Rabu, 01 Juli 2015

Kematian Ibu



Tidak mungkin Ibu hamil! Mana mungkin Ibu berzina dengan tentara Jepang seperti yang mereka teriakkan. Omong kosong! Ibu bukan Jugun Ianfu! Lebih baik nyawaku yang terenggut daripada harus melihat pasung menjamah kaki Ibu, menggumulinya tanpa peduli air matanya yang mengemis iba.
Ah, sabarlah Ibuku, ini hanya masalah waktu, dan aku janji akan mengusung bukti! Tapi, masihkah sudi waktu menantiku, menunggu barang sedetik saja nyawa Ibu?
Ya Allah, demi semua zarrah kebaikan yang pernah kulakukan, demi semua atom kebaikan yang telah ibuku pernah perbuat, bawalah aku mendapat jawab!
###
1 Maret 1942, hitungan waktu yang tak akan pernah lenyap dari memoriku. Melekat kuat seperti parasit dalam tubuh pohon yang terus menempel dan mencuri. Ya, aku ingat betul. Tanggal itu bergulir tepat pada hari Minggu, putaran masa dimana takdir melarungkan kisahku, kisah Ibu, ke sebuah dermaga bernama kenyataan, bahwa kabut kebodohan merupakan penyakit terkeji dan paling mematikan. Dan hingga kini, akulah salah satu pengiman teori itu.
Kakiku kini manapak di sebuah keramik berbau menyengat seperti obat. Masih dengan kemeja pendek putih, celana pendek sewarna, sepatu selop hitam mengkilap dan kaus kaki sedengkul aku seperti orang asing. Keramaian seperti membunhku perlahan. Tapi, aku tak boleh hanya diam, karena akan ada yang benar-benar mati dibunuh jika langkahku terlambat sampai subuh.
Aku nekat menyusuri ruang-ruang yang tak kukenal baik. Semacam tempat orang berlalu lalang, namun tak tahu untuk apa mereka berada di sini. Pikirku semakin berdenyut, mencari alasan kenapa aku dikirim Allah ke sini jika jawabanlah yang ingin kucari.
“Ah, Allah maha Tahu. Dia tak mungkin salah mengirimku,” batinku berkata lirih, mencoba mencari penghiburan diri.
Aku tak tahan jika harus melangkah tanpa tujuan dan membisu seperti orang gila. Aku harus bertanya. Semacam mencari orang yang tepat untuk kudekatilah, yang sedang kulakukan.
“Bolehkah aku bertanya kepada anda?” akhirnya aku memilih seseorang yang berbaju mirip denganku. Bedanya dia perempuan. Warna serba putih yang ia pakai seperti menarikku untuk mendekat dan berucap.
“Iya, Adek. Apa yang bisa saya bantu?” jawabnya lembut.
Adek? Batinku mengulang panggilan perempuan ramah dan berbibir tertarik ini. Mungkin, pakaianku yang membuat aku seperti anak ingusan yang tersesat. Tapi, sejauh aku memandang, memang tak ada lelaki seumuranku memakai celana pendek sepaha sepertiku ini, apalagi berkaus kaki putih yang lumayan tinggi.
“Ibuku sakit. Dia seperti hamil, namun akui yakin bukan hamil. Perutnya buncit dan sering muntah, ia pucat dan lemah. Tolong, ada apa dengan Ibuku? Dia tidak mungkin hamil!” kataku panik dan cepat. Aku memang sedang diburu waktu. Perempuan berbaju serba putih itu melihatku seksama, seperti bisa merasakan apa yang aku khawatirkan.
“Lalu, di mana Ibumu sekarang, Dek?”
“Dia tidak bisa ke sini. Tolong, jawab saja. Kasih aku jawaban, sebelum ia—
Aku tak dapat meneruskan ucapanku. Namun, perempuan di depanku langsung tahu apa yang kutakutkan.
“Tapi, Ibu adek harus diperiksa lebih dulu. Adek sudah benar, datang ke rumah sakit, tapi pasien harus ikut ke sini.”
Tanpa pikir lagi aku menekuk kakiku, memohon di depan perempuan yang terlihat seperti malaikat. Tak peduli pandangan orang-orang yang kini tertumbuk padaku.
“Jawab saja, Ibuku tak hamil kan? Bilang jika itu penyakit lain. Kumohon, aku tak punya banyak waktu!” ucapku panik. Tentu aku tahu akan teori relativitas waktu. Aku juga persis paham akan ada perbedaan waktu antara aku dengan Ibu. Tapi berepa pun, lebih cepat ataukah lebih lambat, aku tak memegang konsep itu.
“Ayo ikut aku,” kata perempuan itu. Aku berdiri sigap. Lalu, ikut berjalan menyusulnya yang melangkah cekatan ke sebuah ruangan yang pintunya tergantung papan plastik bertuliskan dr. Zaneta, yang kuimani adalah namanya.
“Sekarang duduk dan terangkan bagaimana gejala penyakit ibumu?!”
Aku ikuti apa yang dimintanya. Namun, seketika aku seperti tersihir, mematung dalam bibir yang menganga tak percaya. 2015? Kalander di sini sudah tahun 2015?
###
Semarang 1942
Setelah kabar keberadaan Jepang di Indonesia sempat membuat resah warga seluruh nusantara, kini berita pendaratan pasukan Nippon di pulau Jawa pun tak luput dari endusan para penguasa Belanda di Semarang, bahkan sampai juga ke telinga kotor para rakyat jelata. Kabar memilukan ini terdengar sebagai ancaman bagi kompeni, karena pasukan negeri matahri terbit telah berhasil menguasai beberapa wilayah strategis di Indonesia. Mereka tak segan menyerang Belanda yang sudah dulu lama berjaya. Dan yang menjadi sasaran berikutnya adalah pulau Jawa. Ah, andai aku tidak tahu betapa kejamnya Jepang, mungkin aku akan bersyukur dengan pembasmian para kompeni di negeri. Nyatanya aku salah, keberadaan Jepang justru awal penderitaanku dan Ibu.
            Seminggu setelah Jepang menginjakkan kakinya di pulau Jawa, Semarang pun beralih kekuasaan ke tangan Jepang. Belanda tak berkutik. Kalah telak. Semua orang Belanda diburu, diserang dan menjadi tawanan tentara Jepang. Termasuk Ayahku, pejabat Belanda yang hingga kini aku tak tahu lagi nasibnya setelah tentara Jepang menangkap dan menahannya.
Kabar yang aku dengar, mereka dikurung  dalam penjara lawang sewu, disiksa dengan bengis layaknya binatang di bawah tanah, hingga maut merobek jiwa raga mereka. Mendengar berita mengerikan itu, aku dan Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada air mata. Pun rasa iba. Hanya senyum bahagia lamat-lamat terulas di wajah Ibu. Ya, karena tertangkapnya Ayah, itu berarti siksaan tiap malam tak akan lagi ia rasakan. Dan bilur-bilur cambukan kulit ikat pinggang Ayah tak akan lagi menodai kulit bersih Ibu.
Kami berdua pun merayakan kemenangan di malam harinya setelah lelaki kasar itu tertangkap. Berdua, kami mencoba melupakan kekejaman kompeni bertangan ringan itu. Namun, saat merayakan pesta kemerdekaan kami, tamu tak diundang memaksa masuk dalam acara. Tentara sialan bermata segaris itu mengacaukan semuanya. Merusak pesta kami berdua tanpa permisi dan tahu malu. Titik puncak serangan mendadak malam itu berakhir dengan pengusiran kami berdua dari istana Ayah yang mewah. Dan surat tugas mereka? Kewajiban menjarah harta kompeni.
Sial! Dengan perintah itu, mereka seperti merasa berhak saja merusak kebahagiaan kami di malam itu. Aku dan Ibu hanya bisa patuh dan menurut, diusir secara paksa, dan diamankan di sebuah desa terpencil bernama Bumirejo kabupaten Demak. Bukankah, melawan tentara ini berarti merelakan nyawa untuk mati?
###
            Sawah-sawah dengan bongkahan tanah kering menyambut aku dan Ibu dengan nanar. Retakan-retakan yang meliuk mengukir tanah seolah bercerita jika musim kemarau panjang telah menjambangi desa senyap ini. Terlihat juga di ujung-ujung pembatas sawah, tumpukan jerami kering yang menggunung, tak tersentuh. Seperti layaknya tubuh yang kehilangan jiwa. Dan sayang, petani kampung ini menganggapnya hanya sampah tak berguna, seperti bangkai tak bernyawa.
Salah satu tentara Jepang tanpa mimik ini memasukkanku dan Ibu ke sebuah rumah kosong. Lebih tepatnya sebuah gubuk kotor dan gelap. Meskipun, siang hari, gubuk dari anyaman bambu dan atap dari daun kelapa kering ini terlihat suram. Hanya bintik-bintik cahaya matahari yang lolos menerobos lubang tiap anyaman yang menjadi sumber cahaya.
“Apa kita bisa hidup di sini, Bu?” tanyaku sambil menelisik semua sudut ruangan berlantai tanah. Paradoks. Tempat yang kumuh dengan kami yang masih menggunakan baju berstatus kami. Aku dengan pakaian khas murid Belanda yang disegani, sedang Ibu dengan gaun yang besar dan menjuntai seperti para noni Belanda yang justru kini diburu untuk tiada.
“Semoga,” kata Ibu yang terlihat tak bertenaga.
Baru lima hari kami berpindah di desa berpenduduk petani dan buruh ini, Ibu sudah terserang penyakit. Aku sangat resah, melihat kondisi Ibu yang sudah seperti mayat saja. Pucat dan tak ada sedikitpun tenaga. Aku kira ini bukan penyakit typus, diare atau disentri seperti yang mewabah di desa. Ini lain. Lebam-lebam bekas siksaan Ayah pun makin terlihat jelas, kontras dengan warna kulit Ibu yang kian memutih. Ditambah sikap semua warga di sini yang memandang kami layaknya pejahat nomor wahid yang wajib dihindari, membuat Ibu semakin terpuruk dan dalam kondisi tambah buruk.
Menjadi bekas istri kompeni dan tawanan Jepang, mungkin alasan seluruh warga desa satu suara untuk sepakat memusuhi kami. Setiap detik, kami harus menghadapi mata-mata mengancam dan sikap tidak ramah dari mereka. Aku dan Ibu hanya bisa bersabar, mencoba nerimo dan legowo, menghadapi pengucilan yang menyakitkan.
Namun, semakin lama kesabaranku pun seolah habis jua. Aku marah! Murka, ketika tak ada yang menggubris permohonanku untuk membawa Ibu ke mantri desa. Padahal, mereka tahu Ibu dalam keadaan lemah, karena sudah dua hari, dia terus muntah dan tidak bisa menelan satu suap nasi.
Belum hilang kemarahanku itu, dadaku sudah dibuat terbakar lagi oleh ulah warga. Aku semakin geram saat mendengar fitnah bahwa Ibu telah hamil. Karangan cerita bodoh itu, membuat kebencian warga kepada kami berdua kian membuncah parah. Ibu dituduh melakukan zina dengan prajurit Jepang, dan sedang mengandung anak seoarang penjajah.
Yang benar saja, perut Ibu membuncit karena sakit.
Hati anak mana yang tidak miris mendengar kabar murahan itu? Ingin rasanya kubunuh saja orang yang menyebar berita palsu itu. Ah, mati kurasa tak cukup untuknya. Bukankah, fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Dan jika nyawa  harus dibalas dengan nyawa, bagaimana hukuman yang pantas dengan perbuatan lebih kejam dari itu?
            Hingga tengah malamnya, aku dan Ibu akhirnya dikejutkan dengan suara lemparan batu yang terdengar mencabik gendang telinga kami berdua. Dari sela-sela lubang anyaman bambu, kulihat berbondong-bondong warga desa dengan oncor di tangan, berteriak-teriak di depan gubukku, menginginkan hukuman pasung untuk Ibu yang telah didakwa berzina. Antara  Marah, takut, benci, bercampur menjadi satu, tapi Ibu malah bersikap sebaliknya. Dengan tenang ia memeluk punggung tanganku. Ia ingin menyalurkan keberanian kepadaku, sentuhan lembutnya seakan berkata, “Semua akan baik-baik saja...”
            Aku pun hanya bisa terdiam, mencoba menarik napas dalam. Ada tekad dalam hati, untuk tetap menjaga Ibu dari mereka, meskipun nyawa menjadi taruhannya.
            “Hukum perempuan itu!!!!”
            “Pasung dia! Pasung pezina!!!!”
            “Seret dia!!!”
            Teriakan demi teriakan semakin menggema memekakan telinga, membuat kemarahanku tak terbendung lagi. Tapi, aku tak sanggup keluar, Ibu membutuhkanku. Aku harus tetap di sampingnya. Kupandangi keadaannya dengan lelehan air mata. Dia terlihat semakin memprihatinkan. Perutnya telah membesar, mukanya semakin pucat, dan seperti sudah tak ada lagi sisa-sisa tenaga dari tubuhnya. Kakinya pun membengkak. Dia hanya bisa duduk di sampingku, karena jika dia dalam posisi tidur, napasnya tak akan kuat lagi untuk mengisi oksigen di paru-parunya.
Tak ada tanggapan dari kami, teriakan dan batu-batu itu semakin terasa ganas mengepung gubuk kami. Lemparan-lemparan warga mencipta bunyi yang begitu menyakitkan ulu hati. Terdengar suara kaki yang semakin mendekat. Bukan! Bukan hanya suara kaki satu orang, tapi lebih. Mereka mencoba mendobrak pintu papan lapuk gubuk kami. Dengan terus berteriak  kata-kata kotor, mereka berhasil menemukan aku dan Ibu di ranjam tua ini. Tangan salah satu warga dengan cekatan memegang tangaku. Menahanku agar tak bergerak. Aku meronta. Berteriak menyebut nama Ibu. Keringat mengalir deras. Napas tersengal tak beraturan. Aku terus meronta, mencoba melawan. Namun sia-sia. Tubuhku terasa terkunci. Tenagaku terasa raib.
Kulihat warga lain dengan tangan kekar akhirnya berhasil menggenggam erat lengan Ibu. Dengan kasar, lelaki kurang ajar itu menyeret Ibu dengan paksa tanpa rasa kasihan. Aku tak sanggup lagi menyaksikan penderitaan Ibu. Aku kembali lagi berteriak. Menggerak-gerakkan tubuhku sekuat yang kubisa. Tapi, semakin aku melawan, pegangan tangan lelaki ini semakin kencang. Kuat.
“Ibu!!!!” teriakku keras. Sekeras doa yang memaksa sang pencipta. “Tunggu barang sebentar, Bu. Aku akan datang membawa jawaban,” janjiku sambil merapal doa kepada sang pengabul doa dan pemberi keajaiban. Hingga terasa tubuhku tersedot hingga aku tak bisa melihat kecuali gelap. Ya, hanya gelap.
###
Di sebuah gubuk rapuh, tua, dan gelap, aku kembali. Seperti mendapat secercah bukti, dari perjalanan waktuku tadi. Aku ingin mengabarkan kegembiraanku yang Allah telah anugerahkan. Meski aku tak terlambat, namun terasa ada pisau yang menusuk-nusuk dada ketika kulihat Ibu yang melahirkanku terduduk lemah. Kakinya terpasung dengan kayu mahoni berdiameter besar. Tangannya dirantai bak penjahat yang membahayakan nyawa. Aku miris, luruh tangis. Hukuman warga desa ini memang biadab. Meskipun, manusia bersalah, bukankah Allah yang berhak menghukum mereka? Apakah mereka merasa telah menjadi Tuhan? Apalagi Ibuku, dia tidak bersalah! Dia sakit, bukan hamil!!!
Sadar akan kedatanganku, Ibu pun tak sanggup menahan lagi air matanya. Dia memandangku. Lama. Bibir keringnya, berusaha ia gerakkan, sepertinya ada hal yang ingin ia katakan.
            “Percayalah, Nak. Ibu tidak hamil,” katanya parau dan pelan.
            Mendengar pengakuan Ibu aku malah ikut menangis. Bisa-bisanya Ibu tak mempercayai diriku, darah dagingnya sendiri? Mana mungkin, aku juga sepikiran dengan orang-orang di desa ini untuk menuduhnya hamil, berzina? Ya Allah, kenapa Ibu begitu kuatir hingga menduga aku pun seperti salah satu dari mereka.
            “Ibu sakit, bukan hamil. Ibu tidak berzina. Ibu hanya mempunyai gangguan ginjal,” ucapku kini dengan air mata. Pelukan erat kini yang kuberikan kepadanya, sebagai pernyataanku bahwa aku selalu mempercayainya.
            Lama tubuhku tertaut. Air mataku semakin deras, karena kau tahu penyakit sialan macam apa itu. Aku memang berhasil tahu jawaban itu, tapi aku tak tahu bagaimana membawa Ibu ke dokter 73 tahun yang akan datang. Dan ketakutanku bertuah. Semua yang dikatakan dokter Zaneta terjadilah sudah. Sengalan napas Ibu mulai melemah. Meski aku tak terlambat, namun aku juga tak sanggup berbuat apa-apa. Jantungnya pun kini tak lagi kurasa. Hening. Tak ada debaran lagi di dadanya.
“Ya Allah, apa jiwa Ibu sudah terlepas dari belenggu dunia?!!” ratapku jengah karena merasa menjadi benar-benar mahluk. Lemah. Tak berdaya dan tak sanggup mengubah apapun. Jangankan mengubah, menghindar dari kematianku sendiri saja tak sanggup? Bagiamana menunda kematian Ibu?
Ah, tidak! Ini pasti hanya perasaanku saja. Aku yakin! Ini hanya halusinasiku.
###
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar