Sabtu, 23 Maret 2013

#2 Day is U

Senja kota Jakarta mengantarkan Dayu kembali ke dunia nyata. Menyudahi petualangan imajinasi yang menguras separuh tenaganya. Dengan berat ia bangkit, melemaskan otot-ototnya yang kaku. Tubuh semampai itu kemudian beranjak, melangkah mendekati jendela apartemen. Matanya lurus memandang ke luar, menikmati sisa-sisa mentari yang temaram. Melihat lukisan Tuhan itu, bibirnya tersenyum. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur, karena sore itu ia seperti mendapatkan semangat baru. Dia sudah lama menantikan momen ini. Sayang, kesempatan langka itu tak berlangsung lama. Lukisan yang tergelar itu seketika menguap, saat janji makan malam dengan Rama mencuat.

Perlahan kegelapan mulai menggerogoti senja. Bersiap melumat habis ibu kota. Lampu-lampu di sekitar apartemen Dayu mulai berpendar. Acak. Seperti laskar kunang melayang. Dayu selesai berbenah. Tidak ada yang spesial dari penampilannya malam itu. Dress casual berwarna merah dengan round neck berbahan renda membungkus apik tubuh tingginya. Lekukan pada pinggang rampingnya ditonjolkan dengan skinny belt hitam, membuatnya terlihat semakin sempurna. Karena ia sadar akan tingginya di atas rata-rata, dia memutuskan untuk memakai ballet flash shoes. Namun, satu alasan mutlak kenapa ia lebih suka dengan sepatu trepes itu adalah karena baginya sangat mahal harga sebuah ‘kenyamanan’. Dia tidak ingin makan malamnya rusak hanya karena kaki yang pegal oleh hak tinggi. Sangat sayang jika betisnya harus tersiksa semalaman hanya karena salah memilih sepatu.  

Semenjak menjadi wakil Pemred di majalah wanita, Dayu memang semakin mengikuti tren fashion terkini. Meskipun tidak sampai menjadi korban mode, namun secara tak sadar ia telah bermetamorfosis menjadi kaum fashionista. Baginya, bisa membuat setiap penampilannya selalu memukau khalayak adalah sunnah muakkad hukumnya.

Resto biasa. Malam biasa. Dan orang biasa. Nothing special!!  Gerutu Dayu dalam hati. Namun dia berusaha menjadi pasangan yang profesional, dapat menepati janji yang terlanjur ia ikrarkan meski setengah hati. 

Kenapa sih kamu begitu membosankan? Bikin males aja keluar sama kamu!  
Dengan lesu ia melangkah keluar kamar. Sambil berlalu, ia sedikit melirik kaca besar di dinding ruangan, memeriksa kembali apakah penanpilannya sudah benar-benar terlihat sempurna

Dayu tertegun ketika membuka pintu apartemen. Matanya tertuju pada bunga dan sebuah kotak merah yang berada tepat di bawah pintu. Dia mengambil bunga mawar putih yang hampir layu itu. Sejak kecil, mawar putih memang menjadi bunga kesukaannya. Dengan tergesa dan penuh tanda tanya, dia mencari nama pengirim paket romantis itu. Sia-sia, Dia tidak menemukan apapun dalam kotak ataupun bunga itu. Tapi, kemudian ia ingat, bahwa hanya Rama-lah satu-satunya orang yang tahu kalau ia sangat suka mawar putih. Mungkinkah kamu, Mas??

Tangannya langsung merogoh Hermes Birkin hitamnya, mencari handphone yang entah terselip dimana. Dengan gesit tangan putih itu terus mencari, mengobrak-abrik isi dalam tas branded itu. Tak sampai dua menit, akhirnya ia berhasil menggenggam hp yang sempat membuatnya emosi. telunjuknya langsung menyentuh phonebook dengan lincah. Memencet dengan sedikit tekanan ekstra pada nama Mas Rama.
            Hallo, mas, tadi ke rumah?”
            Lalu suara berat khas Rama terdengar, kata-katanya dulu selalu dapat menenangkan Dayu, “Iya, tadi mas ke apartemen kamu Yu!”
            “Grrr...Day, mas! Bukan Yuyu!” teriak Dayu cepat. “Kamu bawa bunga? Kok layu? Kenapa gak pencet bel? Niat ke rumah gak sih?” terocos Dayu tanpa bisa ngerem.
            “Sudah pencet bel Day. Tapi kayaknya kamu gak denger deh.”
            “Oh, aku kan tadi lagi nulis novel, biasa keasyikan!” kata Dayu tulus.
            “Malam ini jadi kan? Aku tunggu di tempat biasa Yu, eh Day?”
            “Dayu,Mass! bukan Yuyuuu!” teriak Dayu emosi.
            “Sorry..sorry.. Sampai ketemu yah D.A.Y.U...” 

Kata-kata “aku tunggu di tempat biasa” dari Rama berarti pria berbadan tegap itu telah sampai dan menunggu Dayu di Pendoro Kemang, sebuah restoran favorit mereka berdua. Restoran dekat apartemen Dayu itu masih tetap menjadi tempat nomor wahid setting kisah cinta mereka di Jakarta. Sampai kini pun, belum ada tempat lain yang sanggup menggeser posisi itu. Satu alasan yang membuat tempat di daerah Kemang itu menjadi favorit mereka adalah karena Pendoro Kemang menyajikan menu khas masakan Jawa. Tentunya lidah orang jawa akan langsung menggeliat jika melihat dan mencium aroma santapan khas daerahnya sendiri, tak terkecuali buat Dayu dan Rama. 

Selain masakannya yang pas di lidah, interior restoran Pendoro Kemang juga ditata dan dibangun persis seperti rumah-rumah joglo di kampung Jawa. Sensasi berasa makan di kampung sendiri juga yang membuat mereka betah berlama-lama di sana. Intensitas pertemuan yang tinggi di Pendoro Kemang, membuat cinta mereka seperti terikat oleh restoran itu. Meskipun, akhir-akhir ini Dayu tidak begitu antusias lagi jika akan pergi ke sana. Bukan karena resep makanan di restoran itu yang berubah, tetapi lebih karena ia bosan! Bosan pergi bersama Rama.

            Honda jazz Dayu meluncur dari basement apartemen menuju kawasan Kemang Selatan. Sebelum keluar dari area Kemang Village, ia harus melalui dulu bentangan hektar bangunan menjulang lain. Apartemen Dayu berada di tower ke tiga dari gerbang hunian itu. The Sunset Tower  menjadi pilihannya. Karena dari jendela apartemennya sekarang, dia bisa melihat pemandangan Jakarta yang luar biasa. Dan dari ruang kerjanya pula, ia bisa melihat komposisi keteraturan kota dengan langit senja sebagai latarnya. Perpaduan magis itulah yang membuat inspirasi menulisnya kian terkucur. Apalagi tower itu memang di desain khusus bagi para penikmat senja, seperti dirinya. 

Panorama terbenamnya mentari dalam semburat oranye langit Jakarta menjadi nilai tersendiri bagi para penghuni Sunset Tower. Keindahan itulah yang tak pernah ingin Dayu lewatkan setiap hari. Namun, ia harus rela melewati momen-momen berharga itu. Karena kesibukan kini telah menjarah waktunya. Lagian matahari juga tidak mungkin bisa ia ajak kompromi. Dayu kecewa, lagi-lagi  harus bergelut dengan kesibukannya  sebagai wanita karir.

Dari the Sunset Tower, perlu melewati dua tower lain di sebelahnya untuk bisa keluar dari kawasan Kemang Village. Tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya tiga puluh menit, mobil Dayu sudah berada di area parkir Pendoro Kemang. Setelah memarkir mobil merahnya, ia langsung membaur dengan para pengunjung. Tidak menjadi pemandangan yang aneh jika ada beberapa bule yang makan malam di restoran Jawa itu, maklum di area hunian yang Dayu tinggali banyak juga para expatriat. 

Langkah Dayu begitu mantap, tidak cepat dan tidak juga lambat. Setiap langkah yang dibuat kaki jenjangnya seolah memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Bak, the next top model di atas red carpet, dia berjalan dengan elegant. Ballet Flash shoes-nya berhenti di sebuah rumah joglo. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari wajah yang ia kenali. 

Di Pendoro Kemang, terdapat tiga bangunan rumah Joglo. Pengunjung akan langsung disambut dengan suasana khas Jawa saat memasuki area restoran itu. Dayu mencoba memasuki Joglo yang pertama, meskipun ia datang di malam hari, namun pohon-pohon yang tumbuh di Pendoro Kemang tidak lantas membuat tempat itu terasa angker, melainkan nyaman dan tenang.

Saat masuk ke dalam, Dayu langsung disambut dengan kursi-kursi kayu yang ditata teratur. Beberapa bingkai kayu, lukisan, dan ukiran kaca juga langsung menyapanya. Penerangan dalam Joglo itu sengaja dipasang remang-remang, agar terkesan hangat dan akrab. Yang ia sangat suka dari barang antik di sana adalah lampu tua yang terpasang di pojok tiap ruang di joglo. Lampu di zaman Belanda itu, mirip seperti lampu yang dimiliki Ayahnya di Semarang. Makanya, Dayu serasa makan di rumah sendiri jika sedang berada di joglo restoran itu.

Dari beberapa meja kayu di depannya itu, seorang pria melambaikan tangannya. Dayu tidak tersenyum atau cemberut. Raut muka tanpa ekspresi yang diperlihatkannya. Dengan menaikkan sedikit dagunya, ia berjalan menuju meja tempat Rama duduk.

“Malam ini kamu cantik Yu, eh Day!” sapa pria berambut belah pinggir ala 50s style vintage.
“Jadi aku cantiknya cuman malam ini?” celetuk Dayu sambil duduk dan menyilangkan kaki mulusnya.
“Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kok ketus terus.  Aku jadi bingung.”
“Sebelumnya sorry, mas. Jujur, tiap jalan bareng mas Rama, aku tuh merasa gak nyaman. Gak enak.”
“Kenapa Day? Oh... kamu malu jalan bareng aku, yang cuman penjual batu bata? Kamu tuh sekarang angkuh!”
“Angkuh? Maksud Mas Rama?” Dayu merapikan poni rambutnya dengan tangan kananya, “aku tuh cuman males aja tiap kali memulai obrolan, pasti ntar akhirnya debat bahas penampilan, pekerjaan, gaji, gaya hidup. Aku bosen, Mas!”
“Ini baru ngobrol aja, kamu sudah membahas itu! Kena virus apa sih kamu Yu?”

Dayu menghembuskan nafasnya dengan keras. Ingin sekali mengakhiri topik pembicaraan yang tidak pernah kunjung ada solusi bagi hubungan mereka. Namun, pesanan favoritnya telah datang. Pasti Rama yang memesankan untuknya. Nasi gurih bebek, adalah menu kesukaan Dayu. Nasi gurih seperti nasi uduk yang disajikan dengan bebek goreng berdaging lembut. Dilengkapi dengan kering tempe, kering kentang, dan urap. Urapnya terdiri dari sayur bayam, kol, wortel, dan tauge yang masih segar. Bagi Dayu yang paling istimewa dari menu ini selain bebek gorengnya yang sangat gurih dan beraroma jahe,  adalah sambal yang luar biasa pas di lidah. Aroma menu kesukaannya itu berhasil menghilangkan sedikit kekesalannya pada Rama.

Rama memang sudah hafal semua yang menjadi favorit Dayu, lima tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal kekasihnya. Namun akhir-akhir ini ia  merasa ada yang hilang darinya. Kesederhanaan, keluguan, dan senyum tulusnya seperti telah raib ditelan masa. Padahal, dulu dia sangat ramah dan baik kepada siapa saja, bahkan kepada hewan dan tumbuhan. Rama ingat betul, saat akan mencabut tanaman di depan kostnya dulu, ia sampai didiamkan selama tiga hari oleh Dayu. Katanya, “tumbuhan pun berhak untuk hidup seperti manusia, jadi jangan asal mencabut tanaman!” Dari sejak itu, Rama semakin kagum dengan kebaikan hati kekasihnya. Dari awal kuliah Rama memang sudah sangat mengenal Dayu. Namun sekarang, gadis di depan matanya itu seakan tidak dia kenali lagi. 

Ada apa denganmu Yu?

Rama melihat mata Dayu dengan tatapan hangat dan penuh cinta. Baginya Dayu adalah segala-galanya. Rama bahkan rela melepas nyawanya demi untuknya. Atau, menukar kebahagiaannya sendiri dengan kebahagiaan sang belahan hati. Dia sungguh mencintai Dayu dengan semua kelebihan dan kekurangnnya. Dayu yang cerewet, pekerja keras, dan selalu menginginkan yang terbaik untuk hidupnya. Namun, hati Rama terasa perih ketika pertanyaan yang selalu sama muncul dari dalam sanubarinya.

Aapakah aku belum menjadi pria yang terbaik untukmu, Yu?
“Mulai boring deh! Pasti ngelamun!” kata Dayu dengan tangan masih memegang sendok. Kebiasaannya untuk menggunakan tangan saat makan sudah lama ia tinggalkan.
“Bukan ngelamun, ngelihatin kamu makan Day!” tampik Rama
“Makasih yah Mas buat bunga dan kalungnya. Tadi kutemuin di depan pintu”
“Suka?” tanya Rama dengan senyum yang sangat hangat. 

Mata elangnya menembus mata Dayu, hingga sepersekian detik mereka terlempar dalam pusaran dimensi tanpa gravitasi. Dayu seakan melayang. Ringan. Namun, dia begitu lihai dalam mengendalikan dirinya, mencoba tidak merasakan sensasi apa-apa atas tatapan Rama. Tapi, kali ini sepertinya dia gagal. Dengan samar-samar hasrat ingin mencium pipi Rama menyusup dalam relung jiwa. Pria berhidung mancung  di depannya itu telah berhasil membuatnya lena. Takut pertahanan dirinya roboh, Dayu terus menghindar dari mata Rama. Tapi, kekasihnya itu tetap tidak mau melepaskan tatapannya. 

Tiba-tiba tubuh Dayu merinding kedinginan, tanda ia haus akan kehangatan tubuh Rama. Dada bidang dibalik dress shirt warna khaki yang Rama pakai membuat ia hampir hilang kendali. Dayu ingin sekali merasakan pelukan Rama. Namun harga diri dan keangkuhannya berhasil menahan hasrat alaminya itu. Dia hanya bisa menekan kuat-kuat pegangan sendoknya.
“Suka kok mas.” Katanya dengan lunglai karena menahan hasrat yang sudah di ubun-ubun.
“Tapi, kok ekspresinya sedih gitu?” Tanya Rama masih dengan suara lembut dan beratnya. 

Tangan Rama menggenggam jemari lentik Dayu. Genggamannya tidak terlalu erat, namun lembut dan hangat. Dayu merasakan aliran cinta kekasihnya, begitupula Rama yang ingin terus menyentuh kulit halus belahan jiwanya itu. Tidak peduli meski jantungnya berdetak hampir meledak. 

“Mas Rama, maaf atas sikapku selama ini. Jujur aku sendiri masih bingung dengan masa depan hubungan kita?” ucap Dayu terbata-bata.
“Bingung? Day, kita sudah lima tahun pacaran. Bukan waktu yang singkat!”
“Justru itu mas! Dengan waktu selama itu saja aku belum berhasil membuat Mas Rama sadar.”
“Sadar dari apa? Plis Day! Jangan membuatku bingung!” tangan mereka terlepas. Jemari mereka kini tak bertaut.
“Itulah kamu mas! Gak peka! Gak ngerti!” kata Dayu tegas, tangannya sesekali mengibaskan poni yang menjulur di keningnya. Pertanda dia sedang emosi.
“Dayu yang dulu adalah dayu yang bisa nerima aku apa adanya. Penampilanku, kekakuanku, dan semua keadaanku ini!”
“Itu duluuu, mas!”
“Dulu, kemarin, dan sekarang aku tetap cinta kamu apa adanya!” Potong Rama cepat.
“Tapi zaman terus berubah, sekarang sudah zaman traktor bukan kebo! Tapi mas Rama masih milih Kebo!?” ucap Dayu dengan nada tinggi dan mimik menghina.
“Jadi aku harus seperti apa? Ikut karaoke tiap weekend? Clubbing kalau sedang stress, bergaya ala model pria di majalah mens helath? Itu bukan aku Dayu!”
“Kamu tuh Gak Up to date banget sih Mas.”
“Apakah diwajibkan harus Up to date untuk mencintai seseorang?”
Please! Stop! Terserah, pikirin sendiri sebenarnya apa masalah kita! Baru kita ngomong lagi!”
Dayu beranjak dan merogoh tas hitam-nya, mengeluarkan dan meletakkan sekotak berisi kalung berbandul kaca berisi mutiara di meja. Tanpa berkata-kata lagi Dayu melangkah dengan tergesa keluar dari Joglo itu. 

“Dayuuuuu!! Tungguuu!! Dayuuu!!” 

Teriakan Rama tak digubrisnya, entah berapa kali Rama memanggilnya untuk kembali, Dayu tak ambil pusing dan tetap melaju dengan langkah yang semakin anggun dan percaya diri.

Melihat kekasihnya pergi, Rama mematung. Wedang jahe di depannya sudah tak mengepul, namun sekarang kepalanya yang serasa berasap. Hatinya hancur, tapi tidak melebur. Mata Rama begitu panas ketika seseorang pelayan menghampiri mejanya dengan kue tart di kedua tangannya. Kue kesukaan Dayu itu diletakkan lilin berbentuk angka 24. Rama hanya terdiam, ketika kejutannya itu gagal dan menjadi sembilu dalam hatinya. Luka itu menganga saat pelayan meletakkan kue di meja. Namun tetes-tetes air mata Rama tidak sempat jatuh, hanya menggantung di kelopak mata. Batinya berucap lirih.
Selamat ulang tahun Dayu...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar