Tidak mungkin Ibu hamil! Mana mungkin Ibu berzina
dengan tentara Jepang seperti yang mereka teriakkan. Omong kosong! Ibu bukan Jugun Ianfu! Lebih baik nyawaku yang
terenggut daripada harus melihat pasung menjamah kaki Ibu, menggumulinya tanpa
peduli air matanya yang mengemis iba.
Ah, sabarlah Ibuku, ini hanya masalah waktu, dan aku
janji akan mengusung bukti! Tapi, masihkah sudi waktu menantiku, menunggu barang
sedetik saja nyawa Ibu?
Ya Allah, demi
semua zarrah kebaikan yang pernah kulakukan, demi semua atom kebaikan yang
telah ibuku pernah perbuat, bawalah aku mendapat jawab!
###
1 Maret 1942, hitungan waktu yang tak akan pernah
lenyap dari memoriku. Melekat kuat seperti parasit dalam tubuh pohon yang terus
menempel dan mencuri. Ya, aku ingat betul. Tanggal itu bergulir tepat pada hari
Minggu, putaran masa dimana takdir melarungkan kisahku, kisah Ibu, ke sebuah
dermaga bernama kenyataan, bahwa kabut kebodohan merupakan penyakit terkeji dan
paling mematikan. Dan hingga kini, akulah salah satu pengiman teori itu.
Kakiku kini manapak di sebuah keramik berbau
menyengat seperti obat. Masih dengan kemeja pendek putih, celana pendek sewarna,
sepatu selop hitam mengkilap dan kaus kaki sedengkul aku seperti orang asing.
Keramaian seperti membunhku perlahan. Tapi, aku tak boleh hanya diam, karena akan
ada yang benar-benar mati dibunuh jika langkahku terlambat sampai subuh.
Aku nekat menyusuri ruang-ruang yang tak kukenal
baik. Semacam tempat orang berlalu lalang, namun tak tahu untuk apa mereka
berada di sini. Pikirku semakin berdenyut, mencari alasan kenapa aku dikirim Allah
ke sini jika jawabanlah yang ingin kucari.
“Ah, Allah maha
Tahu. Dia tak mungkin salah mengirimku,” batinku berkata
lirih, mencoba mencari penghiburan diri.
Aku tak tahan jika harus melangkah tanpa tujuan dan
membisu seperti orang gila. Aku harus bertanya. Semacam mencari orang yang
tepat untuk kudekatilah, yang sedang kulakukan.
“Bolehkah aku bertanya kepada anda?” akhirnya aku
memilih seseorang yang berbaju mirip denganku. Bedanya dia perempuan. Warna serba
putih yang ia pakai seperti menarikku untuk mendekat dan berucap.
“Iya, Adek. Apa yang bisa saya bantu?” jawabnya
lembut.
Adek?
Batinku mengulang panggilan perempuan ramah dan berbibir tertarik ini. Mungkin,
pakaianku yang membuat aku seperti anak ingusan yang tersesat. Tapi, sejauh aku
memandang, memang tak ada lelaki seumuranku memakai celana pendek sepaha
sepertiku ini, apalagi berkaus kaki putih yang lumayan tinggi.
“Ibuku sakit. Dia seperti hamil, namun akui yakin
bukan hamil. Perutnya buncit dan sering muntah, ia pucat dan lemah. Tolong, ada
apa dengan Ibuku? Dia tidak mungkin hamil!” kataku panik dan cepat. Aku memang
sedang diburu waktu. Perempuan berbaju serba putih itu melihatku seksama,
seperti bisa merasakan apa yang aku khawatirkan.
“Lalu, di mana Ibumu sekarang, Dek?”
“Dia tidak bisa ke sini. Tolong, jawab saja. Kasih
aku jawaban, sebelum ia—
Aku tak dapat meneruskan ucapanku. Namun, perempuan
di depanku langsung tahu apa yang kutakutkan.
“Tapi, Ibu adek harus diperiksa lebih dulu. Adek sudah
benar, datang ke rumah sakit, tapi pasien harus ikut ke sini.”
Tanpa pikir lagi aku menekuk kakiku, memohon di
depan perempuan yang terlihat seperti malaikat. Tak peduli pandangan
orang-orang yang kini tertumbuk padaku.
“Jawab saja, Ibuku tak hamil kan? Bilang jika itu
penyakit lain. Kumohon, aku tak punya banyak waktu!” ucapku panik. Tentu aku
tahu akan teori relativitas waktu. Aku juga persis paham akan ada perbedaan
waktu antara aku dengan Ibu. Tapi berepa pun, lebih cepat ataukah lebih lambat,
aku tak memegang konsep itu.
“Ayo ikut aku,” kata perempuan itu. Aku berdiri
sigap. Lalu, ikut berjalan menyusulnya yang melangkah cekatan ke sebuah ruangan
yang pintunya tergantung papan plastik bertuliskan dr. Zaneta, yang kuimani
adalah namanya.
“Sekarang duduk dan terangkan bagaimana gejala
penyakit ibumu?!”
Aku ikuti apa yang dimintanya. Namun, seketika aku
seperti tersihir, mematung dalam bibir yang menganga tak percaya. 2015? Kalander
di sini sudah tahun 2015?
###
Semarang
1942
Setelah kabar keberadaan Jepang di Indonesia sempat membuat
resah warga seluruh nusantara, kini berita pendaratan pasukan Nippon di pulau
Jawa pun tak luput dari endusan para penguasa Belanda di Semarang, bahkan sampai
juga ke telinga kotor para rakyat jelata. Kabar memilukan ini terdengar sebagai
ancaman bagi kompeni, karena pasukan negeri matahri terbit telah berhasil menguasai
beberapa wilayah strategis di Indonesia. Mereka tak segan menyerang Belanda
yang sudah dulu lama berjaya. Dan yang menjadi sasaran berikutnya adalah pulau
Jawa. Ah, andai aku tidak tahu betapa kejamnya Jepang, mungkin aku akan
bersyukur dengan pembasmian para kompeni di negeri. Nyatanya aku salah,
keberadaan Jepang justru awal penderitaanku dan Ibu.
Seminggu setelah Jepang menginjakkan
kakinya di pulau Jawa, Semarang pun beralih kekuasaan ke tangan Jepang. Belanda
tak berkutik. Kalah telak. Semua orang Belanda diburu, diserang dan menjadi
tawanan tentara Jepang. Termasuk Ayahku, pejabat Belanda yang hingga kini aku
tak tahu lagi nasibnya setelah tentara Jepang menangkap dan menahannya.
Kabar yang aku dengar, mereka dikurung dalam penjara lawang sewu, disiksa dengan
bengis layaknya binatang di bawah tanah, hingga maut merobek jiwa raga mereka. Mendengar
berita mengerikan itu, aku dan Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada air mata.
Pun rasa iba. Hanya senyum bahagia lamat-lamat terulas di wajah Ibu. Ya, karena
tertangkapnya Ayah, itu berarti siksaan tiap malam tak akan lagi ia rasakan. Dan
bilur-bilur cambukan kulit ikat pinggang Ayah tak akan lagi menodai kulit
bersih Ibu.
Kami berdua pun merayakan kemenangan di malam harinya
setelah lelaki kasar itu tertangkap. Berdua, kami mencoba melupakan kekejaman
kompeni bertangan ringan itu. Namun, saat merayakan pesta kemerdekaan kami,
tamu tak diundang memaksa masuk dalam acara. Tentara sialan bermata segaris itu
mengacaukan semuanya. Merusak pesta kami berdua tanpa permisi dan tahu malu.
Titik puncak serangan mendadak malam itu berakhir dengan pengusiran kami berdua
dari istana Ayah yang mewah. Dan surat tugas mereka? Kewajiban menjarah harta
kompeni.
Sial! Dengan perintah itu, mereka seperti merasa
berhak saja merusak kebahagiaan kami di malam itu. Aku dan Ibu hanya bisa patuh
dan menurut, diusir secara paksa, dan diamankan di sebuah desa terpencil
bernama Bumirejo kabupaten Demak. Bukankah, melawan tentara ini berarti
merelakan nyawa untuk mati?
###
Sawah-sawah dengan bongkahan tanah
kering menyambut aku dan Ibu dengan nanar. Retakan-retakan yang meliuk mengukir
tanah seolah bercerita jika musim kemarau panjang telah menjambangi desa senyap
ini. Terlihat juga di ujung-ujung pembatas sawah, tumpukan jerami kering yang
menggunung, tak tersentuh. Seperti layaknya tubuh yang kehilangan jiwa. Dan
sayang, petani kampung ini menganggapnya hanya sampah tak berguna, seperti
bangkai tak bernyawa.
Salah satu tentara Jepang tanpa mimik ini
memasukkanku dan Ibu ke sebuah rumah kosong. Lebih tepatnya sebuah gubuk kotor
dan gelap. Meskipun, siang hari, gubuk dari anyaman bambu dan atap dari daun
kelapa kering ini terlihat suram. Hanya bintik-bintik cahaya matahari yang
lolos menerobos lubang tiap anyaman yang menjadi sumber cahaya.
“Apa kita bisa hidup di sini, Bu?” tanyaku sambil
menelisik semua sudut ruangan berlantai tanah. Paradoks. Tempat yang kumuh
dengan kami yang masih menggunakan baju berstatus kami. Aku dengan pakaian khas
murid Belanda yang disegani, sedang Ibu dengan gaun yang besar dan menjuntai
seperti para noni Belanda yang justru kini diburu untuk tiada.
“Semoga,” kata Ibu yang terlihat tak bertenaga.
Baru lima hari kami berpindah di desa berpenduduk
petani dan buruh ini, Ibu sudah terserang penyakit. Aku sangat resah, melihat kondisi
Ibu yang sudah seperti mayat saja. Pucat dan tak ada sedikitpun tenaga. Aku
kira ini bukan penyakit typus, diare atau disentri seperti yang mewabah di
desa. Ini lain. Lebam-lebam bekas siksaan Ayah pun makin terlihat jelas,
kontras dengan warna kulit Ibu yang kian memutih. Ditambah sikap semua warga di
sini yang memandang kami layaknya pejahat nomor wahid yang wajib dihindari, membuat
Ibu semakin terpuruk dan dalam kondisi tambah buruk.
Menjadi bekas istri kompeni dan tawanan Jepang,
mungkin alasan seluruh warga desa satu suara untuk sepakat memusuhi kami. Setiap
detik, kami harus menghadapi mata-mata mengancam dan sikap tidak ramah dari
mereka. Aku dan Ibu hanya bisa bersabar, mencoba nerimo dan legowo,
menghadapi pengucilan yang menyakitkan.
Namun, semakin lama kesabaranku pun seolah habis jua.
Aku marah! Murka, ketika tak ada yang menggubris permohonanku untuk membawa Ibu
ke mantri desa. Padahal, mereka tahu Ibu dalam keadaan lemah, karena sudah dua
hari, dia terus muntah dan tidak bisa menelan satu suap nasi.
Belum hilang kemarahanku itu, dadaku sudah dibuat
terbakar lagi oleh ulah warga. Aku semakin geram saat mendengar fitnah bahwa Ibu
telah hamil. Karangan cerita bodoh itu, membuat kebencian warga kepada kami
berdua kian membuncah parah. Ibu dituduh melakukan zina dengan prajurit Jepang,
dan sedang mengandung anak seoarang penjajah.
Yang benar saja,
perut Ibu membuncit karena sakit.
Hati anak mana yang tidak miris mendengar kabar
murahan itu? Ingin rasanya kubunuh saja orang yang menyebar berita palsu itu.
Ah, mati kurasa tak cukup untuknya. Bukankah, fitnah lebih kejam dari
pembunuhan? Dan jika nyawa harus dibalas
dengan nyawa, bagaimana hukuman yang pantas dengan perbuatan lebih kejam dari
itu?
Hingga tengah malamnya, aku dan Ibu akhirnya
dikejutkan dengan suara lemparan batu yang terdengar mencabik gendang telinga
kami berdua. Dari sela-sela lubang anyaman bambu, kulihat berbondong-bondong
warga desa dengan oncor di tangan, berteriak-teriak di depan gubukku,
menginginkan hukuman pasung untuk Ibu yang telah didakwa berzina. Antara Marah, takut, benci, bercampur menjadi satu,
tapi Ibu malah bersikap sebaliknya. Dengan tenang ia memeluk punggung tanganku.
Ia ingin menyalurkan keberanian kepadaku, sentuhan lembutnya seakan berkata, “Semua
akan baik-baik saja...”
Aku pun hanya bisa terdiam, mencoba
menarik napas dalam. Ada tekad dalam hati, untuk tetap menjaga Ibu dari mereka,
meskipun nyawa menjadi taruhannya.
“Hukum perempuan itu!!!!”
“Pasung dia! Pasung pezina!!!!”
“Seret dia!!!”
Teriakan demi teriakan semakin
menggema memekakan telinga, membuat kemarahanku tak terbendung lagi. Tapi, aku
tak sanggup keluar, Ibu membutuhkanku. Aku harus tetap di sampingnya. Kupandangi
keadaannya dengan lelehan air mata. Dia terlihat semakin memprihatinkan.
Perutnya telah membesar, mukanya semakin pucat, dan seperti sudah tak ada lagi
sisa-sisa tenaga dari tubuhnya. Kakinya pun membengkak. Dia hanya bisa duduk di
sampingku, karena jika dia dalam posisi tidur, napasnya tak akan kuat lagi
untuk mengisi oksigen di paru-parunya.
Tak ada tanggapan dari kami, teriakan dan batu-batu
itu semakin terasa ganas mengepung gubuk kami. Lemparan-lemparan warga mencipta
bunyi yang begitu menyakitkan ulu hati. Terdengar suara kaki yang semakin
mendekat. Bukan! Bukan hanya suara kaki satu orang, tapi lebih. Mereka mencoba
mendobrak pintu papan lapuk gubuk kami. Dengan terus berteriak kata-kata kotor, mereka berhasil menemukan
aku dan Ibu di ranjam tua ini. Tangan salah satu warga dengan cekatan memegang
tangaku. Menahanku agar tak bergerak. Aku meronta. Berteriak menyebut nama Ibu.
Keringat mengalir deras. Napas tersengal tak beraturan. Aku terus meronta,
mencoba melawan. Namun sia-sia. Tubuhku terasa terkunci. Tenagaku terasa raib.
Kulihat warga lain dengan tangan kekar akhirnya
berhasil menggenggam erat lengan Ibu. Dengan kasar, lelaki kurang ajar itu
menyeret Ibu dengan paksa tanpa rasa kasihan. Aku tak sanggup lagi menyaksikan
penderitaan Ibu. Aku kembali lagi berteriak. Menggerak-gerakkan tubuhku sekuat
yang kubisa. Tapi, semakin aku melawan, pegangan tangan lelaki ini semakin
kencang. Kuat.
“Ibu!!!!” teriakku keras. Sekeras doa yang memaksa
sang pencipta. “Tunggu barang sebentar, Bu. Aku akan datang membawa jawaban,”
janjiku sambil merapal doa kepada sang pengabul doa dan pemberi keajaiban.
Hingga terasa tubuhku tersedot hingga aku tak bisa melihat kecuali gelap. Ya,
hanya gelap.
###
Di sebuah gubuk rapuh, tua, dan gelap, aku kembali. Seperti
mendapat secercah bukti, dari perjalanan waktuku tadi. Aku ingin mengabarkan
kegembiraanku yang Allah telah anugerahkan. Meski aku tak terlambat, namun
terasa ada pisau yang menusuk-nusuk dada ketika kulihat Ibu yang melahirkanku
terduduk lemah. Kakinya terpasung dengan kayu mahoni berdiameter besar.
Tangannya dirantai bak penjahat yang membahayakan nyawa. Aku miris, luruh
tangis. Hukuman warga desa ini memang biadab. Meskipun, manusia bersalah,
bukankah Allah yang berhak menghukum mereka? Apakah mereka merasa telah menjadi
Tuhan? Apalagi Ibuku, dia tidak bersalah! Dia sakit, bukan hamil!!!
Sadar akan kedatanganku, Ibu pun tak sanggup menahan
lagi air matanya. Dia memandangku. Lama. Bibir keringnya, berusaha ia gerakkan,
sepertinya ada hal yang ingin ia katakan.
“Percayalah, Nak. Ibu tidak hamil,”
katanya parau dan pelan.
Mendengar pengakuan Ibu aku malah
ikut menangis. Bisa-bisanya Ibu tak mempercayai diriku, darah dagingnya
sendiri? Mana mungkin, aku juga sepikiran dengan orang-orang di desa ini untuk
menuduhnya hamil, berzina? Ya Allah, kenapa Ibu begitu kuatir hingga menduga
aku pun seperti salah satu dari mereka.
“Ibu sakit, bukan hamil. Ibu tidak
berzina. Ibu hanya mempunyai gangguan ginjal,” ucapku kini dengan air mata. Pelukan
erat kini yang kuberikan kepadanya, sebagai pernyataanku bahwa aku selalu
mempercayainya.
Lama tubuhku tertaut. Air mataku
semakin deras, karena kau tahu penyakit sialan macam apa itu. Aku memang
berhasil tahu jawaban itu, tapi aku tak tahu bagaimana membawa Ibu ke dokter 73
tahun yang akan datang. Dan ketakutanku bertuah. Semua yang dikatakan dokter Zaneta
terjadilah sudah. Sengalan napas Ibu mulai melemah. Meski aku tak terlambat,
namun aku juga tak sanggup berbuat apa-apa. Jantungnya pun kini tak lagi
kurasa. Hening. Tak ada debaran lagi di dadanya.
“Ya Allah, apa jiwa Ibu sudah terlepas dari belenggu
dunia?!!” ratapku jengah karena merasa menjadi benar-benar mahluk. Lemah. Tak
berdaya dan tak sanggup mengubah apapun. Jangankan mengubah, menghindar dari
kematianku sendiri saja tak sanggup? Bagiamana menunda kematian Ibu?
Ah, tidak! Ini
pasti hanya perasaanku saja. Aku yakin! Ini hanya halusinasiku.
###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar