Aku masih dalam suasana
duka. Dimas—orang yang kucintai tragis hilang nyawa dalam kecelakaan motor dua
hari lalu. Padahal, hari pernikahan kami akan segera ditentukan. Ah, kenapa
takdir begitu kejam, mengambilnya setelah beribu panah jarak kami lewati dengan
sabar.
“Kenapa kau tak begitu antusias Dim? Kau dua kali lipat pendiemnya tau. Karena planning nikah ini? Padahal di medsos, kamu tetap saja selalu jadi perayu ulung...” Kata-kataku terakhir saat menemuinya di Bandung kembali menyesakkan dada.
Ada sesal saat aku melontarkan kecurigaan kepadanya. Bukankah, wajar ia menjadi pendiam? Karena bagi calon imam dan pemimpin rumah tangga, menikah bukanlah hal yang sepele? Ah, harusnya waktu itu aku mengerti posisimu, Dim.
“Kenapa kau tak begitu antusias Dim? Kau dua kali lipat pendiemnya tau. Karena planning nikah ini? Padahal di medsos, kamu tetap saja selalu jadi perayu ulung...” Kata-kataku terakhir saat menemuinya di Bandung kembali menyesakkan dada.
Ada sesal saat aku melontarkan kecurigaan kepadanya. Bukankah, wajar ia menjadi pendiam? Karena bagi calon imam dan pemimpin rumah tangga, menikah bukanlah hal yang sepele? Ah, harusnya waktu itu aku mengerti posisimu, Dim.
Kami berdua adalah pasangan
LDR. Cinta kami tidak menganggap jarak sebagai rintangan. Meskipun ia berada di
Bandung dan aku di Surabaya, namun kami selalu sanggup menunggu hari
perjumpaan. Rasa saling percayalah yang selalu terikat rapi dalam hati, hingga
kami dapat bertahan dengan hubungan ini.
Tapi sepertinya, semua
terasa sia-sia. Pengorbananku, pengorbananya, bendungan rindu dan semua yang
harus kami perjuangkan dulu, seakan menguap saat kabar kematian Dimas menghunus
dada. Sekarang semua seakan
terlambat bukan? Hanya mengais kenangan bersamanyalah yang sekarang bisa kulakukan.
Dengan
mata basah, kucoba mengarungi kembali kisah kami dalam akun sosoal media.
Sepertinya dulu, kami tak pernah luput untuk ‘pamer’ ke dunia tentang hubungan
mesra kami. Tentu, agar semua orang tahu, meski kami tak berada dalam satu
kota, namun kami adalah pasangan yang saling terikat janji. Pun, agar orang
yang ingin mendekati salah satu dari kami sadar, jika kami tak lagi sendiri.
Akhirnya, goresan
kata-kata cintanya di dinding facebook
kubaca lagi. Entah berapa kali kubuka tulisan-tulisannya ini? Ah, aku sendiri lupa untuk mengingatnya. Rindu. Ya,
rasa rindu yang terus menghunjam ini yang membutakanku.
Raya, kau tak akan pernah sendiri. Aku akan selalu menemanimu. Ya, sayang. Jangan pernah kesepian. Karena aku sangat tahu bagaimana sakitnya kesepian...
Dadaku nyeri. Sangat
nyeri, membaca dinding Fb-ku. Mata tak sanggup menolak untuk kembali basah, mengenang semua memori yang terpatri dan tak
akan pernah bisa pergi. Membaca satu demi satu tulisan dinding facebook, aku menangis, sakit, rindu, juga pilu. Hatiku terasa penuh. Entah, kenapa kata-katanya selalu sanggup membuatku merasa tak pernah sendiri. Di dinding ini aku kembali dapat merasa bersamanya. Mengulang cerita yang sama, di tanggal dan purnama yang telah tertera.
“Seperti inikah rasanya
kehilangan?!!”
Ya Tuhan, andai saja
aku tahu akan seperti ini, aku takkan memintanya pulang hari itu. Aku juga akan
meredam rasa rinduku barang sehari atau dua hari saja, agar kecelakaan itu tak
akan pernah terjadi dan merenggut nyawanya.
“Maafkan aku, Mas...”
###
Lamunanku bernostalgia
dengan kenangan Dimas buyar saat notifikasi dari fb-ku menyembul angka. Dengan
enggan, kubuka notifikasi itu. “Tidak mungkin!” kagetku saat akun Dimas muncul
di urutan pertama notifikasi. Jelas, aku tercekat. Jantungku berdetak tak
beraturan. Mention darinya mengisi dindingku. Aku tak percaya. Ini pasti pembajakan. Ia sudah meninggal!
Dimas @raya aku merindukanmu!
Entah siapa pelaku
pembajakan akun Dimas, aku harus buat perhitungan! Dengan cepat jariku lalu
memencet keyboard mengisi kolom komentar.
Kamu siapa?
Cepat, jawaban dari pembajak itu muncul. Dimas aku kekasihmu! @raya
Keringat dingin pun membanjiri keningku. Aku masih tidak percaya, malah ketakutan. Apakah mungkin
semua ini darinya? Kenapa aku jadi berpikir seperti orang gila. Mana mungkin?
Oke, aku curiga ia
benar-benar Dimas bukan tanpa alasan. Kabar meninggal Dimas memang kutahu dari
adiknya yang aku sendiri belum kenal. Selama menjalin hubungan, Dimas bukan
orang yang terbuka. Ia juga tak pernah mengenalkanku dengan keluarganya. Apalagi
datang ke rumahnya? Pernah sekali, dan itu terlihat sepi. Aku juga tak
dikenalkan oleh orang tuanya.
Lalu, hal mengganjal
lain tentang penguburan. Bahkan saat datang ke rumahnya sesuai alamat yang ia
beri dulu, aku pun tak menemukan prosesi pemakaman. Malah, penghuni lain yang
aku temukan. Bukan keluarga Dimas dan tak tahu siapa itu Dimas?
Apa jangan-jangan ini
salah satu permainanya untuk melamarku? Membiarkan aku khawatir dan nyaris gila
seperti ini?
“Jika ini benar. Sungguh
kejam kau Dim!”
Status demi status masih
meluber mengisi penuh dinding fb-ku. Aku begitu penasaran dengan semua tulisan
yang menyerbu salah satu akun sosialku itu. Kata-katanya penuh rayuan. Persis
seperti yang dilakukan Dimas. Aku mencoba membiarkannya. Tapi, dindingku
semakin sesak parah oleh kata-kata indahnya.
“Ini tak bisa
dibiarkan. Aku harus hentikan permainanmu, Dim! Ya, Segera.”
###
Akhirnya, kami sepakat
akan bertemu malam ini di gedung sekolah SD-kami dulu saat di Surabaya.
Aku datang sendiri.
Dengan hanya membawa hp dan dompet, kubulatkan tekat untuk menemui Dimas.
Sekolah sangat sepi. Seperti SD biasanya. Mana mungkin malam-malam ada kegiatan
seperti sekolah SMA yang banyak acara di malam hari. Ditambah, Surabaya habis diguyur
hujan sore tadi. Jadi semakin senyap saja
aura tempat ini.
Aku memasuki pintu kecil
sekolah yang terbuka dan tak pernah terkunci. Kami para alumni tahu, jika
gerbang kecil itu memang digunakan Pak Bon untuk keluar-masuk sekolah. Biar
praktis nggak bongkar tarik dorong gerbang, katanya saat dulu aku tanya. Dan
sampai sekarang pun, pintu rahasia itu tetap tak terkunci.
“Pak Bon tidak pernah
berubah. Ah, sayang sepertinya ia sudah tidur,” akuku sedikit menyesalkan lampu
rumah di pojok gedung sekolah yang sudah dimatikan.
Aku lantas menyusuri
lorong antar kelas. Menunggu sosok yang mengisi dinding Fb-ku akhir-akhir ini.
Jika memang ia Dimas, aku akan sangat senang dan bahagia. Karena itu adalah
harapku.
Aku akan buat perhitungan dengan kejutanmu ini Dim!
Belum selesai aku
melamunkannya, suara berat seorang laki-laki di depan mengagetkanku.
“Kau menepati janjimu,
sayang!”
Aku tak begitu jelas
melihat wajahnya. Gelap. Dan jarak kami lumayan jauh.
“Suaranya begitu mirip Dimas,” kata batinku.
Angin berembus membawa
suasana basah sisa hujan tadi. Dinginnya berhasil menembus tulangku. Sepi dan
senyap. Hanya suara jangkrik yang terdengar sangat riuh. Bulu romaku berdiri,
menahan ketakutan yang lamat-lamat mengisi hati.
“Dimas?” tanyaku siaga.
“Kau Dimas?” kali ini, aku ulangi bertanya dengan kata yang tergetar. Tak bisa
kupungkiri lagi, ketakutan telah menjalar diseluruh tubuhku. Tubuhku bergidik
sendiri penuh ngeri.
“Iya, sayang...” balasnya
dengan tenang.
Lalu, ia mendekat.
Langkah demi langkahnya seperti timer bom yang siap meledak. Jika ia benar Dimas,
ingin sekali aku memeluknya. Tapi, ada ragu. Ketakutan yang aku sendiri tak
tahu datang dari mana.
“Kesini sayang, peluk aku.
Aku sangat merindukanmu,” kata-katanya seolah mampu menghipnotisku.
Ya, telak. Aku tak
peduli lagi ia setan atau bukan. Aku tak mau tahu ia mayat atau manusia hidup. Sekali
lagi, aku tak peduli!! Buncahan rindu yang menggerakkan kakiku untuk melangkah.
Mendekatinya. Memeluknya. Dan melepaskan rasa yang tersisa.
Terima kasih Tuhan...
Tubuh kami bertautan
erat. Tapi—
Tapi, aku merasa
dingin. Bukan hangat yang selalu Dimas berikan di setiap pelukan. Ya, aku yakin
ini bukan ia. Ini bukan pelukan Dimas. Ini orang lain!
“Lepas! Kau bukan
Dimas!” teriakku tiba-tiba sambil memaksa melepaskan pelukannya. Sial,
teriakanku ini dibalas oleh tawa keras menyeramkan.
"Kembalikan Hp
Dimas!" teriakku lagi sambil mundur beberapa langkah. Mataku semakin
terbelalak saat melihat wajahnya. Ia
benar-benar Dimas. Apa mungkin ia punya saudara kembar? Dimas?! Kenapa kau berubah seperti ini?!
"HP? Ini
milikku!" katanya sambil mendekatiku. “Dimas telah mati! Tak perlu kau
mencarinya. Kini hanya ada aku dan kamu. Karena aku tak perlu lagi jiwa lemah
seperti DIMAS!”
Ia menyeringai
tersenyum penuh nafsu. Aku takut. Keringat membanjiri tubuh. Namun, kakiku
terasa kaku, lidahku kelu. Aku ingin berlari, tapi ketakutan mengikat erat pijakan
ini. Melihatku tak berdaya, ia semakin tertawa. Tertawa sangat keras layaknya
monster.
“Kau siapa sebenarnya?”
tanya itu yang sedikit membuat aku mengulur waktu. Setidaknya langkahnya
terhenti saat pertanyaanku menyerbu. Benar, ia berhenti dan tampak berpikir.
Matanya menjadi sayu.
Tapi, buru-buru
beringas menguasainya kembali.
“Aku SAMID. S-A-M-I-D! Dimas
Sudah mati. Tubuh ini sekarang sepenuhnya milikku. Dan kau—
“Kau juga. Kau juga
kini milikku. Ya, Kau!!! Hahahaha... Rumusnya adalah—
“Milik Dimas adalah
milikku!!! Hahaha...”
Tidak. Mana mungkin—
Sebelum pria sakit ini
menangkapku, aku mencoba berlari. Tanpa menengok lagi ke belakang. Ya, aku
berlari dan terus berlari. Sambil berteriak aku berlari menuju pintu rahasia
sekolah. Dengan keluar, saatu-satunya cara aku bebas.
Tapi, saat akan melangkah
ke pintu sempit itu, tiba-tiba kakiku menghantam sesuatu yang keras. Sial, aku terjatuh.
Ingin aku berdiri, tapi
terlambat! tangan lelaki itu sudah mengunci erat lenganku. Aku meronta. Tapi,
sia-sia. Ia menarikku dalam dekapannya. Sangat kasar. Aku melawan, mencoba
lepas, tapi semakin melawan ia semakin murka. Ia melemparkanku hingga kutersungkur.
Ia mendekat. Meninju perutku. Aku menjerit lirih, merasakan pukulan kerasnya
diperutku. Ia belum berhenti. Ia kini menjambak rambutku, menariknya hingga
beberapa rambutku tercabut dan berdarah. Wajahku sekarang yang ia incar. Dengan
genggaman tangannya yang kuat ia meretakkan rahangku. Aku tak berdaya. Hanya
sakit yang kurasakan. Darah menetes dari kulit kepala dan wajahku. Semua terasa
perih.
Ya Tuhan... Tolong aku...
Ia malah begitu puas
melihatku tak berdaya.
###
Aku terkapar di tanah lapang sekolah. Dari
kejauhan kudengar sirine mendekat. Lelaki itu terlihat ketakutan. Ia bingung.
Suara sirine rumah sakit itu seperti siksaan buatnya. Ia masih ketakutan.
Menengok ke kanan ke kiri untuk menghindari sumber suara. Kemudian, ia berlari
menjauh. Menghindari suara itu.
Aku masih tersungur di
tanah basah sekolah. Melihat air hujan menjadi merah oleh darahku sendiri. Aku
ingin berteriak minta tolong, dan berkata—
“Orang sakit itu masih
di sini...”
Namun tenaga untuk
menggetarkan pita suara ini terasa telah habis. Aku hanya mampu memandang dari
sini, sebuah mobil rumah sakit jiwa yang hanya lewat begitu saja...
Dimas itu D.I.D o.o?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAnjiiirrrr gak ketebaakkk endingnya..aku pikir hantu atau ceweknya kena schizooo....ohhhh God kamu sughoi skali mas ips...kusuka kusuka 😍😍
BalasHapusMaaaas Ipuuul... wah wah wah.. Bacanya deg deg ser.. Hahaha
BalasHapusItu DImas apa deh..serem aku jadinya. Hahahhaha
Mas Ipul penuh kejutan memang kalau bikin cerpen hehehe kereeen!!!