Senja kota Jakarta mengantarkan Dayu kembali ke dunia nyata. Menyudahi petualangan
imajinasi yang menguras separuh
tenaganya. Dengan berat ia bangkit, melemaskan otot-ototnya yang kaku. Tubuh semampai itu kemudian beranjak, melangkah mendekati
jendela apartemen. Matanya lurus memandang ke luar, menikmati
sisa-sisa mentari
yang temaram. Melihat lukisan Tuhan itu, bibirnya tersenyum. Tak
henti-hentinya dia mengucap syukur, karena sore itu ia seperti mendapatkan
semangat baru. Dia sudah lama menantikan momen ini. Sayang,
kesempatan langka itu tak berlangsung lama. Lukisan yang
tergelar itu seketika menguap, saat janji makan malam dengan Rama mencuat.
Perlahan kegelapan mulai menggerogoti senja. Bersiap
melumat habis ibu kota. Lampu-lampu di sekitar apartemen Dayu mulai berpendar.
Acak. Seperti laskar kunang melayang. Dayu selesai berbenah. Tidak
ada yang spesial dari penampilannya malam itu. Dress casual berwarna merah dengan round neck berbahan renda membungkus
apik tubuh tingginya.
Lekukan pada pinggang
rampingnya ditonjolkan dengan skinny belt
hitam, membuatnya terlihat semakin sempurna. Karena
ia sadar akan
tingginya di
atas rata-rata, dia memutuskan untuk memakai
ballet
flash shoes. Namun, satu alasan mutlak kenapa ia lebih suka dengan
sepatu trepes itu adalah karena baginya sangat mahal harga sebuah ‘kenyamanan’.
Dia tidak ingin makan malamnya rusak
hanya karena kaki yang
pegal oleh
hak tinggi. Sangat sayang jika betisnya harus tersiksa
semalaman hanya karena salah memilih sepatu.
Semenjak menjadi wakil Pemred di majalah
wanita, Dayu memang semakin mengikuti tren fashion terkini. Meskipun tidak sampai menjadi
korban mode, namun secara tak sadar
ia telah bermetamorfosis menjadi kaum fashionista.
Baginya, bisa membuat setiap
penampilannya selalu
memukau khalayak adalah sunnah
muakkad hukumnya.
Resto biasa. Malam biasa. Dan orang biasa.
Nothing special!! Gerutu
Dayu dalam hati. Namun
dia berusaha menjadi pasangan
yang profesional, dapat
menepati janji yang terlanjur ia
ikrarkan meski setengah hati.
Kenapa sih kamu begitu
membosankan? Bikin males
aja keluar sama kamu!
Dengan lesu ia melangkah keluar kamar. Sambil berlalu, ia
sedikit melirik kaca besar di dinding
ruangan, memeriksa kembali apakah
penanpilannya sudah benar-benar
terlihat sempurna.
Dayu tertegun ketika membuka pintu apartemen.
Matanya tertuju pada bunga dan sebuah kotak merah yang berada tepat di bawah pintu. Dia
mengambil bunga mawar putih yang hampir layu itu. Sejak kecil, mawar putih
memang menjadi bunga kesukaannya. Dengan tergesa dan penuh tanda tanya,
dia mencari nama pengirim paket
romantis itu. Sia-sia, Dia tidak menemukan
apapun dalam kotak ataupun bunga itu. Tapi, kemudian ia ingat, bahwa hanya Rama-lah
satu-satunya orang yang tahu kalau
ia sangat suka mawar putih. Mungkinkah kamu, Mas??
Tangannya langsung merogoh Hermes Birkin hitamnya, mencari
handphone yang entah terselip dimana. Dengan gesit tangan putih itu terus
mencari, mengobrak-abrik isi dalam tas branded itu. Tak sampai dua menit, akhirnya
ia berhasil
menggenggam hp yang sempat membuatnya
emosi. telunjuknya langsung
menyentuh phonebook dengan
lincah. Memencet dengan sedikit tekanan
ekstra pada nama Mas Rama.
“Hallo, mas, tadi ke rumah?”
Lalu suara berat khas Rama
terdengar, kata-katanya dulu
selalu dapat menenangkan Dayu, “Iya, tadi mas ke apartemen kamu Yu!”
“Grrr...Day, mas! Bukan Yuyu!”
teriak Dayu cepat. “Kamu bawa bunga? Kok layu? Kenapa gak pencet bel? Niat ke
rumah gak sih?” terocos Dayu
tanpa bisa ngerem.
“Sudah pencet bel Day. Tapi kayaknya
kamu gak denger deh.”
“Oh, aku kan tadi lagi nulis
novel, biasa keasyikan!” kata Dayu tulus.
“Malam ini jadi kan? Aku tunggu di
tempat biasa Yu, eh Day?”
“Dayu,Mass! bukan Yuyuuu!” teriak Dayu emosi.
“Sorry..sorry.. Sampai ketemu yah
D.A.Y.U...”
Kata-kata “aku tunggu di tempat biasa” dari
Rama berarti pria berbadan tegap itu telah sampai dan menunggu Dayu di Pendoro Kemang, sebuah
restoran favorit
mereka berdua. Restoran
dekat apartemen Dayu itu masih tetap menjadi tempat
nomor wahid setting kisah cinta mereka di Jakarta. Sampai kini pun, belum ada tempat lain yang sanggup
menggeser posisi itu. Satu alasan yang
membuat tempat di daerah
Kemang itu menjadi favorit mereka adalah karena Pendoro Kemang menyajikan
menu khas masakan Jawa. Tentunya
lidah orang jawa akan langsung
menggeliat jika melihat dan mencium aroma santapan khas daerahnya sendiri, tak terkecuali buat Dayu dan Rama.
Selain masakannya yang pas di lidah,
interior restoran
Pendoro Kemang juga
ditata dan dibangun persis seperti rumah-rumah joglo di kampung Jawa. Sensasi berasa makan di kampung sendiri juga yang
membuat mereka betah
berlama-lama di sana. Intensitas
pertemuan yang tinggi di Pendoro Kemang, membuat cinta mereka seperti terikat oleh
restoran itu. Meskipun, akhir-akhir ini
Dayu tidak begitu antusias lagi
jika akan pergi ke sana. Bukan karena resep
makanan di restoran itu
yang berubah, tetapi
lebih karena ia bosan!
Bosan pergi bersama Rama.
Honda
jazz Dayu meluncur dari basement apartemen menuju kawasan Kemang Selatan.
Sebelum keluar dari area Kemang
Village, ia harus melalui
dulu bentangan hektar bangunan menjulang lain. Apartemen Dayu berada di tower
ke tiga dari gerbang hunian itu. The Sunset Tower menjadi pilihannya. Karena dari jendela apartemennya
sekarang, dia bisa
melihat pemandangan Jakarta yang
luar biasa. Dan dari ruang kerjanya pula, ia bisa melihat komposisi
keteraturan kota dengan langit
senja sebagai latarnya. Perpaduan magis itulah yang
membuat inspirasi
menulisnya kian terkucur. Apalagi tower itu memang di desain khusus bagi para
penikmat senja, seperti dirinya.
Panorama terbenamnya
mentari dalam semburat
oranye langit Jakarta menjadi nilai tersendiri bagi para penghuni Sunset Tower.
Keindahan itulah yang tak pernah ingin Dayu lewatkan setiap
hari. Namun, ia harus rela melewati
momen-momen berharga itu. Karena kesibukan kini telah
menjarah waktunya. Lagian matahari juga tidak mungkin bisa ia ajak
kompromi. Dayu kecewa, lagi-lagi harus
bergelut dengan kesibukannya sebagai wanita karir.
Dari the Sunset Tower, perlu
melewati dua tower lain di sebelahnya untuk bisa keluar dari kawasan Kemang Village. Tidak
membutuhkan waktu yang lama, hanya tiga puluh menit, mobil Dayu sudah berada di area
parkir Pendoro Kemang. Setelah memarkir mobil merahnya, ia langsung membaur dengan para
pengunjung. Tidak menjadi pemandangan yang aneh jika ada beberapa bule yang makan malam di restoran Jawa itu,
maklum di area hunian yang Dayu tinggali banyak juga para expatriat.
Langkah Dayu begitu mantap, tidak cepat dan
tidak juga lambat. Setiap
langkah yang dibuat kaki
jenjangnya seolah memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Bak,
the next top
model di atas red carpet, dia berjalan
dengan elegant. Ballet Flash shoes-nya berhenti di
sebuah rumah joglo. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari wajah
yang ia kenali.
Di Pendoro Kemang, terdapat tiga bangunan rumah Joglo. Pengunjung akan langsung disambut dengan suasana khas
Jawa saat memasuki area restoran itu. Dayu mencoba memasuki Joglo
yang pertama, meskipun
ia datang di malam hari, namun
pohon-pohon yang tumbuh di
Pendoro Kemang tidak lantas
membuat tempat itu terasa angker, melainkan
nyaman dan tenang.
Saat masuk ke dalam, Dayu langsung disambut
dengan kursi-kursi kayu yang ditata
teratur. Beberapa bingkai kayu,
lukisan, dan ukiran kaca juga langsung menyapanya. Penerangan
dalam Joglo itu sengaja
dipasang remang-remang, agar terkesan
hangat dan akrab. Yang ia
sangat suka dari barang antik di sana adalah lampu
tua yang terpasang
di pojok tiap ruang di joglo. Lampu
di zaman Belanda
itu, mirip seperti lampu yang
dimiliki Ayahnya
di Semarang. Makanya, Dayu serasa makan di rumah sendiri jika sedang berada di
joglo restoran itu.
Dari beberapa meja kayu di depannya itu, seorang pria
melambaikan tangannya. Dayu tidak tersenyum atau cemberut. Raut muka tanpa
ekspresi yang diperlihatkannya. Dengan
menaikkan sedikit dagunya, ia berjalan menuju
meja tempat Rama duduk.
“Malam ini kamu cantik Yu, eh Day!” sapa pria
berambut belah pinggir ala 50s style
vintage.
“Jadi aku cantiknya cuman malam ini?” celetuk
Dayu sambil duduk dan menyilangkan kaki mulusnya.
“Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kok ketus
terus. Aku jadi bingung.”
“Sebelumnya sorry, mas. Jujur, tiap jalan
bareng mas Rama, aku tuh merasa gak nyaman. Gak enak.”
“Kenapa Day? Oh... kamu malu jalan bareng aku,
yang cuman penjual
batu bata? Kamu tuh sekarang angkuh!”
“Angkuh? Maksud Mas Rama?” Dayu merapikan poni
rambutnya dengan tangan kananya, “aku tuh cuman males aja tiap kali memulai
obrolan, pasti ntar akhirnya debat bahas penampilan, pekerjaan, gaji, gaya
hidup. Aku bosen, Mas!”
“Ini baru ngobrol aja, kamu sudah membahas
itu! Kena virus apa sih kamu Yu?”
Dayu menghembuskan nafasnya dengan keras. Ingin sekali mengakhiri topik
pembicaraan yang tidak
pernah kunjung ada solusi bagi hubungan mereka. Namun, pesanan favoritnya telah datang.
Pasti Rama yang memesankan untuknya.
Nasi gurih bebek, adalah menu
kesukaan Dayu. Nasi gurih seperti nasi uduk yang disajikan dengan
bebek goreng berdaging lembut. Dilengkapi
dengan kering tempe, kering kentang, dan urap. Urapnya terdiri dari sayur bayam, kol,
wortel, dan tauge yang masih segar. Bagi Dayu yang paling istimewa dari menu
ini selain bebek gorengnya yang sangat gurih dan beraroma jahe, adalah sambal yang luar biasa pas di lidah.
Aroma menu kesukaannya
itu berhasil menghilangkan
sedikit kekesalannya pada Rama.
Rama memang sudah hafal semua yang menjadi
favorit Dayu, lima tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal kekasihnya.
Namun akhir-akhir ini ia merasa ada yang hilang darinya. Kesederhanaan,
keluguan, dan senyum tulusnya seperti
telah raib ditelan masa. Padahal, dulu dia sangat ramah dan baik kepada siapa
saja, bahkan kepada hewan dan tumbuhan. Rama ingat betul, saat akan mencabut tanaman di depan
kostnya dulu, ia sampai didiamkan selama tiga hari oleh Dayu. Katanya, “tumbuhan
pun berhak untuk hidup seperti manusia, jadi jangan asal mencabut tanaman!”
Dari sejak itu, Rama semakin kagum dengan kebaikan hati kekasihnya. Dari awal
kuliah Rama memang sudah sangat mengenal
Dayu. Namun sekarang,
gadis di depan matanya itu seakan tidak dia kenali lagi.
Ada apa denganmu Yu?
Rama melihat mata Dayu dengan tatapan hangat
dan penuh cinta. Baginya Dayu
adalah segala-galanya. Rama bahkan
rela melepas nyawanya demi untuknya. Atau, menukar kebahagiaannya sendiri
dengan kebahagiaan sang belahan hati. Dia sungguh mencintai Dayu dengan semua kelebihan dan kekurangnnya.
Dayu yang cerewet, pekerja keras, dan selalu menginginkan yang terbaik untuk
hidupnya. Namun, hati Rama terasa perih ketika pertanyaan yang selalu sama muncul dari dalam
sanubarinya.
Aapakah aku belum
menjadi pria yang terbaik untukmu, Yu?
“Mulai boring deh! Pasti ngelamun!” kata Dayu
dengan tangan masih memegang sendok. Kebiasaannya untuk menggunakan tangan saat
makan sudah lama ia tinggalkan.
“Bukan ngelamun, ngelihatin kamu makan Day!”
tampik Rama
“Makasih yah Mas buat bunga dan kalungnya.
Tadi kutemuin di depan pintu”
“Suka?” tanya Rama dengan senyum yang sangat
hangat.
Mata elangnya menembus mata Dayu, hingga
sepersekian detik mereka terlempar dalam pusaran dimensi tanpa gravitasi. Dayu
seakan melayang. Ringan. Namun, dia begitu lihai dalam mengendalikan dirinya,
mencoba tidak merasakan sensasi apa-apa atas tatapan Rama. Tapi, kali ini sepertinya dia
gagal. Dengan samar-samar
hasrat ingin mencium pipi Rama menyusup
dalam relung jiwa.
Pria berhidung mancung di depannya itu telah berhasil membuatnya lena. Takut pertahanan dirinya
roboh, Dayu terus menghindar dari mata Rama. Tapi, kekasihnya itu tetap tidak
mau melepaskan tatapannya.
Tiba-tiba tubuh Dayu merinding kedinginan, tanda ia haus akan kehangatan tubuh Rama. Dada
bidang dibalik dress shirt warna
khaki yang Rama pakai membuat ia
hampir hilang kendali. Dayu ingin
sekali merasakan pelukan Rama. Namun harga diri dan keangkuhannya berhasil
menahan hasrat alaminya itu. Dia hanya bisa menekan
kuat-kuat pegangan sendoknya.
“Suka kok mas.” Katanya dengan lunglai karena
menahan hasrat yang sudah di ubun-ubun.
“Tapi, kok ekspresinya sedih gitu?” Tanya Rama
masih dengan suara lembut dan beratnya.
Tangan Rama menggenggam jemari lentik Dayu.
Genggamannya tidak terlalu erat, namun lembut dan hangat. Dayu merasakan aliran
cinta kekasihnya, begitupula Rama
yang ingin terus menyentuh kulit halus belahan jiwanya itu. Tidak peduli meski jantungnya berdetak hampir meledak.
“Mas Rama, maaf atas sikapku selama ini. Jujur
aku sendiri masih bingung dengan masa depan hubungan kita?” ucap Dayu
terbata-bata.
“Bingung? Day, kita sudah lima tahun pacaran.
Bukan waktu yang singkat!”
“Justru itu mas! Dengan waktu selama itu saja aku
belum berhasil membuat Mas Rama sadar.”
“Sadar dari apa? Plis Day! Jangan membuatku
bingung!” tangan mereka terlepas. Jemari mereka kini tak bertaut.
“Itulah kamu mas! Gak peka! Gak ngerti!” kata
Dayu tegas, tangannya sesekali mengibaskan poni yang menjulur di keningnya.
Pertanda dia sedang emosi.
“Dayu yang dulu adalah dayu yang bisa nerima
aku apa adanya. Penampilanku, kekakuanku, dan semua keadaanku ini!”
“Itu duluuu, mas!”
“Dulu, kemarin, dan sekarang aku tetap cinta kamu apa adanya!”
Potong Rama cepat.
“Tapi zaman terus berubah, sekarang sudah
zaman traktor bukan kebo! Tapi mas Rama masih milih Kebo!?” ucap Dayu dengan
nada tinggi dan mimik menghina.
“Jadi aku harus seperti apa? Ikut karaoke tiap
weekend? Clubbing kalau sedang stress, bergaya ala model pria di
majalah mens helath? Itu bukan aku Dayu!”
“Kamu tuh Gak Up to date banget sih
Mas.”
“Apakah diwajibkan harus Up to date
untuk mencintai seseorang?”
“Please! Stop! Terserah, pikirin sendiri
sebenarnya apa masalah kita! Baru kita ngomong lagi!”
Dayu beranjak dan merogoh tas hitam-nya,
mengeluarkan dan meletakkan sekotak berisi kalung berbandul kaca berisi mutiara
di meja. Tanpa berkata-kata lagi Dayu melangkah dengan tergesa keluar dari
Joglo itu.
“Dayuuuuu!! Tungguuu!! Dayuuu!!”
Teriakan Rama tak digubrisnya, entah berapa
kali Rama memanggilnya untuk kembali, Dayu tak ambil pusing dan tetap melaju
dengan langkah yang semakin anggun dan percaya diri.
Melihat kekasihnya pergi, Rama mematung.
Wedang jahe di depannya sudah tak mengepul, namun sekarang kepalanya yang
serasa berasap. Hatinya hancur, tapi tidak melebur. Mata Rama begitu panas
ketika seseorang pelayan menghampiri mejanya dengan kue tart di kedua
tangannya. Kue kesukaan Dayu itu diletakkan lilin berbentuk angka 24. Rama
hanya terdiam, ketika kejutannya itu gagal dan menjadi sembilu dalam hatinya.
Luka itu menganga saat
pelayan meletakkan
kue di meja. Namun tetes-tetes air mata Rama tidak sempat jatuh, hanya
menggantung di kelopak mata. Batinya berucap lirih.
Selamat ulang tahun Dayu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar