Selasa, 20 Oktober 2015

Sang Pawang Hujan

Desa Sumbergede sudah seperti neraka. Terlalu panas untuk ukuran musim kemarau. Terik yang  begitu membakar kulit,  menyisakan sengatan yang teramat sakit. Belum lagi, kami harus rela berbaris untuk menunggu giliran menimba air di satu-satunya sumur yang masih keluar air.

Kemarau panjang ini memang cobaan buat kami, warga yang hanya bisa mengharapkan air dari langit. Desa miskin sungai, sebutan lain dari desaku. Nama desa yang juga sebuah doa dari para leluhur, sumber gede, sumber air yang besar, seperti tak ada pengaruh apa-apa. Nyatanya tiap musim ekstrim seperti ini, tak ada lagi panen, semua lahan kerontang terbakar habis oleh panas yang merong-rong hingga lapisan tanah terdalam. Gagal panen akan melemparkan warga Sumbergede ke kasta terndah. Tak ada panen berarti tak ada makan, pun tak ada uang. Kami juga harus bersiap lapar di batas musim ini. Padahal, sudah lama sekali paceklik seperti ini tak datang. Entah, apakah karena saat ini usiaku tepat 17 tahun, sehingga Tuhan memberikan cobaan ini?

Bukan bercanda, ini benar. Berumur tujuh belas tahun perempuan desa Sumbergede di musim paceklik seperti ini adalah kesialan. Meskipun, bagi warga ini justru sebaliknya sebuah anugerah. Tetap saja, aku tak sudi ikhlas dijadikan tumbal. Tepatnya, bukan tumbal, tapi semacam syarat untuk ritual mengundang hujan. Meskipun mereka mengagung-agungkan namaku sebagai pahlawan kampung. Rasanya tak setimpal. Aku malah merasa sebenarnya hanyalah korban. Ah, tapi aku terlalu lemah, tak sanggup membela diriku sendiri. Parahnya lagi, orang tua kandungku pun begitu khusyuk mengikuti ritual bodoh ini.

”Emak dan Bapakmu iki bangga, Nduk, anak gadis emak  terpilih dadi pahlawan desa.”

###

Prosesi pengiringanku ke seluruh penjuru desa sebagai syarat memanggil hujan telah usai. Dengan dandanan menor ala sinden, aku di bopong dengan kerenda dan diikuti oleh semua warga desa untuk berkeliling. Aku benar-benar mengutuk ritual minta hujan ini. Bukankah agama telah mengajarkan cara yang benar, dengan berdoa kepada sang Khalik dengan shalat? Bukan malah percaya dengan kata-kata Mbah Blendet itu.

"Ora opo-opo Nduk. Iki kan cuma syarat dari pawang to?" ucap Emak yang lebih terasa membujuk, sebelum pengiringanku berlangsung. Ya, Emak memang salah satu kubu pro Mbah Blendet, dari dulu.

Setelah diiring ke seluruh kampung, aku diturunkan dari keranda di depan rumah Mbah Blendet sang Pawang hujan desa. Gubuk reot kayu bambu dengan atap yang masih terbuat dari jerami ini terlihat sangat menyeramkan. Layaknya rumah-rumah dukun dengan seperangkat aksesorisnya, aura mistis berhasil membiusku seketika saat berhasil masuk di serambi rumah beralaskan tanah retak-retak.

"Ayo, suruh masuk! Tak resikkane jiwane! kata Mbah Blendet kepada salah satu warga. "Kalian kumpulah ke tanah lapang, enteni. Setelah ritual ini selesai, hujan akan membasuh Sumbergede sing kekeringan iki."

"Njih Mbah," serentak seluruh warga desa yang sudah putus asa menanti hujan tiba menjawab. Lalu mereka berbondong-bondong pergi. Meninggalkanku sendiri.

Pintu dari bambu apus yang telah kering tersusun tegak itu berbunyi ringkih saat tangan keriput dengan kesepuluh jarinya berakik menutup kembali. Kini, aku telah berada di rumah yang gelap dan pengap. Hanya lampu teplok yang sedikit memberikan cahaya remang-remang di rumah kecil minim perabot ini. Cuma ada kami berdua, mungkin beribu jin yang tak bisa kulihat juga berjubal di rumah angker ini.

Mbah Blendet mempersilakan aku untuk tidur di satu-satunya dipan yang usang dan berdebu. Di atasnya terpasang kain kelambu yang telah berlubang di ujung-ujungnya. Aku sedikit ragu, tapi pawang hujan yang telah bungkuk ini berhasil memaksaku dengan sorot matanya yang cuma tinggal satu.

Aku terlentang, memikirkan apa yang dulu dirasakan gadis-gadis lain sebelumku di rumah ini. Aku tak tahu ritual pembersihan itu apa. Hanya mengikuti semua ritualnya saja—meskipun dengan terpaksa, demi Emak dan Bapak. Pun, seluruh warga Sumbergede.

Ah....

Aku tersentak. Kaget. Tubuhku terbangun seketika saat jemari kasar Mbah Blenet menyentuh kulitku. Tentu saja, aku menggigil jijik, melihat tua bangka ini sudah  telanjang di depan dipan. Tanpa sehelai kainpun. Lalu, tanpa malu dia mencoba menindih lagi pahaku. Aku menghindar cepat. Akibat gerakanku yang tak diprediksi, dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjungkal di dipan.

Mbah Blendet bangkit penuh murka. Menyeringai, luber benci. Wajah rusaknya berhasil membuatku merinding.

“Wani-wanine kamu, Nduk! Ayo, buka bajumu sekarang! perintahnya dengan tangan yang ingin merengkuh kainku."

"Tidak Iblis!" kataku lantang.

"Perlawananmu  iki sia-sia! Warga Desa ini terlalu goblok untuk percaya padamu, gadis tumbal! Mereka percaya kepadaku. Blendet sang pawang!!!”

Entah kenapa aku begitu sangat marah mendengar perkataan kakek-kakek di depanku. Ketakutan yang menjalar di tubuhku tadi, seketika lenyap dan menguap tak bersisa. Imanku membaja, mendengus berahi lelaki uzur ini. Aku merasa keputusanku benar, selalu  menolak ritual ini. Ya, aku belum mau terlempar ke dalam dosa syirik yang dengan apik telah dirancang iblis berwujud manusia peyot ini.

"Aku tak takut! Aku punya Tuhan yang akan memberiku hujan! Bukan kamu!!"

“Mintalah sekarang kepada Tuhanmu itu! Coba, tunjukkan padaku!" katanya penuh ejekan.

Hatiku terasa terbakar, kesombongan manusia ini membuatku kalap. Dalam hati aku berdoa dengan penuh harap, memohon dengan segala kerendahan hatiku sebagai mahluk yang tak punya kuasa apa-apa terhadap semua takdir-Nya. Aku terus berdoa dalam hati, minta hujan hari ini.

"Mana? Mana? Mana hujannya?”

Aku kembali memohon dengan semua kepasrahan diri. Meminta dengan seindah-indahnya harap dan setulusnya permintaan.

Alhamdulillah, usahaku berbuah. Halilintar menyambar dengan gagah. Langit yang cerah mendadak pekat dirajut mendung rapat.

"Lihat! Hari ini akan hujan! Kau terlalu sombong, Mbah!" balasku ketus kini penuh senyum kemenangan.

Tak kusangka tawa Mbah Blendet malah terdengar keras. Wajah seramnya itu kini penuh hinaan, berucap lantang. "Kamu itu bodoh! Ya, bodoh. Semua gadis yang pernah disini semua bodoh!" tawanya kembali menggema. Kemudian dia mendekatiku. "Aku juga percaya pada Tuhanmu itu kok! Dan percaya hari ini juga akan turun hujan! Tapi, sayangnya warga kampung ini yakin kalau hujan itu dariku, bukan dari doa-doa kalian gadis tolol!”

Aku mematung, mencerna perkataan iblis bertopeng manusia ini. Ya Allah, pantas saja, ritual ini terus berjalan sampai sekarang. Ternyata doa gadis-gadis yang terdzalimi lah yang membuka langit untuk menurunkan hujan, air mata merekalah yang membuat tanah desa ini basah dengan rahmat Tuhan.

"Akan kuhentikan doaku segera?!"

“Tunggu... Tunggu. Yakin? Nak, kamu sanggup silakan. Sak iki aku takon, apa kamu tega menghancurkan kebahagiaan mereka yang kini sedang berbahagia karena mendung sudah terlihat? Apa kamu iyo kuat, melihat hujan membasahi tanah panas desamu ini, tak jadi? Kau berdoa buruk, sama saja menodai kebehagiaan mereka," ancam iblis ini benar-benar membuatku bimbang.

Ya, mana mungkin aku menarik kembali permohonanku kepada Tuhan? Mana mungkin aku merusak kebahagiaan warga sekarang?

"Kalau gitu, akan kudoakan kau mati sekarang juga, Mbah!"

"Tolol, umur manusia sudah ditulis dari sebelum lahir. Apa bisa diminta lewat doa?" jawab Mbah Blendet semakin merendahkan.

Ya Allah... tolong hamba-Mu ini...
Doaku menyerah dan hanya bisa menangis perih, kala terdengar teriakan seluruh warga menyambut tetesan air hujan sambil meneriakkan nama Mbah Blendet.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar