Mengikuti acara ini bagi saya, seperti jodoh yang sudah
dipersiapkan Allah.
Saya selalu suka dengan diksi jodoh, untuk suatu hal,
peristiwa, atau semacam skenario yang kita sering sebut kebetulan (padahal itu
sebuah rencana dari-Nya) yang sangat memberi makna. Ya, begitu pula kesempatan
luar biasa yang saya dapatkan dua hari yang lalu di gedung megah Bank Indonesia
Provinsi Jawa Tengah. Tak pernah menduga, mungkin kalimat itu yang paling pas
untuk menceritakan titik awal saya bisa tersesat ikut dan bertemu dengan dua
pasang penulis yang menginspirasi Indonesia, Mbak Hanum Salsabiela Rais dan Mas
Rangga Almahendra.
Dimulai dari sebuah chatting Whatsapp seorang kawan satu
komunitas menulis Kampus Fiksi dan Rumpun Nektar. Isinya pun belum jelas, masuk
hari Selasa, 7 Juli pukul 15.10
Besok pagi Rumpun
Nektar ada acara nih, mau ikut kagak?
Tak langsung menanggapi, saya malah berpikir; pagi hari di
bulan puasa ada acara komunitas kepenulisan? Terbaca janggal, mengingat acara
tahun-tahun sebelumnya pasti buka bersama dan ngabuburit
bareng sambil melakukan hal yang bermanfaat (kegiatan komunitas yang sangat lumrah di bulan Ramadhan) Jadi, jawaban saya saat itu
hanya singkat.
Kok pagi? Acara apa, Glass? (Glass, Bukan berarti saya ngomong sama kaca, tapi kebetulan teman saya itu bernama Douglas)
Dan seperti jawaban sebelumnya, balasan Douglas tetap tidak
jelas. Jadi, akhirnya keputusan ikut atau tidaknya saya pending sampai besok, tanggal 8 Juli 2015 sebelum pukul 9 pagi, waktu acaranya. (Seperti
memutuskan masalah negara saja, LAMA!)
Alhamdulillah, mungkin sudah takdir saya untuk datang, tanpa
banyak drama lagi akhirnya saya memutuskan untuk ikut juga. Pikiran positif
saya mengalahkan rasa malas dan kekhawatiran saya yang seharusnya tak perlu ada.
Maaf, sebelumnya kalau konten ini 90% curhat. Memang saya sering khawatir di pagi-pagi bulan ramadahan. Ya,
untuk pasien hemodialisa seperti saya, puasa di pagi hari ibarat seorang ibu
yang sedang mengalami morning sickness.
Mual, pusing, dan tidak nyaman. Baru, setelah matahari tepat di ubun-ubun dan
senja mulai terlihat, keadaan kurang nyaman itu akan kian membaik. Itulah yang
menjadi pertimbangan saya ketika mengikuti acara pagi hari.
Cukup curhatanya, dan lanjut!!!
Lantai delapan gedung megah Bank Indonesia menjadi setting
rasa penasaran dan pencarian jawaban atas pertanyaan saya, “ACARA APAAN SI INI?”
Mencurigakan sekali bukan? Terlalu mengundang banyak tanda tanya jika acara
jumpa komunitas diadakan di gedung sebuah Bank?
Ah, tanpa ba-bi-bu lagi akhirnya bibir saya tak tega untuk
lama diam dan terus menelan penasaran. IRUKA, penulis muda berbakat yang
merangkap lakon teater di semarang dan salah satu pengurus komunitas Rumpun
Nektar, akhirnya yang menjadi incaran mangsa saya. Mangsa untuk menjelaskan
tentang acara pagi itu.
“Ini tuh acara semacam bedah buku yang diadakan perpus BI,”
jawabnya dengan suara khas renyah yang kaya senyuman. Memperlihatkan behel
giginya yang mengkilap.
“Dan apa buku yang akan dibedah?” tanya saya masih tampang mirip
detektif kurang tidur yang terlalu tampan
“BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA!”
(Jedeerrr!!!)
Mungkin back sound
film horror Indonesia yang selalu berhasil mengagetkan itu paling pas untuk
mendukung keterkejutan saya setelah mendengar judul buku. Serasa perfect, jika ditambah zoom in dan zoom out tepat mengarah pada mulut saya yang menganga dan mata
saya yang membulat sempurna (Oke, stop.
Saya lebay. Dan ini bukan sedang menulis novel! Maaf)
“Lu kurang gaul banget ya Bang. Pasti belum tahu siapa Mbak Hanum
dan Mas Rangga? Kelihatan ekspresi lu kayak aktor gagal casting gitu!” tambah Douglas,
personil satu lagi dari kami yang songongnya minta ampun. Saya berani bertaruh, jika dia pasti
sering ditolak casting. Lah, tahu bener ekspresi aktor gagal. Sial! Meskipun menyebalkan, tapi saya tak lantas punya kesempatan untuk mengelak karena
pintu lift sudah terbuka dan kami bertiga langsung disambut oleh penerima tamu
dengan tiga map yang sudah dipersiapkan untuk para undangan.
Alhamdulillah, bisik
saya dalam hati penuh syukur menerima map berwarna favorit saya, merah
Lalu, saya, Douglas, dan Iruka pun masuk dan langsung
mengincar kursi depan. Namun sayang, seperti naksir cewek yang cantik dan
pintar tapi sial, unavailable lagi,
begitulah perasaan saya ketika kursi depan telah penuh terisi. Saya pun belajar
rela menerima, ikhlas, legowo, dan tetap semangat meski duduk di barisan ketiga
kolom ketiga. Ya, pelajaran move on
saya dapatkan dari kasus kecil kursi ini. #tsah
Sebuah trailer buku National Best Seller, Bulan Terbelah di
Langit Amerika menjadi suguhan pertama kami para peserta. Setting tempat-tempat
di benua yang ditemukan Coloumbus itu disajikan dengan kilatan cepat. Diawali
dengan sound yang tak kalah menghentak. Cepat. Dan membuat sensasi thrilling
sedikit terasa dan kental. Namun, setelahnya lagu New York New York dari
penyanyi kawakan jazz America, Frank Sinatra yang landai dan earchatching mengalun enak. Memberikan
gambaran perjalanan kota yang sangat jelajahi-able
menarik untuk dijelajahi.
Tak lama, hanya sekitar lima menit setelah puas menikmati
trailer yang memecut rasa penasaran dengan buku yang mangangkat historical fiction yang dipadu dengan
isu sensitif deskriminasi muslim setelah peristiwa pengeboman WTC 11 September
2001 di Amerika, sang moderator, Mbak Lintang, membuka acara. Saya pun
antusias, siaga dan fokus untuk mendengar penuturan perjalanan spiritual kedua
penulis yang juga suami-istri dunia akhirat ini. Mereka sedikit membahas isi buku yang menghadirkan
refferensi dalam menguak bahwa islam dan Amerika sesungguhnya adalah ‘kawan
lama’. Namun, jujur saya ingin lebih. Saya bukan hanya ingin mendengar ‘tentang
apa buku ini’ tapi saya ingin juga meneguk ilmu kepenulisan, pengalaman,
semangat berjuang, dan hal-hal lain yang lepas dari novel yang dibedah itu
sendiri. Oke, terlalu out of topic, salah jalur, atau lepas dari rel acara.
Tapi, ilmu harus dikejar, bukan?
Dibalut dengan gaun anggun berwarna putih dengan hijab kopi
susu, Mbak Hanum berjalan ke depan bersama Mas Rangga. Kemudian duduk, menatap
kami, dan terseyum lebar ala Julia Roberts yang begitu meneduhkan. (Mas
Rangga semoga nggak baca)#eh
Mbak Hanum dari tempat saya duduk, Baris 3, kolom 3 #Huft Jauh dan kurang puasss!
Kemudian pertanyaan-pertanyaan dari moderator pun memulai memancing
cerita di balik proses kreatif direktris AdiTV Yogyakarta ini. Saya akan
mencoba menuliskan kembali apa yang saya dengar, dan apa yang saya dapatkan
hingga sampai melekat di hati saya. Dan
agar juga melekat atau setidaknya menyentuh hati pembaca blog saya yang sepi,
sedikit pengunjung.
Diawali dengan sebuah pembuatan judul. Proses yang biasanya
malah terakhir dilakukan ketika draft novel telah selesai ini menjadi
pertanyaan pertama pagi itu. Dimulai dari buku sebelumnya yang berjudul 99
Cahaya di Langit Eropa yang sudah difilmkan dan mendapat apresiasi yang bagus
oleh masyarakat.
Kenapa harus angka 99?
Kenapa nggak 100 saja sekalian?
Renyah banget memang suara Mbak Lintang. Ya, cukup tahulah
dia adalah seorang penyiar radio yang telak di pita suaranya sudah diberikan
anugerah “Suara merdu” meski dalam posisi marah sekali pun.
Karena di buku itu
memperlihatkan kebesaran Allah, maka kami memutuskan untuk mengambil angka dari
asmaul husna, 99 nama-nama kebesaran
Allah.
Sesuai tebakan saya, jawaban Mbak Hanum mengalir lugas,
jelas. Saat melihat dan mendengar beliau berbicara, saya seperti melihat
penyiar berita TV yang sangat terkontrol tone suara, intonasi, dan memukau khalayak.
Termasuk saya. Setelah pertanyaan itu dijawab, giliran Mas Rangga yang sangat
bijaksana dan terlihat sabar dari ucapannya yang kalem, menjawab tentang makna
yang terkandung dari judul buku kedua. Bulan Terbelah di Langit Amerika.
Kenapa harus bulan? Bukan
matahari? Awalan
Mbak Lintang yang selalu kritis dalam bertanya.
Dulu Nabi Muhammad
mendapat mukjizat oleh Allah untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan
kemampuan membelah bulan. Kemudian, menyatukannya kembali. Setelah melihat
keajaiban itu, tak lantas semua menjadi pengikut Nabi. Warga Mekkah pun tetap terbelah
menjadi dua sisi. Orang-orang yang benar-benar kafir, dan kutub orang-orang
yang benar-benar taat. Dan buku Bulan Terbelah di Langit Amerika, ingin
menggambarkan dua kutub itu, yang harusnya bisa menyatu (kembali).
Tanya jawab tentang buku dari Mbak Lintang kepada dua
penulis tentang buku setebal 344 halaman
ini terus berlanjut. Dan sungguh sayang,
jika hanya itu yang saya bagikan. Karena semua akan didapat jika kita telah membaca
dan melahap habis buku yang sudah mengalami dicetak ke-8 kali ini. Tentang
sejarah Amerika yang ternyata sebelum ditemukannya Coloumbus telah ada kota
yang bernama Mecca dan Madina, tentang Alquran yang khusus dipunyai seorang
tokoh besar Amerika, tentang seruan tanpa Islam, dunia akan haus kedamian, dan
semua guliran kisah Mbak Hanum dan Mas Rangga ketika 12 hari di New York dan
Whasington DC.
Ya, karena motif saya tak hanya itu. Jujur, selain mendengar
kisah Bulan Terbelah di Langit Amerika, saya juga ingin menguak tentang
perjalanan karier penulis, pengorbanan, dan keluh kesahnya sebagai penulis
harus tersebarkan. Sebagai penulis pemula seperti saya, tentu itu sangat
berharga. Dan Alhamdulillah, semua pertanyaan saya terjawab sudah. Dan akan coba
saya ceritakan, semampu saya. Inspirasi yang luar biasa saya dapatkan, meski
tanpa sengaja.
PASSION!
Jari saya menuliskan kata itu di buku. Tulisan itu kini yang
terpampang jelas di buku seminar yang dikasihkan BI untuk peserta. Tulisan
dengan font yang belum bernama, CAPS mode on (karena dengan semua huruf saya
tulis dengan kapital) yang sengaja saya tulis besar-besar untuk menjawab
pertanyaan hati.
Benarkah menulis itu
passion saya???
Passion adalah sebuah gairah yang ternyata memiliki tiga
unsur. Tiga hal yang kesemuanya harus dapat terpenuhi. Kata Mbak Hanum, ketiga
unusr itu adalah; Mampu, suka, dan menghasilkan. Oke, saya akan mencoba menjabarkan
ketiganya.
1.
Mampu
Apakah kita mampu untuk melakukan pilihan
yang akan menjadi gairah kita? Pastinya, ini syarat mutlak. Tapi, poin pertama
ini juga dapat dilatih dengan terus belajar sepanjang hayat untuk meningkatkan
kemampuan di bidang apa pun. Layaknya, saya yang ingin menjadi penulis fenomenal.
Saya pun harus terus belajar untuk dapat melampaui syarat mutlak ini, meskipun
kerja keras dan mau membuka diri untuk belajar, akan menjadi kunci dari unsur
ini. Ya, saya mampu menulis! Tekad batin
saya setelah mendengar motivasi dari Mbak Hanum.
2.
Suka
Bayangkan jika kita melakukan sesuatu
seumur hidup, tapi tak kita suka? Tersiksa? Pasti. Terpaksa? Tentu. Hidup cuma
sekali, dan mana enak sih, harus tersiksa dengan hal yang sebenarnya tak kita
suka dan terus kita lakukan. Oke, Mbak Hanum memberikan contoh, dulu selama
kuliah beliau memang suka dengan dunia kedokteran gigi. Tapi, lantas rasa suka
itu waktu demi waktu luntur (Itu lumrah terjadi). Dan kesukaannya terhadap
dunia literasi kian membuncah, dan
keputusan untuk menjadi penulislah akhirnya dia ambil, karena beliau CINTA.
3.
Menghasilkan
Ini poin yang terakhir namun juga
sangat penting untuk menjaga kelangsungan passion kita sampai nanti.
Menghasilkan! :)
Nah, betapa beruntungnya manusia yang diberikan kesempatan
Allah untuk bisa meraih Passionnya bukan? Sudah mampu berkarya, melakukannya dengan
suka cita tanpa terpaksa, dan dapat hasil juga. WOW banget deh, semoga kita
juga bisa. (Marilah bersama-sama kita ucapkan....aaamiiin)
Lanjut ya...
Kemudian yang sangat menginspirasi saya lagi adalah tentang
pengorbanan Mbak Hanum ketika harus memilih antara karier yang sudah melambung
di Trans TV, atau ikut suami studi S3 di Vienna.
Galau. Kata kekinian yang waktu itu dirasakan Mbak Hanum.
Cita-cita dan passionnya seperti terhenti, harus rela ia lepaskan demi
keluarga. Tentu itu bukan hal yang mudah, jika rasa egoisme masih ada dan
ikhlas belum tersemat. Bukan pula hal yang enteng, jika rasa menjunjung tinggi
peran istri untuk suami tak terpatri dalam diri. Alhamdulillah, akhirnya Mbak
Hanum bisa melewati itu semua. Malah selama di belahan bumi lain, dia belajar
banyak hal. Dan secara diam-diam, saat setelah mengantarkan makan siang untuk
Mas Rangga, dia mampir di perpus kampus Mas Rangga, menulis dan menulis.
Berkarya untuk sesama. Karena dia yakin, Bumi Allah itu maha luas, dan dia bisa
berkarya di mana saja. Tak kecuali tempat kakinya saat itu berpijak.
Keyakinan yang datang dari nasehat Ayahnda itulah yang
membuatnya untuk semangat berkarya diam-diam, jatuh bangun dalam menulis tanpa
sepengetahuan suami. Mbak Hanum merasa dia juga seorang biasa yang membutuhkan
proses panjang untuk berkarya. Dia juga bukan penulis yang dengan kilat bisa
mengubah kata ajaib menjadi sebuah buku berlembar-lembar. Dia tetap Mbak Hanum,
dengan semangat dan dukungan penuh Mas Rangga yang berusaha dari pijakan
pertama kakinya di halaman pertama hingga enam bulan berikutnya menjai halaman
akhir. Ya, Mbak Hanum memberikan sebuah pelajaran penting tentang menulis.
Proses!
Jika Hanum menulis buku
pertamanya itu butuh dua belas bulan, lalu buku keduanya butuh enam bulan, dan
buku ini, dia hanya butuh 3 bulan. Itulah bagaimana keajaiban latihan berproses
terlihat.
Kata Mas Rangga yang mengaku selalu memperhatikan proses
kreatif Mbak Hanum. Selayaknya sebuah otot dalam tubuh, jika setiap hari kita
latih, maka ia akan membesar dan kuat. Begitu juga dengan menulis, semakin
sering dan ajek menulis, tanpa sadar
kemampuan menulis seseorang akan berkembang dan semakin kuat pula. Itu hukum. Itu rumus.
Jadi cintailah proses.
Kesuksesan dan kegagalan adalah satu paket. Kita tak bisa memisahkan keduanya.
Yang membedakan hanyalah, apakah kita memilih untuk bangkit melanjutkan proses,
atau berhenti menyerah!
Betapa banyak sekali kata-kata semangat yang tandas dari
ucapan Mas Rangga. Begitu menginspirasi dan menginduksi. Ah, begitu banyak
sekali hal positif yang saya dapatkan dari acara yang (tidak sengaja saya
ikuti) pagi itu. Mungkin, berlembar-lembar tulisan saya tidak akan muat untuk
menorehkan ilmu dan inspirasi yang saya dapatkan dari Mbak Hanum dan Mas
Rangga! Makasih Mbak, Mas! Alhamdulillah banget pokoknya bisa menjadi bagian
peserta. Untuk Bank Indonesia propinsi Jawa Tengah, terima kasih saya haturkan karena telah mengadakan acara yang luar biasa ini.
Pun, saya ucapkan terima kasih kepada Ricky Douglas penyampai
rezeki yang tak diduga ini, Iruka DP yang menjadi pembuka komunitas Rumpun
Nektar, Fakhri yang rela izin kerja demi acara ini, dan Mas Ali, yang menagih
cerita yang akhirnya menjadi tulisan (daripada bercerita dengan lisan saya
lebih suka lewat tulisan, Mas). Dan seperti biasa, acara ditutup dengan
pemberian hadiah dan foto-foto. Nah, ini juga acara favorit saya, sebagai orang
yang menasbihkan diri sebagai pencari kenangan melalui fotografi. (Bilang saja
kalo suka difoto Hahha)
Kebahagiaan bisa selfie bareng Mbak Hanum setelah acara selesai
Berfoto dulu dengan Mas Rangga yang ramah dan setiap ucapannya adalah manfaat
Empat wakil Rumpun Nektar yang sedang menyesap madu ilmu pengetahuan
Dan Alhamdulillah, terima kasih untuk hadiah buku dan tanda
tangannya Mbak Hanum dan Mas Rangga... Saya harus bisa menyusul...SEMANGAT!!!
Oke, gitu aja report absurd dan abal-abal dari sudut pandang seorang Sayfullan. Jika ada salah kata, mohon maaf ya Mbak Hanum dan Mas Rangga. See you via email yah :) (
Salam hangat,
Sayfullan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar