Masih
terngiang di telingaku suara Dokter di Karawang tempatku bekerja. Begitu
mengejutkanku. Aku dapat merasakan kecemasan dalam perkataannya, tapi aku tidak
memeperhatikannya. Toh, aku memang merasa cukup kuat dan sehat waktu itu.
Paling banter sakit tipus, batinku.
“Maaf, kami
perlu memeriksa darah mas,” katanya yang bukan orang Sunda asli itu setelah
merekam jantungku dan memasangkanku selang oksigen.
“Memang perlu
makai ini ya, Dok?” tanyaku pada Dokter jaga UGD sambil menunjukkan selang
Oksigen.
“Saturasi
Oksigen dalam tubuh mas rendah, jadi perlu oksigen.”
“Oh gitu.”
Jawabku santai, “Mang kira-kira aku sakit apa sih Dok, kayaknya ribet amat,”
tanyaku lagi penasaran.
“Masih belum
tahu mas, analisis sementara Mas Saiful mengalami hipertensi dan anemia akut,” jelas
dokter tinggi ini dengan sabar.
Aku tidak
membalas, hanya mulutku yang membentuk huruf “O” sebagai tanda aku mengerti
dengan penjelasannya.
“Oke, kami
bawa sample darah ini ke laborat, dan
hasilnya sekitar setelah Magrib, mas.”
“Siap Pak
Dokter,” candaku sambil posisi tangan hormat.
Setelah
pemeriksaan awal selesai, aku dipindahkan di ruang inap untuk menunggu hasil
laboratorium.
Di rumah
sakit yang agak kecil ini aku berdua dengan teman sekantor yang juga perantauan
dari Semarang. Dialah yang mengurus semua administrasiku, bisa dibilang agak
susah prosedur yang diberikan rumah sakit untuk karyawan yang mendapatkan asuransi
dari perusahaan. Tetapi, aku tetap bersyukur, masih bisa berobat gratis. Yeah, mengingat
banyak orang yang harus merelakan nyawa keluarganya karena tidak ada biaya
untuk ke rumah sakit.
Kumadang Azan
Magrib pertanda waktu menghadap Sang Khalik. Aku mendirikan sholat dengan duduk
di kasur. Temanku yang tadi mengantarkanku sudah pulang setelah masalah
administrasi selesai. Setelah melaksanakan rukun islam ini, dokter tadi memasauki ruanganku dengan kertas
ditangannya. Rona wajahnya meredup tertutup oleh kecemasan.
“Ini hasil
Lab. Mas Saiful sudah ada,” kata dokter itu memulai.
“Gimana
hasilnya, Dok?” tanyaku menyembunyikan kecemasan.
“Mas, harus
telepon keluarga sekarang.”
“Mang ada apa
denganku, Dok?”
Dokter tidak
menjawab, “Tolong sambungkan dengan keluarga Mas Saiful di Semarang, sekarang
juga!”
Tanganku
langsung memencet keypad samsung
corby-ku. Aku Telepon Kakak keduaku, karena Emak tidak pernah punya handphone dan Bapakku sudah lama
meninggal. Jadi, tinggal kakakku itu yang menggantikan posisi Bapak sekarang.
Setelah
tersambung, telepon langsung aku berikan kepada Dokter.
Aku mendengar
kata-kata Dokter itu kepada Kakak. Aku terpukul, tidak percaya dengan apa yang
dokter di sampingku katakan.
###
“Gagal ginjal atau mengalami kerusakan ginjal
mengharuskan penderitanya untuk melakukan hemodialisa secara rutin,” penjelasan
dokter kepadaku, setelah mengakhiri percakapannya dengan kakakku.
“Apa itu
hemodialisa, dok?” tanyaku dengan sedikit lemah.
“Hemodialisa
itu sama dengan Cuci darah, mas.”
“Jadi darahku
dicuci?” tanyaku lagi dengan lugu.
Dokter
tersenyum simpul, kemudian ia melanjutkan penjelasannya, “Cuci darah merupakan
proses penyaringan darah.”
“Disaring? Dari
apa?”
“Ya dari air
dan zat-zat sampah, karena ginjal Mas Saiful kini tidak lagi mampu menyaring darah
lagi.”
“Jadi seumur
hidup aku harus melakukan ini?”
“Iya, sebelum
ginjal mas belum benar-benar berfungsi.”
Itulah
percakapan terakhirku dengan Dokter. Aku tak sanggup lagi membayangkan
keadaanku kelak. Harus tergantung dengan mesin pengganti ginjal itu. Aku ingin
protes! Ingin marah!!
“Kenapa harus
aku Ya Allah, Kenapa??” jerit hatiku membayangkan masa depanku yang kini semakin
terlihat gelap dan suram.
Sejak
percakapan itu aku terus memikirkan perkataan-perkataan dokter. Pikiranku tak
henti-henti mencerna sederet pertanyaan hati yang sebenarnya tidak perlu
dijawab. Ya, karena aku yakin, suatu saat Allah akan menjawabnya.
###
Subuh, aku
terbangun. Tanganku sibuk mencari handphone yang sempat aku tiduri semalaman.
Keingin menelpon keluargalah yang membuatku belangsatan mencari handphone-ku
satu-satunya itu.
Usahaku
sia-sia. Hp-ku lenyap. Aku kalang kabut.
“Pasti ada
orang yang mengambilnya!!!” bisik hatiku.
Dugaanku
menguat karena memang semalaman aku sendirian di Rumah Sakit ini. Tak ada yang
menungguiku tadi malam. Yeah, karena memang semua temanku pulang dan tak
menginap.
“Ya Tuhan,
aku tidak hafal nomor keluargaku. Bagaimana aku menghubungi mereka tentang
dimana keberadaanku?” kataku sangat cemas.
Ikhlas dan
sabar memang ingin diajarkan Tuhan waktu itu. Aku hanya bisa pasrah.
Rencana akan
dipindahkannya aku ke rumah sakit yang memiliki mesin HD akan segera dilakukan
pagi itu juga. Suara microphone dari ruang perawat rumah sakit
memanggil-manggil keluargaku.
“Keluarga pasien
Saiful harap ke ruang perawat sekarang. Saya ulangi, Keluarga pasien Saiful
harap ke ruang perawat sekarang.”
Suara perawat
itu terus meraung-raung. Berkali-kali dan tidak juga ada respon. Putus asa, perawat
itu akhirnya datang ke ruanganku.
“Aa,
keluarganya mana?”
“Maaf, Mereka
baru datang dua hari lagi.”
“Trus ini
yang ngurus administrasinya siapa, sebagai perawat kami tidak bisa bantu.”
Wanita
berjilbab ini juga menambahkan, “Harus ada tanda tangan dari keluarga Aa.”
“Hpku hilang
semalam, jadi tidak bisa telepon teman buat kemari,” jawabku lesu.
“Nomornya gak
hafal? Biar saya telponkan.”
“Enggak,” kataku
sambil menggeleng pasrah.
“Kalau memang
belum ada keluarga atau teman, jadi Aa dirawat di sini dulu. Tetapi jika
keadaan Aa memburuk, karena racun dalam darah naik maka perlu segera di
hemodialisa secepatnya”
“Ok, makasih.”
Pasrah, ya,
hanya itulah yang bisa kulakukan. Tanpa handphone, teman, bahkan keluargaku.
Aku sendiri, mendekap dalam ruang perawatann. Menangung penyakit yang menimpaku
dengan tiba-tiba. Tanpa aba-aba!!!
Aku terus
berdoa, berharap ada teman yang tidak diduga-duga datang menjenguk. Agar maslah
persyaratan dan segala hal administrasi yang membuatku stress ini dapat
diselesaikan.
Dan benar, Allah
mengabulkan doaku. Sahabatku datang ke ruangan dengan muka yang kusut dan
menahan kantuk karena pulang dari kerja. Aku tidak peduli, dengan tergesa-gesa
aku minta tolong agar dia sudi mengurus administrasi pemindahanku. Dan Alhamdulillah,
dia bersedia. Namun, otakku masih berpikir bagaimana cara keluargaku
menemukanku? Sedangkan tidak ada contact yang kuingat dan kucatat L
###
Aku masih
lugu dan belum mengetahui betul penyakitku ini. Anggapan bahwa mungkin hanya
perlu cuci darah sebulan untuk menyembuhkan penyakit ini membuat semangatku
menghitung hari semakin tinggi. Ternyata fakta menyebutkan lain. Setelah satu bulan
aku mengukur waktu ternyata kadar racun dalam tubuhku terlalu tinggi, yaitu 15,3
mg/dl. Padahal untuk orang dikatakan normal kadar racun dalam tubuh sekitar 0,6
sampai 1,2 mg/dl. Dan aku baru tahu, angka itu menunjukkan bahwa aku termasuk
penderita gagal ginjal terminal, dan harus melakukan cuci darah seumur hidup
agar bisa bertahan hidup.
Vonis dokter itu
terlalu berat buatku, aku tidak sanggup menerima penyakit ini. Aku belum bisa
ikhlas membayangkan harus tergantung pada alat pengganti ginjal selama sisa
hidupku. Terlebih, aku juga harus meninggalkan profesiku sebagai Engineer di salah satu perusahaan swasta
dan total menghentikan aktivitas keseharianku yang kata Dokter hanya akan
menguras banyak energiku.
“Apakah ini
berarti aku harus kehilangan masa depanku, Ya Allah???”
###
Setelah
beberapa bulan menjadi pasien gagl ginjal, aku merasa bukan aku yang dulu, aku
bukan lagi orang yang ceria dan aktif. Bukan pula orang yang banyak kesibukan
baik di organisasi maupun club-club
olahraga dan seni.
Aku selalu menyendiri,
mengutuk penyakitku yang membuat aku terbelenggu. Dan hal yang paling
menyiksaku, yeah selain lemah, mual dan muntah adalah dilarang minum dalam
kuantitas banyak.
“Ya Allah,
hanya ingin minum aku pun dilarang???”
Padahal,
biasanya bergelas-gelas air sanggup kuhabiskan dalam sehari. Kini hanya 1,5
gelas air perhari!!! Tidak heran kulitku kini terasa kering dan dehidrasi akut
melanda.
###
Itulah
kira-kira mindset-ku dulu. Selalu
mengeluh dan mengeluh. Aku juga merasa menjadi orang paling menderita sedunia
dengan penyakitku ini. Tidak terbesit dibenakku waktu itu, bagaimana nasib
orang-orang yang dicoba dengan penyakit Stroke, yang tidak sanggup berjalan. Jangankan
untuk berjalan, menggerakkan tangan dan kakinya saja mereka tidak mampu. Mereka
juga harus menerima dirinya yang tidak bisa makan, minum, dan buang air
sendiri, dan harus menahan kebosanan
hanya tergeletak di kasur tanpa bisa melakukan lebih banyak hal lagi.
Membayangkan
itu, kini rasa syukurku memenuhi kalbu. Berterima kasih dan bisa menerima akan
ujian ini yang sekarang mulai aku pelajari.
Kini aku
belajar untuk ikhlas. Nerimo! Aku
percaya bahwa semua yang terjadi adalah kehendak-Nya dan aku harus menerimanya.
Bukankah Tuhan, selalu memberikan yang terbaik buat kita? Dan segala skenario-Nya
adalah jalan terindah untuk semua mahluk di muka bumi ini.
###
Catatan
:
Itu tulisanku tiga bulan setelah aku divonis gagal ginjal terminal. Dan setelah tiga
tahun ini, Allah seperti membukakan jawabannya. Yeah,
not Engineer, but Writer is my destiny....
Dalam tulisan ini, Thanks
for :
@coliz - yg ngurus
administrasi di awal masuk RS
@Syafei - yg
tiba-tiba datang saat aku membutuhkan seseorang. Kamu sahabat yang diutus Allah
untuk mengurus pemindahan rumah sakit dan HD pertama kali.
@Pencuri Hp - Janji
Allah benar, karenamu kini Allah telah mengganti HP yang lebih bagus dan
canggih :)
@Edi akhiles - yang
membuka kesempatanku menjadi penulis :)
Semua support dari
keluarga, teman, dan saudara yang tidak bisa kusebut satu per satu. I love u
All :)
In My Room
@sayfullan
Jadi sedih baca tulisan ini... :(
BalasHapusTetap semangat ya... :)
Iya mbak, sekarang dah semangat kok,,,,
BalasHapusbuku perdanaku baru saja terbit :) judulnya #Aropy mbak...
Jadi, semoga penyakitku ini tidak menjadi penghalang untuk terus berkarya :)
Sekarang mas masih sakit+cuci darah atau udah sembuh? semangat mas, saya suka Aropy...:)
BalasHapusAlhamdulillah kalau suka #Aropy :) semoga bermanfaat yah...
BalasHapusmasih harus rutin cuci darah, seminggu dua kali :)
terima kasih sudah mau mampir di blog saya....
aku mampir tadi:)
BalasHapusRina
lubisstone.com