Selasa, 09 Juli 2013

Vonis ginjal itu... (Tulisanku 3 tahun lalu)


Masih terngiang di telingaku suara Dokter di Karawang tempatku bekerja. Begitu mengejutkanku. Aku dapat merasakan kecemasan dalam perkataannya, tapi aku tidak memeperhatikannya. Toh, aku memang merasa cukup kuat dan sehat waktu itu. Paling banter sakit tipus, batinku.
“Maaf, kami perlu memeriksa darah mas,” katanya yang bukan orang Sunda asli itu setelah merekam jantungku dan memasangkanku selang oksigen.
“Memang perlu makai ini ya, Dok?” tanyaku pada Dokter jaga UGD sambil menunjukkan selang Oksigen.
“Saturasi Oksigen dalam tubuh mas rendah, jadi perlu oksigen.”
“Oh gitu.” Jawabku santai, “Mang kira-kira aku sakit apa sih Dok, kayaknya ribet amat,” tanyaku lagi penasaran.
“Masih belum tahu mas, analisis sementara Mas Saiful mengalami hipertensi dan anemia akut,” jelas dokter tinggi ini dengan sabar.
Aku tidak membalas, hanya mulutku yang membentuk huruf “O” sebagai tanda aku mengerti dengan penjelasannya.
“Oke, kami bawa sample darah ini ke laborat, dan hasilnya sekitar setelah Magrib, mas.”
“Siap Pak Dokter,” candaku sambil posisi tangan hormat.
Setelah pemeriksaan awal selesai, aku dipindahkan di ruang inap untuk menunggu hasil laboratorium.
Di rumah sakit yang agak kecil ini aku berdua dengan teman sekantor yang juga perantauan dari Semarang. Dialah yang mengurus semua administrasiku, bisa dibilang agak susah prosedur yang diberikan rumah sakit untuk karyawan yang mendapatkan asuransi dari perusahaan. Tetapi, aku tetap bersyukur, masih bisa berobat gratis. Yeah, mengingat banyak orang yang harus merelakan nyawa keluarganya karena tidak ada biaya untuk ke rumah sakit.
Kumadang Azan Magrib pertanda waktu menghadap Sang Khalik. Aku mendirikan sholat dengan duduk di kasur. Temanku yang tadi mengantarkanku sudah pulang setelah masalah administrasi selesai. Setelah melaksanakan rukun islam ini, dokter  tadi memasauki ruanganku dengan kertas ditangannya. Rona wajahnya meredup tertutup oleh kecemasan.
“Ini hasil Lab. Mas Saiful sudah ada,” kata dokter itu memulai.
“Gimana hasilnya, Dok?” tanyaku menyembunyikan kecemasan.
“Mas, harus telepon keluarga sekarang.”
“Mang ada apa denganku, Dok?”
Dokter tidak menjawab, “Tolong sambungkan dengan keluarga Mas Saiful di Semarang, sekarang juga!”
Tanganku langsung memencet keypad samsung corby-ku. Aku Telepon Kakak keduaku, karena Emak tidak pernah punya handphone dan Bapakku sudah lama meninggal. Jadi, tinggal kakakku itu yang menggantikan posisi Bapak sekarang.
Setelah tersambung, telepon langsung aku berikan kepada Dokter.
Aku mendengar kata-kata Dokter itu kepada Kakak. Aku terpukul, tidak percaya dengan apa yang dokter di sampingku katakan.
###
 “Gagal ginjal atau mengalami kerusakan ginjal mengharuskan penderitanya untuk melakukan hemodialisa secara rutin,” penjelasan dokter kepadaku, setelah mengakhiri percakapannya dengan kakakku.
“Apa itu hemodialisa, dok?” tanyaku dengan sedikit lemah.
“Hemodialisa itu sama dengan Cuci darah, mas.”
“Jadi darahku dicuci?” tanyaku lagi dengan lugu.
Dokter tersenyum simpul, kemudian ia melanjutkan penjelasannya, “Cuci darah merupakan proses penyaringan darah.”
“Disaring? Dari apa?”
“Ya dari air dan zat-zat sampah, karena ginjal Mas Saiful kini tidak lagi mampu menyaring darah lagi.”
“Jadi seumur hidup aku harus melakukan ini?”
“Iya, sebelum ginjal mas belum benar-benar berfungsi.”
Itulah percakapan terakhirku dengan Dokter. Aku tak sanggup lagi membayangkan keadaanku kelak. Harus tergantung dengan mesin pengganti ginjal itu. Aku ingin protes! Ingin marah!!
“Kenapa harus aku Ya Allah, Kenapa??” jerit hatiku membayangkan masa depanku yang kini semakin terlihat gelap dan suram.
Sejak percakapan itu aku terus memikirkan perkataan-perkataan dokter. Pikiranku tak henti-henti mencerna sederet pertanyaan hati yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Ya, karena aku yakin, suatu saat Allah akan menjawabnya.
###
Subuh, aku terbangun. Tanganku sibuk mencari handphone yang sempat aku tiduri semalaman. Keingin menelpon keluargalah yang membuatku belangsatan mencari handphone-ku satu-satunya itu.
Usahaku sia-sia. Hp-ku lenyap. Aku kalang kabut.
“Pasti ada orang yang mengambilnya!!!” bisik hatiku.
Dugaanku menguat karena memang semalaman aku sendirian di Rumah Sakit ini. Tak ada yang menungguiku tadi malam. Yeah, karena memang semua temanku pulang dan tak menginap.
“Ya Tuhan, aku tidak hafal nomor keluargaku. Bagaimana aku menghubungi mereka tentang dimana keberadaanku?” kataku sangat cemas.
Ikhlas dan sabar memang ingin diajarkan Tuhan waktu itu. Aku hanya bisa pasrah.
Rencana akan dipindahkannya aku ke rumah sakit yang memiliki mesin HD akan segera dilakukan pagi itu juga. Suara microphone dari ruang perawat rumah sakit memanggil-manggil keluargaku.
“Keluarga pasien Saiful harap ke ruang perawat sekarang. Saya ulangi, Keluarga pasien Saiful harap ke ruang perawat sekarang.”
Suara perawat itu terus meraung-raung. Berkali-kali dan tidak juga ada respon. Putus asa, perawat itu akhirnya datang ke ruanganku.
“Aa, keluarganya mana?”
“Maaf, Mereka baru datang dua hari lagi.”
“Trus ini yang ngurus administrasinya siapa, sebagai perawat kami tidak bisa bantu.”
Wanita berjilbab ini juga menambahkan, “Harus ada tanda tangan dari keluarga Aa.”
“Hpku hilang semalam, jadi tidak bisa telepon teman buat kemari,” jawabku lesu.
“Nomornya gak hafal? Biar saya telponkan.”
“Enggak,” kataku sambil menggeleng pasrah.
“Kalau memang belum ada keluarga atau teman, jadi Aa dirawat di sini dulu. Tetapi jika keadaan Aa memburuk, karena racun dalam darah naik maka perlu segera di hemodialisa secepatnya”
“Ok, makasih.”
Pasrah, ya, hanya itulah yang bisa kulakukan. Tanpa handphone, teman, bahkan keluargaku. Aku sendiri, mendekap dalam ruang perawatann. Menangung penyakit yang menimpaku dengan tiba-tiba. Tanpa aba-aba!!!
Aku terus berdoa, berharap ada teman yang tidak diduga-duga datang menjenguk. Agar maslah persyaratan dan segala hal administrasi yang membuatku stress ini dapat diselesaikan.
Dan benar, Allah mengabulkan doaku. Sahabatku datang ke ruangan dengan muka yang kusut dan menahan kantuk karena pulang dari kerja. Aku tidak peduli, dengan tergesa-gesa aku minta tolong agar dia sudi mengurus administrasi pemindahanku. Dan Alhamdulillah, dia bersedia. Namun, otakku masih berpikir bagaimana cara keluargaku menemukanku? Sedangkan tidak ada contact yang kuingat dan kucatat L
###
Aku masih lugu dan belum mengetahui betul penyakitku ini. Anggapan bahwa mungkin hanya perlu cuci darah sebulan untuk menyembuhkan penyakit ini membuat semangatku menghitung hari semakin tinggi. Ternyata fakta menyebutkan lain. Setelah satu bulan aku mengukur waktu ternyata kadar racun dalam tubuhku terlalu tinggi, yaitu 15,3 mg/dl. Padahal untuk orang dikatakan normal kadar racun dalam tubuh sekitar 0,6 sampai 1,2 mg/dl. Dan aku baru tahu, angka itu menunjukkan bahwa aku termasuk penderita gagal ginjal terminal, dan harus melakukan cuci darah seumur hidup agar bisa bertahan hidup.
Vonis dokter itu terlalu berat buatku, aku tidak sanggup menerima penyakit ini. Aku belum bisa ikhlas membayangkan harus tergantung pada alat pengganti ginjal selama sisa hidupku. Terlebih, aku juga harus meninggalkan profesiku sebagai Engineer di salah satu perusahaan swasta dan total menghentikan aktivitas keseharianku yang kata Dokter hanya akan menguras banyak energiku.
“Apakah ini berarti aku harus kehilangan masa depanku, Ya Allah???”
###
Setelah beberapa bulan menjadi pasien gagl ginjal, aku merasa bukan aku yang dulu, aku bukan lagi orang yang ceria dan aktif. Bukan pula orang yang banyak kesibukan baik di organisasi maupun club-club olahraga dan seni.
Aku selalu menyendiri, mengutuk penyakitku yang membuat aku terbelenggu. Dan hal yang paling menyiksaku, yeah selain lemah, mual dan muntah adalah dilarang minum dalam kuantitas banyak.
“Ya Allah, hanya ingin minum aku pun dilarang???”
Padahal, biasanya bergelas-gelas air sanggup kuhabiskan dalam sehari. Kini hanya 1,5 gelas air perhari!!! Tidak heran kulitku kini terasa kering dan dehidrasi akut melanda.
###
Itulah kira-kira mindset-ku dulu. Selalu mengeluh dan mengeluh. Aku juga merasa menjadi orang paling menderita sedunia dengan penyakitku ini. Tidak terbesit dibenakku waktu itu, bagaimana nasib orang-orang yang dicoba dengan penyakit Stroke, yang tidak sanggup berjalan. Jangankan untuk berjalan, menggerakkan tangan dan kakinya saja mereka tidak mampu. Mereka juga harus menerima dirinya yang tidak bisa makan, minum, dan buang air sendiri,  dan harus menahan kebosanan hanya tergeletak di kasur tanpa bisa melakukan lebih banyak hal lagi.
Membayangkan itu, kini rasa syukurku memenuhi kalbu. Berterima kasih dan bisa menerima akan ujian ini yang sekarang mulai aku pelajari.
Kini aku belajar untuk ikhlas. Nerimo! Aku percaya bahwa semua yang terjadi adalah kehendak-Nya dan aku harus menerimanya. Bukankah Tuhan, selalu memberikan yang terbaik buat kita? Dan segala skenario-Nya adalah jalan terindah untuk semua mahluk di muka bumi ini.
###
Catatan : 
Itu tulisanku tiga bulan setelah aku divonis gagal ginjal terminal. Dan setelah tiga tahun ini, Allah seperti membukakan jawabannya. Yeah, not Engineer, but Writer is my destiny....

Dalam tulisan ini, Thanks for :    
@coliz - yg ngurus administrasi di awal masuk RS
@Syafei - yg tiba-tiba datang saat aku membutuhkan seseorang. Kamu sahabat yang diutus Allah untuk mengurus pemindahan rumah sakit dan HD pertama kali.
@Pencuri Hp - Janji Allah benar, karenamu kini Allah telah mengganti HP yang lebih bagus dan canggih :)
@Edi akhiles - yang membuka kesempatanku menjadi penulis :)
Semua support dari keluarga, teman, dan saudara yang tidak bisa kusebut satu per satu. I love u All :)


In My Room
@sayfullan

5 komentar:

  1. Jadi sedih baca tulisan ini... :(
    Tetap semangat ya... :)

    BalasHapus
  2. Iya mbak, sekarang dah semangat kok,,,,
    buku perdanaku baru saja terbit :) judulnya #Aropy mbak...

    Jadi, semoga penyakitku ini tidak menjadi penghalang untuk terus berkarya :)

    BalasHapus
  3. Sekarang mas masih sakit+cuci darah atau udah sembuh? semangat mas, saya suka Aropy...:)

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah kalau suka #Aropy :) semoga bermanfaat yah...
    masih harus rutin cuci darah, seminggu dua kali :)

    terima kasih sudah mau mampir di blog saya....

    BalasHapus
  5. aku mampir tadi:)

    Rina
    lubisstone.com

    BalasHapus