi besar dan
sepadan dengan musuhnya itu; Kamu itu
singa! Kamu bisa melawan dia! Ayo, lindungi kami!”
“Tidak, mana bisa aku
melawan singa itu. Ia terlalu besar dan kuat. Ia pemakan daging, sedang aku
hanyalah pemakan rumput. Mana bisa kami disepadankan, Pak?”
Den
Baguse menirukan percakapan singa itu dengan mimik ketakutan seperti apa yang
ada di hati singa, membuat Ali terhipnotis ikut laruta dalam cerita itu.
“Kamu hanya belum sadar
akan kekuatanmu, hai anakku. Lihatlah sungai itu, lihatlah betapa kau mirip
dengan lawan kita di depan itu,”
“Dan
singa itu akhirnya mengikuti kata domba yang dia anggap sebagai Bapaknya. Ia
bercermin dalam sungai, dan melihat refleksi bayangannya yang persis dengan
hewan yang ingin menyerang keluarganya. Ia pun mengamati dengan teliti
tubuhnya, taringnya, cakarnya, semua benar-benar mirip dengan sang pemangsa. Ia
pun memutuskan melawan singa itu sendiri demi keluarganya,” lanjut Den Baguse dengan tempo
yang dipercepat.
Ia
tahu, kapan cerita disampaikan dengan tempo cepat. Atau kapan kisah yang perlu tempo
mendayu. Ya, Den Baguse memang pencerita yang andal bagi
Ali.
“Lalu
siapa yang menang? Siapa yang kalah?”
Den
Baguse menatap Ali lekat, seperti ada sebuah pesan yang ia ingin sampaikan via
tatapannya yang hangat itu.
“Singa
itu memenangkan duel pertama kalinya. Ia bangga. Ia terharu ketika sorak para
domba menyemangitanya. Memberi ucapan selamat dengan suara embikan mereka yang
bersautan. Namun, ia tertegun ketika singa yang telah terkapar kalah itu membuka
suaranya. Ya, ia seperti akan mengatakan sesuatu—
“Apa
yang ingin ia sampaikan? Sumpah serapah? Atau hanya kemarahan?”
Lagi,
Ali memotong cerita Bapaknya dengan penasaran yang membuncah.
“Kau tahu siapa aku?
Kau tahu siapa yang baru saja kau lukai dan hampir mati ini?” kata singa yang
telah tersungkur bersimbah darah. “Akulah Bapakmu,” ucap singa itu bersama
napas terakhirnya.
“Astagfirullah,
jadi—
“Benar,
Ali. Singa itu membunuh Bapak kandungnya sendiri,” jawab Den Baguse cepat.
Lalu,
ia pun tak lupa mengajukan pertanyaan di setiap akhir cerita untuk Ali
renungkan. Selalu seperti itu. Kebiasaan Den Baguse setelah selesai membacakan
cerita. “Lalu, jika kamu sebagai singa itu, apa yang kau lakukan dengan kawanan
domba yang kau selamatkan yang kau tahu juga kini mereka adalah makananmu?
Penyebab kematian Bapak kandungmu?”
“Hmm...Hmm..”
“Sudahlah,
renungkan sana. Waktunya tidur, ini sudah malam. Besok lagi ceritanya. Ayo,
sana,” perintah Den Baguse yang langsung dikabulkan oleh Ali. Ia pun beranjak,
berjalan pelan menuju kamarnya. Ia berjalan pelan, bukan karena ia ngantuk. Namun,
pertanyaan yang baru saja ia dengar dari Bapknya itu benar-benar mengganjal
pikirannya. Ia gamang, jika berada pada posisi sang singa. Apa yang harus ia
pilih dan putuskan? Apakah dalam dunia hewan juga ada shalat istikharah???
Sebelum
Ali mengingat jawabannya waktu itu, tepukan pelan Karyo di pundaknya
menyadarkannya dari lamunan bersama Bapaknya. Kenangan yang terabadikan tanpa
pernah ia sengaja, kini sering menyita pikiran dan jiwanya. Karyo pun duduk di
kursi kayu sebelahnya, seperti posisinya dulu. Sedang ia seperti Den Baguse
yang nyaman merebahkan punggungnya di kursi yang terus bergerak ke depan dan ke
belakang meski pelan.
“Sebenarnya,
ada yang ingin saya sampaikan, Den,” kata Karyo dengan lembut dan takut-takut.
Semacam ada hal yang ingin ia akui.
Dia
mulai berkeringat, bintik-bintik air bening menempel di dahinya membuat Ali
semakin yakin, pengendara dokarnya itu menyembunyikan sesuatu. “Dia bukan tipe orang yang mudah menyimpan
kebohongan atau rahasia,” komentar hati Ali
ketika melihat kegugupan Karyo.
“Iya,
Pak Karyo. Ada apa?” tanya Ali serius. Tatapannya langsung menumbuk kornea mata
Karyo.
“Saya
ingin jujur sekarang, Den. Sebenarnya, semua biaya hidup Den Ali selama di
rumah saya, mulai dari hal terkecil, sampai biaya sekolah dan kebutuhan
lainnya, adalah dari Den Baguse,” kata Karyo dengan sopan dan takut-takut.
Ia
seperti telah membeberkan rahasia besar, atau karena perasaan tidak enak yang
muncul karena ia merasa berbohong, mengakui jika semua biaya hidup Ali itu
darinya yang hanya seorang kusir.
“Semua
yang saya katakan dulu itu tidak benar,
Den. Mana mungkin saya punya uang dan beras sebanyak itu setiap bulan kalau
bukan dari Den Baguse—
“Jadi,
selama ini Bapak masih menghidupiku?” potong Ali yang hatinya kini semakin
remuk.
Karyo
mengangguk dalam, tanda membenarkan. “Sebenarnya, ia tak benar-benar
mengusirmu, Den. Ia masih menyayangimu. Ia tak pernah luput satu kali pun untuk
memberikan jatah beras tiap bulan, jatah sayuran, jatah uang sekolah, jatah
semua keperluanmu selama satu tahun. Tidak pernah, Den. Ia tidak pernah lupa. Dua kalimat yang selalu menjadi pertanyaannya, Ali sehat kan? Apa dia
bahagia? Dua pertanyaan itu yang selalu ia ucapkan selama Den Ali pergi dari
rumah. Ya, pertanyaan-pertanyaan yang selalu saya jawab dengan jawaban sama,” tambah
Karyo yang langsung membuat mata Ali berkabut kembali. Ia
benar-benar menyesal dengan prasangka buruk yang selalu ada dalam hatinya
tentang Bapak angkat yang membuangnya.
Durhaka, mungkin sebutan yang cocok
bagi perasaan Ali malam itu. Hatinya
merapal sesal dan merajut kata maaf kepada orang yang sudah berlain dunia.
Lelehan air matanya pelan menetes. Keharuan akan cinta Bapaknya yang diam-diam
tanpa ditunjukkan membuat dadanya sesak.
“Maafkan
saya, Pak...Seharusnya
dulu, saat kau bertanya apa yang dilakukan singa kepada domba dalam ceritamu,
saya menjawab lantang : Akan kulindungi kalian, saudaraku. Meskipun kita beda,
meskipun kau hanya Bapak angkatku, tapi aku bukanlah mahluk yang tak tahu berterima
kasih. Ya, aku takkan memakanmu, namun
akan selalu menjagamu, karena kalian tetap keluargaku!”
###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar