Aku sebut diriku dengan
penjilat. Meski bukan benar-benar dengan memainkan lidah dan menjulurkannnya ke
sasaran yang kujilat. Tapi, cuma sebuah istilah, yang artinya menurutku tidak
jauh-jauh beda dengan efeknya. Sama-sama membuat nyaman dan ketagihan. Sampai,
korban atau sasaran yang kujilat akan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan
kenikmatan itu.
“Kau itu menjijikkan,
opurtunis!”
Kata kasar Serilda,
partner sesama penulis yang mungkin lidahnya ditumbuhi silet dan dilengkapi
dengan air ludah penajam otomatis. See?
Tiap ia membuka mulut, hunjaman nyeri hati sudah pasti akan menimpa lawan
bicaranya. Untung aku tak termasuk dalam golongan manusia peka semacam itu. Ya, karena kami sama-sama berlidah silet.
“Kau itu bego ya?! Ini
namanya simbiosis. Mana ada aku memanfaatkan orang tanpa dia juga dapat enaknya?”
Balasku santai, di kursi
kayu depan ruang pengajaran kampus tempat biasa Serilda menghabiskan berjam-jam
dini harinya untuk berimajinasi lewat tulisan. Aku berujar tanpa
menatapnya. Fokus dengan layar laptopku yang terasa lebih menarik. Meskipun, aku
harus rela pindah dari Semarang ke Pekalongan hanya untuk berduet bareng dengan
novelis best seller ini.
“Dasar Penjilat!”
Oke, sudah dua pisau yang
ia semburkan dari ucapannya. Tentu saja aku tak mau kalah di posisi 2-1. Rasanya tak
mungkin aku tetap diam dan hanya menatap draft novelku ini.
“Hei, penulis. Kau itu
bukan Tuhan! Kau bahkan tak tahu apa yang hatimu itu inginkan? Sok ngerti isi
hati orang lain! Sungguh, lucu!”
Kini posisi kami draw 2-2. Perempuan berpostur gembul dengan
rambut acak-acakan dan rokok yang selalu dikempit di bibir hitamnya itu sudah
sok paham diriku luar dalam. Kenal saja baru-baru saja. Kalau saja tidak ada
pelatihan menulis di Jogja, tentu aku tak akan pernah mau mengenalnya. Buat apa?
Orang-orang yang tak memberikan keuntungan kepadaku akan kubuang. Kueliminasi
tanpa pikir panjang.
“Lantas, kenapa kau
seolah mengikutiku? Kita juga masih selalu bertemu? Kenapa kita tetap sok
bersimbiosis seperti teori abal-abalmu ini? Apa arti aku buatmu? Hanya
cemoohan? Hanya agar kau bisa menjadwal makanku, tidurku, melarang rokok, alkohol?! SHIT!!!”
Aneh. Perempuan ini
kini mengoceh penuh emosi. Sebagai mahluk hawa, perasaannya ternyata masih
hidup juga. Lepas dari fisiknya sebagai pemikat lelaki yang sudah menurut
mataku ini ‘mati’.
Aku tak menjawab. Aku
tak tertarik untuk menang. Biarlah skor
3-2 atau 10-2 aku tak peduli. Naskahku ini lebih perlu perhatian ekstra
daripada racauan perempuan sinting yang anehnya selalu berhasil membuatku
nyaman. Ya, nyaman untuk berkata kasar kepadanya tanpa takut ia sakit hati.
Tapi, malam ini, sepertinya aku gagal.
“Diam saja kan kau?! Cukup.
Aku mau pulang.”
Dia melangkah gegas
dari kursi untuk siaga pergi. Ya, begitu saja. Ah, mana bisa aku biarkan situasi
ini. Aku harus menaikkan skor tinggi tanpa harus berucap kasar.
Dengan sigap, kutarik
kuat-kuat lenganya, kupagut bibir hitamnya. Tanpa ragu. Tanpa takut. Kurasakan
napasnya hangat membelai tiap syaraf. Jantungnya pun terdengar riuh. Kulitnya
menegang, aliran darahnya terasa dipacu. Ya, aku dapat rasakan semua dari
pembuluh darah bawah kulitnya. Tangan dinginnya yang kugenggam kini mulai melunglai.
Kami tetap terpaut. Perlahan, kuraih puntung rokok dari
jarinya dan kubuang jauh. Tentu saja, dengan tetap mencumbuinya.
Kau
itu bodoh! Aku tak begitu lihai mengungkapkan cinta. Kau harusnya juga jangan
sok tahu isi hatiku. Dasar perempuan gendut bodoh! Aku hanya butuh kau ada di
sisiku. Ya, itu saja.
“Kau bukan sedang
memanfaatkanku kan? Apa artinya ini semua?”
“Jangan menganggap ini
terlalu tinggi. Kau yang bilang aku ini penjilat, bukan?! Sudah lupa? Dasar
bodoh!”
Untuk diikutkan
tantangan KF tema “tinggi”
###
Kalau aku punya partner nulis kayak gitu sih aq tinggal beneran. X-(
BalasHapus