Senin, 21 September 2015

Penjilat


Aku sebut diriku dengan penjilat. Meski bukan benar-benar dengan memainkan lidah dan menjulurkannnya ke sasaran yang kujilat. Tapi, cuma sebuah istilah, yang artinya menurutku tidak jauh-jauh beda dengan efeknya. Sama-sama membuat nyaman dan ketagihan. Sampai, korban atau sasaran yang kujilat akan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan kenikmatan itu.

“Kau itu menjijikkan, opurtunis!”

Kata kasar Serilda, partner sesama penulis yang mungkin lidahnya ditumbuhi silet dan dilengkapi dengan air ludah penajam otomatis. See? Tiap ia membuka mulut, hunjaman nyeri hati sudah pasti akan menimpa lawan bicaranya. Untung aku tak termasuk dalam golongan manusia peka semacam itu. Ya, karena kami sama-sama berlidah silet.

“Kau itu bego ya?! Ini namanya simbiosis. Mana ada aku memanfaatkan orang tanpa dia juga dapat enaknya?”

Balasku santai, di kursi kayu depan ruang pengajaran kampus tempat biasa Serilda menghabiskan berjam-jam dini harinya untuk berimajinasi lewat tulisan. Aku berujar tanpa menatapnya. Fokus dengan layar laptopku yang terasa lebih menarik. Meskipun, aku harus rela pindah dari Semarang ke Pekalongan hanya untuk berduet bareng dengan novelis best seller ini.

“Dasar Penjilat!”

Oke, sudah dua pisau yang ia semburkan dari ucapannya. Tentu saja aku tak mau kalah di posisi 2-1. Rasanya tak mungkin aku tetap diam dan hanya menatap draft novelku ini.

“Hei, penulis. Kau itu bukan Tuhan! Kau bahkan tak tahu apa yang hatimu itu inginkan? Sok ngerti isi hati orang lain! Sungguh, lucu!”

Kini posisi kami draw 2-2. Perempuan berpostur gembul dengan rambut acak-acakan dan rokok yang selalu dikempit di bibir hitamnya itu sudah sok paham diriku luar dalam. Kenal saja baru-baru saja. Kalau saja tidak ada pelatihan menulis di Jogja, tentu aku tak akan pernah mau mengenalnya. Buat apa? Orang-orang yang tak memberikan keuntungan kepadaku akan kubuang. Kueliminasi tanpa pikir panjang.

“Lantas, kenapa kau seolah mengikutiku? Kita juga masih selalu bertemu? Kenapa kita tetap sok bersimbiosis seperti teori abal-abalmu ini? Apa arti aku buatmu? Hanya cemoohan? Hanya agar kau bisa menjadwal makanku, tidurku, melarang rokok, alkohol?! SHIT!!!”

Aneh. Perempuan ini kini mengoceh penuh emosi. Sebagai mahluk hawa, perasaannya ternyata masih hidup juga. Lepas dari fisiknya sebagai pemikat lelaki yang sudah menurut mataku ini ‘mati’.

Aku tak menjawab. Aku tak tertarik untuk menang. Biarlah skor  3-2 atau 10-2 aku tak peduli. Naskahku ini lebih perlu perhatian ekstra daripada racauan perempuan sinting yang anehnya selalu berhasil membuatku nyaman. Ya, nyaman untuk berkata kasar kepadanya tanpa takut ia sakit hati. Tapi, malam ini, sepertinya aku gagal.

“Diam saja kan kau?! Cukup. Aku mau pulang.”

Dia melangkah gegas dari kursi untuk siaga pergi. Ya, begitu saja. Ah, mana bisa aku biarkan situasi ini. Aku harus menaikkan skor tinggi tanpa harus berucap kasar.

Dengan sigap, kutarik kuat-kuat lenganya, kupagut bibir hitamnya. Tanpa ragu. Tanpa takut. Kurasakan napasnya hangat membelai tiap syaraf. Jantungnya pun terdengar riuh. Kulitnya menegang, aliran darahnya terasa dipacu. Ya, aku dapat rasakan semua dari pembuluh darah bawah kulitnya. Tangan dinginnya yang kugenggam kini mulai melunglai. Kami tetap terpaut. Perlahan, kuraih puntung rokok dari jarinya dan kubuang jauh. Tentu saja, dengan tetap mencumbuinya.

Kau itu bodoh! Aku tak begitu lihai mengungkapkan cinta. Kau harusnya juga jangan sok tahu isi hatiku. Dasar perempuan gendut bodoh! Aku hanya butuh kau ada di sisiku. Ya, itu saja.

“Kau bukan sedang memanfaatkanku kan? Apa artinya ini semua?”

“Jangan menganggap ini terlalu tinggi. Kau yang bilang aku ini penjilat, bukan?! Sudah lupa? Dasar bodoh!”

Untuk diikutkan tantangan KF tema “tinggi”


###

1 komentar:

  1. Kalau aku punya partner nulis kayak gitu sih aq tinggal beneran. X-(

    BalasHapus