Selasa, 09 Juni 2015

Kenangan Bapak (Kenangan Remang-remang)



Rumah yang megah kini terasa sunyi. Kenangan kebersamaan dengan Den Baguse berputar-putar penuh seringai dalam benak Ali. Genap dua malam, Bapak angkatnya telah masuk dalam dunia barzah. Alam lain yang tak sanggup ia jamah. Ia merenung. Rayuan tengah malam yang dingin tak membuat ia ingin memejamkan mata dan memeluk istrinya. Ia lebih memilih duduk di kursi goyang milik almarhum Bapaknya.
Dari kursi yang kini bergerak maju mundur pelan, Ali sering menghabiskan masa kecilnya dulu untuk menunggu dongeng atau cerita Den Baguse. Cerita tentang apa saja. Kisah-kisah kehidupan yang membuat Ali selalu setia menunggu di kursi kayu sebelahnya. Ia akan duduk khusyuk menunggu Bapaknya mengajak bercerita tentang apa pun.
“Bapak punya cerita,” kata Den Baguse saat itu.
Tentu ucapan itu langsung membuat Ali kecil yang sudah siap menjadi pendengar setia menegakkan punggungnya tak sabar ingin mendengar. Matanya yang rada sipit itu terlihat lebih besar, karena ia begitu penasaran cerita apa yang akan dikisahkan oleh Bapaknya.
Sebelum memulai, dengan nikmat Den Baguse menyesap teh panas yang uapnya tak kentara. Matanya terpejam saat cairan cokelat beraroma melati itu menyentuh syaraf-syaraf di lidahnya, memanjakan mereka dengan kenikmatan yang menenangkan.
“Dulu ada seekor bayi singa yang tersesat dan tidak menemukan induknya. Lalu dia merasa kesepian dan sendirian. Kau tahu, Li. Dia hampir putus asa,” Den Baguse sangat piawai dalam membuka cerita dan membuat anak seumuran Ali tambah penasaran dan antusias untuk mendengar kelanjutan ceritanya. Benar saja, Ali pun langsung bertanya, saat dengan sengaja Den Baguse menahan sebentar ceritanya.
“Lalu, apa yang terjadi dengan bayi singa itu, Pak?”
 “Singa itu menemukan kawanan domba. Ya, dia pun akhirnya ikut dan bersama-sama dengan mereka.”
“Apa kawanan itu tidak takut? Bukannya domba adalah makanan singa?” tanya Ali lugu. Ia bertanya kenapa seekor singa bisa ikut di kawanan domba.
“Awalnya Bapak domba sangat takut. Bahkan, ia sudah siaga untuk melawan singa yang tiba-tiba berada di depan mereka. Tapi, apa yang dikhawatirkan kepala rombongan domba itu salah. Mata singa itu begitu rapuh, dan penuh kesedihan. Air matanya meleleh ketika kawanan domba menolak kedatangannya. Mana mungkin Bapak domba itu tega meninggalkannya, Li?” jawab Den Baguse dengan tatapan mata lembut dan bijaksana.
“Akhirnya mereka menjadi keluarga?”
Den Baguse mengangguk sambil tersenyum. Ia menatap anak angkatnya dengan tatapan penuh sayang. Dan mulai melanjutkan ceritanya.
“Mereka menjadi satu keluarga yang saling mengasihi dan menyanyangi, meski mereka berbeda. Kasta mereka jelas timpang, antara pemangsa dan dimangsa. Namun, semua aturan itu tak berlaku lagi. Hingga mereka dewasa.”
“Apakah ada sesuatu yang terjadi, saat mereka telah dewasa?” Ali mulai ketakutan. Ia seperti berfirasat akan ada cobaan dari kisah yang baru saja ia dengar.
“Itulah bukti kasih sayang Allah kepada setiap mahlukNya. Dia memberikan cobaan kepada mahluk untuk tetap dapat bertahan hidup. Begitu juga dengan sang singa. Ketika mereka dengan riang gembira mengembala rumput, tak disangka mereka diserang oleh satu singa. Singa yang buas. Besar. Dengan mata yang tajam mengerikan. Dia mengaung keras, seakan ingin memberikan isyarat “Kau takkan bisa lari lagi”, karena ia sadar kecepatan lari mangsanya tak ada apa-apanya dibanding kemampuannya.”
“Lalu? Bagaimana nasib mereka?” potong Ali dengan tidak sabar
“Bapak domba itu berteriak lantang kepada anak singa yang kini telah menjadi besar dan sepadan dengan musuhnya itu; Kamu itu singa! Kamu bisa melawan dia! Ayo, lindungi kami!”
“Tidak, mana bisa aku melawan singa itu. Ia terlalu besar dan kuat. Ia pemakan daging, sedang aku hanyalah pemakan rumput. Mana bisa kami disepadankan, Pak?”
Den Baguse menirukan percakapan singa itu dengan mimik ketakutan seperti apa yang ada di hati singa, membuat Ali terhipnotis ikut laruta dalam cerita itu.
“Kamu hanya belum sadar akan kekuatanmu, hai anakku. Lihatlah sungai itu, lihatlah betapa kau mirip dengan lawan kita di depan itu,”
“Dan singa itu akhirnya mengikuti kata domba yang dia anggap sebagai Bapaknya. Ia bercermin dalam sungai, dan melihat refleksi bayangannya yang persis dengan hewan yang ingin menyerang keluarganya. Ia pun mengamati dengan teliti tubuhnya, taringnya, cakarnya, semua benar-benar mirip dengan sang pemangsa. Ia pun memutuskan melawan singa itu sendiri demi keluarganya,” lanjut Den Baguse dengan tempo yang dipercepat.
Ia tahu, kapan cerita disampaikan dengan tempo cepat. Atau kapan kisah yang perlu tempo mendayu. Ya, Den Baguse memang pencerita yang andal bagi Ali.
“Lalu siapa yang menang? Siapa yang kalah?”
Den Baguse menatap Ali lekat, seperti ada sebuah pesan yang ia ingin sampaikan via tatapannya yang hangat itu.
“Singa itu memenangkan duel pertama kalinya. Ia bangga. Ia terharu ketika sorak para domba menyemangitanya. Memberi ucapan selamat dengan suara embikan mereka yang bersautan. Namun, ia tertegun ketika singa yang telah terkapar kalah itu membuka suaranya. Ya, ia seperti akan mengatakan sesuatu—
“Apa yang ingin ia sampaikan? Sumpah serapah? Atau hanya kemarahan?”
Lagi, Ali memotong cerita Bapaknya dengan penasaran yang membuncah.
“Kau tahu siapa aku? Kau tahu siapa yang baru saja kau lukai dan hampir mati ini?” kata singa yang telah tersungkur bersimbah darah. “Akulah Bapakmu,” ucap singa itu bersama napas terakhirnya.
“Astagfirullah, jadi—
“Benar, Ali. Singa itu membunuh Bapak kandungnya sendiri,” jawab Den Baguse cepat.
Lalu, ia pun tak lupa mengajukan pertanyaan di setiap akhir cerita untuk Ali renungkan. Selalu seperti itu. Kebiasaan Den Baguse setelah selesai membacakan cerita. “Lalu, jika kamu sebagai singa itu, apa yang kau lakukan dengan kawanan domba yang kau selamatkan yang kau tahu juga kini mereka adalah makananmu? Penyebab kematian Bapak kandungmu?”
“Hmm...Hmm..”
“Sudahlah, renungkan sana. Waktunya tidur, ini sudah malam. Besok lagi ceritanya. Ayo, sana,” perintah Den Baguse yang langsung dikabulkan oleh Ali. Ia pun beranjak, berjalan pelan menuju kamarnya. Ia berjalan pelan, bukan karena ia ngantuk. Namun, pertanyaan yang baru saja ia dengar dari Bapknya itu benar-benar mengganjal pikirannya. Ia gamang, jika berada pada posisi sang singa. Apa yang harus ia pilih dan putuskan? Apakah dalam dunia hewan juga ada  shalat istikharah???
Sebelum Ali mengingat jawabannya waktu itu, tepukan pelan Karyo di pundaknya menyadarkannya dari lamunan bersama Bapaknya. Kenangan yang terabadikan tanpa pernah ia sengaja, kini sering menyita pikiran dan jiwanya. Karyo pun duduk di kursi kayu sebelahnya, seperti posisinya dulu. Sedang ia seperti Den Baguse yang nyaman merebahkan punggungnya di kursi yang terus bergerak ke depan dan ke belakang meski pelan.
“Sebenarnya, ada yang ingin saya sampaikan, Den,” kata Karyo dengan lembut dan takut-takut. Semacam ada hal yang ingin ia akui.
Dia mulai berkeringat, bintik-bintik air bening menempel di dahinya membuat Ali semakin yakin, pengendara dokarnya itu menyembunyikan sesuatu. “Dia bukan tipe orang yang mudah menyimpan kebohongan atau rahasia,” komentar hati Ali  ketika melihat kegugupan Karyo.
“Iya, Pak Karyo. Ada apa?” tanya Ali serius. Tatapannya langsung menumbuk kornea mata Karyo.
“Saya ingin jujur sekarang, Den. Sebenarnya, semua biaya hidup Den Ali selama di rumah saya, mulai dari hal terkecil, sampai biaya sekolah dan kebutuhan lainnya, adalah dari Den Baguse,” kata Karyo dengan sopan dan takut-takut.
Ia seperti telah membeberkan rahasia besar, atau karena perasaan tidak enak yang muncul karena ia merasa berbohong, mengakui jika semua biaya hidup Ali itu darinya yang hanya seorang kusir.
“Semua yang saya katakan dulu  itu tidak benar, Den. Mana mungkin saya punya uang dan beras sebanyak itu setiap bulan kalau bukan dari Den Baguse—
“Jadi, selama ini Bapak masih menghidupiku?” potong Ali yang hatinya kini semakin remuk.
Karyo mengangguk dalam, tanda membenarkan. “Sebenarnya, ia tak benar-benar mengusirmu, Den. Ia masih menyayangimu. Ia tak pernah luput satu kali pun untuk memberikan jatah beras tiap bulan, jatah sayuran, jatah uang sekolah, jatah semua keperluanmu selama satu tahun. Tidak pernah, Den. Ia tidak pernah lupa. Dua kalimat  yang selalu menjadi pertanyaannya, Ali sehat kan? Apa dia bahagia? Dua pertanyaan itu yang selalu ia ucapkan selama Den Ali pergi dari rumah. Ya, pertanyaan-pertanyaan yang selalu saya jawab dengan jawaban sama,” tambah Karyo yang langsung membuat mata Ali berkabut kembali. Ia benar-benar menyesal dengan prasangka buruk yang selalu ada dalam hatinya tentang Bapak angkat yang membuangnya. 
Durhaka, mungkin sebutan yang cocok bagi perasaan Ali malam itu. Hatinya merapal sesal dan merajut kata maaf kepada orang yang sudah berlain dunia. Lelehan air matanya pelan menetes. Keharuan akan cinta Bapaknya yang diam-diam tanpa ditunjukkan membuat dadanya sesak.
“Maafkan saya, Pak...Seharusnya dulu, saat kau bertanya apa yang dilakukan singa kepada domba dalam ceritamu, saya menjawab lantang : Akan kulindungi kalian, saudaraku. Meskipun kita beda, meskipun kau hanya Bapak angkatku, tapi aku bukanlah mahluk yang tak tahu berterima kasih. Ya, aku takkan  memakanmu, namun akan selalu menjagamu, karena kalian tetap keluargaku!”
###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar