Senin, 20 Juli 2015

(hanya) Merasa Terusir

Penolakan jenis apa pun itu rasanya sakit. Kupikir, aku cukup berpengalaman untuk hal satu ini.

Komunitas. Perkumpulan. Geng. Kelompok. Atau kata lain yang bervariasi yang artinya hanya satu itu selalu membuatku takut. Cemen mungkin kau bilang. Aku tak peduli. Toh, memang aku tak mengingkari ada gelisah yang tiba-tiba menyergap saat aku mulai masuk atau terpaksa masuk dalam suatu kelompok. Ini terjadi bukan karena tanpa dasar. Tapi jujur, kelompok-kelompok itu membuat aku ngeri sendiri. Ketakutan yang seharusnya tak perlu ada. Semacam perasaan ‘takut ditolak’!

“Lu itu cupu! Lihat penampilan lu aja mengerikan. Ngaca dong! Lu nggak layak ikut geng popu di sini! Hush!”

Seperti tak ada harga dan anjing saja ketika kalimat pengusiran terlontar lagi. Tak sekasar itu, mungkin. Tapi, pandangan jijik, lirikan menilai tak sebanding, dan tak acuh dari wajah-wajah bersih mereka sudah menumpahkan kata-kata kasar itu untuk mengusirku. Ya, mungkin mereka benar, aku perlu cermin dan lebih mengerti apa itu konsep tahu diri.

“Oke, lihat saja nanti!”

Saat itu hanya dalam hati saja aku berani menrapal janji. Merapal dendam setiap penolakan yang kuterima. Merapal dalam-dalam kata yang akan kutorehkan pada sebuah pembulktian. Bahwa tanpa kalian semua pun, aku bisa!

Waktu bergulir. Lingkungan berganti. Sialnya, kata penolakan sepertinya enggan untuk pergi juga. Dan bodohnya lagi, ternyata tak semudah itu aku melakukan apa yang kutasbihkan tiap waktu untuk tetap berdiri sendiri. Hatiku masih saja lemah. Aku masih ingin punya kawan dan perkumpulan.

“Sial! Ternyata benar, manusia memang mahluk sosial,” rutukku saat aku merasa sendiri di kelas hanya bisa mencoret-coret kertas.

Ah, aku masih ingat, tak perlulah aku menjabarkan bagaimana sikap mereka ketika aku datang hanya ingin berkata-kata atau menceritakan bagaimana tadi pelajaran olah raga, atau guru yang tidak datang, pelajaran kosong—Responnya? Semua terlihat sengak. Tak menyimak. Oke mungkin aku kurang asyik dan terlalu kaku. Tapi sama saja, menyakitkan ketika mereka lalu pergi begitu saja.

“Kali ini, sepertinya aku harus berjuang sendiri. Aku tak butuh mereka. Ngapain, aku harus repot-repot sakit hati hanya karena sikap arogan mereka. Tunggu saja!” Kini aku yakin. Tekadku bulat. Aku harus kuat, hatiku harus beku. Aku bisa berdiri sendiri, apa pun yang terjadi!

Pembalasan elegant, kata seseorang. Aku mulai merencanakan semua langkahku sendiri. Memutar keadaan supaya semua berbalik. Satu pikiranku saat itu hanyalah prestasi. Bagaimana aku harus bisa diperhitungkan dalam permainan mereka. Aku mulai belajar tiga kali lipat dari anak-anak usiaku. Tak menyiksa, toh aku memang tak pernah main karena tak ada teman main. Daripada waktuku hanya digunakan untuk tidur-makan-bersihin kamar, aku kini mulai membaca. Mencari buku-buku dan latihan-latihan soal yang harus kukerjakan setiap hari. Bahkan, ketika berangkat sekolah pertama setelah libur panjang, tiga bab semua pelajaran baru telah kukuasi.
Usahaku sepertinya berbuah. Meski dengan otak yang pas-pasan, namun dengan kerajinan dan kerja keras aku pun mulai meraih apa yang kurencanakan. Guru-guru mulai melirikku. Kepercayaan diriku terangkat. Aku mulai aktif maju ke depan, mengerjakan di papan tulis, membantu guru menyiapkan materi, ikut aktif diskusi, dan aku merasa kastaku sedikit terangkat. Satu, demi satu teman mulai mendekatiku. Oh, bukan teman. Calon teman, atau malah mantan teman yang dulu membuangku dan menganggap aku hanya seorang mahluk astral tak kasat mata. Jadi, seperti inikah, mekanisme kehidupan bekerja? Menjijikkan!

Sampai sekarang, aku masih bisa merasakan menjadi diriku yang dulu. Empati yang membaja ketika mata-mata penuh harap ikut bergabung di suatu perkumpulan yang mengekslusifkan diri. Keinginan untuk diperhitungkan atau sekadar dianggap di dalam organisasi yang terlihat megah, gabungan orang-orang populer dan hebat. Ya, mata-mata yang memandang dirinya rendah, dan sulit atau tak mungkin menerobos dinding kuat mereka. Meskipun, pikiran mereka belum tentu benar juga. Aku dapat merasakan perasaan itu, perasaan ketidakeksisan diri jika dibanding dengan mereka yang punya level percaya diri tinggi. Aku paham. Aku bisa merasa. Pikiran negatif dan minder itu menyiksa!

Semacam perasaan terbuang, perasaan kalah sebelum berperang, akan semakin menggerogoti hati jika tak dilawan. Di titik inilah, aku ingin merangkul mereka. Memberikan energi positif, senyum ramah menerima, semangat untuk melangkah bersama, merangkul dan mendengarkan mereka. Ya, kepada orang-orang yang sama sepertiku dulu. Sang Pecundang tanpa rasa percaya diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar